SEKTOR perikanan saat ini tengah menghadapi situasi sulit. Di tengah isu perubahan iklim, disrupsi kebijakan, kini menghampiri pula soal resesi global yang menuntut perikanan harus lebih agile dan adaptive. Isu iklim, yang tidak hanya menimbulkan kenaikan paras muka air laut, juga berpengaruh pada adaptasi perikanan. Kenaikan paras air laut dan gelombang pasang kemudian menjadi fenomena yang patut diwaspadai nelayan. Musim yang tidak lagi teratur mendorong risiko dan kewaspadaan usaha penangkapan.

Seiring dengan itu, soal perubahan biodiversity dan adaptasi sumber daya ikan juga perlu segera didalami. Sebuah riset di perairan teluk di Texas pada 2021 menunjukkan tren peningkatan diversity ikan karena perubahan habitat yang diakibatkan peningkatan paras muka laut dan temperatur. Kemudian, fenomena menurunnya ikan lemuru Selat Bali selama 10 tahun terakhir bisa diduga sangat terkait dengan perubahan iklim. Selat Bali, Lombok, Pantar sebagai daerah Arlindo sangat mungkin terdampak lebih kuat karena perubahan suhu. Kemudian, kebijakan perikanan saat ini juga memperlihatkan tingkat disrupsi yang begitu kuat. Pergantian menteri melahirkan kebijakan yang berbeda dan sangat terasa dampak pada level nelayan. Padahal kalau bijak, Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa berpijak pada roadmap pembangunan perikanan dan kelautan yang disiapkan KEIN 2017 sehingga siapa pun menterinya, target dan kontribusi dari kelautan dan perikanan sebesar 10 bisa dicapai. Namun, disrupsi sejak era 2015 telah melahirkan ketidakpastian yang besar hingga saat ini. Kita lihat kebijakan masih berkutat pada formulasi PNBP yang dimandatkan PP 85/ 2021 tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak. Jika kita mau fair, formulasi PNBP dapat dirancang secara bertahap sembari menumbuhkan minat usaha dan bisnis perikanan lebih luas.

Di tengah hadangan kedua soal besar di atas, kini perikanan dan kelautan kembali dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, yaitu resesi yang mulai terjadi secara global. Dampak resesi pada negara yang memiliki keterkaitan erat juga mulai dirasakan. Kenaikan harga minyak telah meningkatkan biaya operasional nelayan. Sementara harga ikan di pasar lokal dan global belum meningkat. Bahkan, pasar ekspor seperti Jepang yang diberitakan nelayan dari Bali sudah kurang kompetitif karena nilai tukar yen juga terdampak resesi. Pesan dari resesi global ialah potensi harga ikan tuna ekspor Indonesia juga melemah dan kurang berdaya saing dalam meningkatkan pendapatan nasional. Efek domino dari resesi yang tecermin pada harga BBM dan harga ikan akan memangkas jumlah hari melaut dan jumlah kapal yang beroperasi. Menurut nelayan tuna Bali, dalam situasi seperti ini hanya 25 kapal yang bisa dioperasikan karena potensial merugi dan tidak mampu menutupi biaya operasi. Agar menjadi sektor unggulan, tentu kita tidak selalu berharap keajaiban agar perikanan tetap tumbuh positif seperti era resesi 1998 dan saat puncak pandemi covid-19. Seharusnya kita mengambil momentum dengan menyiapkan skema terbaik agar perikanan dan kelautan tumbuh secara sistemik dan masif.

