AGAMA hingga saat ini masih menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia. William James dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1958:59) meyakini agama berperan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Agama begitu dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, juga jauh dan misterius dengan munculnya fenomena berlawanan. Atas nama agama, banyak penganut agama yang menyuburkan perdamaian, tapi juga muncul fenomena sebaliknya yang menebar kebencian dan konflik. Lembaran sejarah merekam jejak kelam pertumpahan darah atas nama klaim kebenaran agama. Dalam konteks Islam, secara normatif agama Islam sering mengaitkan kualitas keberagamaan para pemeluknya dengan kualitas moral lebih dari sekadar perasaan hati dan ekspresi ritualistik. Islam memadukan rasa takut kepada Tuhan dengan kemuliaan akhlak sebagai jalan menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Para nabi juga datang untuk mewujudkan akhlak mulia bagi umatnya. Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya menegaskan,

“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia,” (HR Baihaqi) atau hadis lain yang terkenal, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.” (HR Tirmidzi). Nilai-nilai akhlak memiliki hubungan erat dengan keyakinan teologis. Mengenai hubungan antarumat beragama, Alquran mengintrodusir beberapa nilai yang menjadi simpul penghubung semua agama dengan segala perbedaan parsial nonsignifikan di antara agama-agama itu. Pertama, karamah al-insan (manusia sebagai makhluk mulia). Manusia diciptakan Tuhan dalam bentuk terbaik, dimuliakan dan diunggulkan atas makhluk lainnya. (QS 17: 70, 95: 4, dan 40: 64). Puncak kemuliaan manusia ialah dijadikannya mereka sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30). Kedua, toleransi. Sikap Islam terhadap agama lain jelas dan tegas, yaitu sikap positif yang mengembangkan kasih sayang dan persaudaraan.

Islam mengakui peran agama-agama dalam memberi bimbingan dan perbaikan (QS 29: 46). Lebih dari itu, Islam menandai dan mengakui beberapa titik temu bahkan menegaskan arti penting titik-titik itu dalam pergaulan antarumat beragama (QS 2: 62 dan 5: 69). Ketiga, Islam menjamin kebebasan beragama bagi semua manusia (QS 2: 256). Islam tidak pernah memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Islam membiarkannya memilih agama yang diinginkannya dengan segala konsekuensi dari pilihan bebasnya itu (QS 10: 99-100 dan 2: 272). Keempat, menghormati tempat-tempat ibadah. Ini merupakan kelanjutan logis dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Islam membiarkan para pemeluk agama apa pun menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya masing-masing. Islam menyuruh pemeluknya menjaga rumah-rumah ibadah demi terlaksananya kegiatan ritual keagamaan di dalamnya. Islam juga malarang kaum muslim melakukan penyerangan, perusakan, penghancuran, dan semacamnya terhadap rumah-rumah ibadah. Hal itu berlaku dalam keadaan perang sekali pun. Kelima, Islam menggariskan bahwa antara muslim dan nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh ada sekat antara muslim dan nonmuslim dalam berinteraksi dan bertransaksi. Sebesar kewajiban yang ditetapkan Islam atas kaum nonmuslim, sebesar itu pula jaminan yang diberikan Islam bagi terpenuhinya hak-hak mereka. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ingatlah, orang yang membunuh seorang muahid (nonmuslim) yang memiliki jaminan dari Allah dan Rasulullah SAW maka Allah mengharamkan atasnya wangi surga…” (HR Baihaqi). Keenam, Islam menuntut setiap muslim memperlakukan semua orang dengan akhlak terpuji dan perlakuan yang baik. Dalam pandangan Islam, keindahan laku terletak pada kebajikan, kasih sayang dan kebaikan bagi orang lain. Lebih dari itu, Alquran mengakui eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama mana pun sehingga layak memperoleh pahala dari Tuhan. Prinsip itu memperkukuh ide pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme.

Eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan spirit Alquran sebab Alquran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip itu digariskan setidaknya oleh dua ayat Alquran, yaitu QS 2: 62 dan 5: 69. Dua ayat itu merupakan sebuah eksposisi yang jarang sekali terjadi. Ayat Alquran tampil dua kali dan hampir mirip kata perkata. Di tingkat praktis, ironisnya, jejak sejarah meninggalkan tapak kaki konflik dalam hubungan antarumat beragama. Padahal, pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, unsur-unsur persaudaraan dan harmoni begitu terlihat. Namun, generasi-generasi berikutnya malah mengganti dengan ketegangan dan permusuhan. Nabi sendiri selalu mendorong pengikutnya mempromosikan pluralisme keagamaan yang di dalamnya komunitas agama yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dengan saling menerima dan menghormati, khususnya di antara ahli kitab. Itu karena Alquran memandang ahli kitab sebagai sebuah keluarga besar satu iman, beribadah ritual dalam cara yang berbeda, tetapi menyembah Tuhan yang satu. Periode panjang relasi antarumat beragama acap kali ditandai dengan konfrontasi dan konflik. Penyebab utama ketegangan hubungan antarpenganut agama berpangkal pada pola interaksi superior-inferior. Penganut tiap-tiap agama mengeklaim diri sebagai pengikut agama yang lebih unggul dan mengaku agama mereka sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.     Peta jalan Upaya untuk meredakan konflik dan menggantikannya dengan kerja sama membutuhkan peta jalan yang digali dari nilai-nilai universal keagamaan. Pertama, semua agama mengajak pada kebaikan universal, seperti keadilan, kesetaraan, kasih sayang, tolong-menolong, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Pada nilai-nilai inilah agama-agama dapat bertemu dan bersatu. Nilai-nilai itu pula yang seharusnya mengemuka dan menjadi mainstrem dalam segala wacana tentang hubungan antarumat beragama. Kedua, di luar nilai-nilai universal, tidak dimungkiri terdapat beberapa perbedaan antara satu agama dan agama lainnya. Semua agama memang memercayai keberadaan Tuhan. Hanya, konsep ketuhanan antara agama yang satu dan lainnya berbeda-beda. Di luar konsep ketuhanan, terdapat pula pada tiap-tiap kitab suci ayat-ayat yang secara lahiriah-harfiah dapat memantik perseteruan dan konflik antarumat beragama. Tiap agama memiliki klaim bahwa kebenaran hanya ada di pihaknya (truth claim). Misalnya, dalam Alquran terdapat ayat yang menyatakan bahwa agama di sisi Allah hanya Islam (QS 3: 19) dan orang yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima-Nya serta di akhirat kelak termasuk orang yang merugi (QS 3: 85). Dalam Alquran juga terdapat beberapa ayat yang secara tekstual mengumandangkan perang terhadap pihak di luar Islam (QS 9: 29, 123, dan 2: 191). Ayat-ayat serupa inilah yang kerap memicu konflik antarumat beragama. Ketiga, hingga di sini muncul kesan kontradiksi. Di satu sisi, semua agama mengajarkan kebaikan dan dapat bertemu pada nilai-nilai universal. Namun, di sisi lain, pada tubuh agama juga terdapat benih-benih konflik dengan umat pemeluk agama yang berbeda. Benih-benih tersebut dalam perkembangan selanjutnya benar-benar meledakkan konflik di ranah nyata. Oleh karena itu, kesan kontradiksi dalam internal agama harus diurai dan konflik antarumat agama harus diselesaikan. Keempat, untuk mengurai kesan kontradiksi dalam internal agama dan upaya menyelesaikan konflik antarumat agama, tulisan ini mengajukan sebuah tawaran sederhana. Ayat-ayat yang bernada inklusif serta menyerukan perdamaian dan toleransi harus diarusutamakan, sedangkan ayat-ayat bernada eksklusif serta menyerukan perang dan intoleran harus ditafsirkan secara kontekstual dengan mengedepankan pendekatan ideal-moral ketimbang legal-formal.

Tafsir kontekstual sendiri mensyaratkan keterlibatan pendekatan historis yang dalam ulum Alquran (Quranic studies) terwadahi oleh kajian asbabunnuzul dan Makiyah-Madaniyah. Dengan langkah-langkah tersebut, reformulasi hubungan antarumat beragama dapat dicapai, yaitu formula yang mengedepankan nilai-nilai universal, dialog yang setara dan santun, serta menyampingkan simpul-simpul perbedaan parsial yang dapat menghambat laju kesepahaman dan kerukunan.     Tantangan praktis Deskripsi di atas masih bersifat normatif. Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja diperlukan peranti pemahaman yang mengindahkan lokalitas dan kearifan budaya yang dikandungnya. Para pendiri bangsa dari kalangan Islam paham betul bagaimana memformulasikan Islam dalam bingkai kebangsaan yang menjamin keharmonisan relasi antarumat beragama. Masalahnya, belakangan ini, di Tanah Air muncul gelagat kelompok yang ingin memosisikan Islam di atas agama-agama lainnya dengan dalih mayoritas dan argumentasi dangkal bahwa Islam mengatasi semuanya, di atas segalanya. Di sinilah pentingnya reformulasi hubungan antarumat beragama di negeri kita tercinta.

Baca Juga: Apakah Pelayanan Publik Saat ini Telah Menjawab SPM ?

Semata demi merawat kemajemukan dan kebersamaan dalam bingkai kebangsaan dan kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban.     Terobosan NU Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam dengan basis massa terbesar di Indonesia terus berupaya meretas jalan baru membangun hubungan umat beragama yang lebih baik. Masalah itu kembali ditegaskan dalam Muktamar ke-34 yang belum lama ini digelar di Lampung. Salah satu hasil rekomendasi Muktamar itu, NU mendorong pemerintah untuk menjadikan program penguatan moderasi beragama