Adaptasi Dalam menghadapi situasi tersebut, serta adaptasi terhadap resesi yang sedang melanda, 3 langkah adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim, disrupsi kebijakan, dan resesi ialah, pertama, mereformulasi kebijakan yang kondusif dan afirmatif bagi usaha penangkapan. Kedua, melakukan percepatan upaya budi daya (budi daya dan mariculture) dan afirmasi kebijakan. Ketiga, memperkuat riset adaptasi. Formulai kebijakan yang diyakini saat ini sangat pro terhadap nelayan belum mampu mengangkat usaha penangkapan. Agar implementasi PP 85/2021 tidak menimbulkan distorsi besar, maka penerapan secara bertahap menjadi kunci, sejalan dengan peningkatan investasi. Ketika usaha penangkapan masih sepi peminat, maka kebijakan yang didorong ialah yang mudah dilaksanakan dengan tetap mengawal agar tidak terjadi kebocoran ekonomi keluar dari bangsa ini. Kebijakan afirmatif yang diperlukan saat ini, di antaranya harga BBM yang layak untuk usaha dan pungutan pascaoperasi penangkapan. Kalau mengikuti harga pasar, harga BBM yang layak secara ekonomi untuk penangkapan terkesan seperti subsidi. Namun, demi melindungi kepentingan perikanan dan usaha dalam negeri, semestinya ada mekanisme terkait BBM yang terjangkau dan dapat mendukung usaha perikanan berjalan dengan baik. Adapun penerapan prabayar sementara waktu bisa disubstitusi dengan pascabayar, sampai sistem usaha mencapai situasi kondusif, tapi dengan tetap melakukan pengawasan dalam berusaha.

Keberhasilan bertahan dari resesi seperti sebelumnya, selain karena faktor produksi budi daya yang tetap berjalan, nilai tukar dolar masih tetap tinggi, dan Indonesia tetap menjadi negara yang memetik manfaat besarnya. Namun, dengan hadirnya Ekuador sebagai salah satu negara produsen udang terbesar untuk pasar Amerika dan Vietnam dalam pengusahaan lobster bagi pasar Asia, maka stabilitas dan kondusivitas usaha budi daya di Tanah Air harus diprioritaskan. Karena pasar Amerika yang selama ini berkontribusi dolar dan Tiongkok serta Jepang, maka potensi untuk tetap mendapatkan dolar menjadi menipis di era resesi saat ini. Maka, afirmasi terhadap usaha budi daya yang harus disiapkan ialah mempertahankan harga pakan pada harga ekonomi agar budi daya tetap tumbuh. Karena resesi yang mendorong dolar naik turut menggerek harga pakan, dan kemudian mematikan usaha budi daya. Afirmasi kedua untuk budi daya ialah menyiapkan skema usaha budi daya yang mampu mendorong sistem berusaha di dalam negeri. Skema itu dengan menumbuhkan usaha tiap daerah dan mengurangi sekat kebijakan antarwilayah dalam negeri.

Baca Juga: Implementasi Kurikulum Merdeka Melalui Pltaform Merdeka Mengajar

Sejalan dengan itu, pengawasan tetap diperkuat agar tidak terjadi kebocoran seperti ekspor BBL ilegal yang sering terjadi. Langkah ketiga, yang sangat kurang diperhatikan, ialah langkah adaptasi yang sistemik berbasis data. Keberhasilan beradaptasi ke depan harus didukung riset dan data yang valid sehingga skenario adaptasi berjalan baik. Baik riset terhadap perubahan biodiversitas, pola adaptasi perairan, dan volatilitas risiko seperti resesi global dan tumbuhnya negara budi daya yang sangat dekat dengan sumber dolar saat ini. Ketika krisis global terus berlanjut, kita seharusnya sudah memiliki rencana untuk keluar dan beradaptasi. Hengkangnya pusat riset perikanan dan kelautan ke BRIN seharusnya jadi perhatian serius KKP dalam mengantisipasi risiko resesi ini, dengan memperkuat kolaborasi bersama perguruan tinggi. Kita tidak bisa berharap keajaiban untuk keluar dari situasi sulit saat ini. Perlu ada langkah keberpihakan yang dilandasi dengan sains base policy yang baik. Langkah lanjutnya, tentu memperkuat komunikasi dan sinergi antarlembaga. Sinergi ini akan menjadi kekuatan untuk bangkit dan tumbuh, serta keluar dari ancaman resesi dengan selamat.

Kita tidak bisa berharap keajaiban untuk keluar dari situasi sulit saat ini. Perlu ada langkah keberpihakan yang dilandasi dengan sains base policy yang baik. Langkah lanjutnya, tentu memperkuat komunikasi dan sinergi antarlembaga. Sinergi ini akan menjadi kekuatan untuk bangkit dan tumbuh, serta keluar dari ancaman resesi dengan selamat.Oleh: Yonvitner Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University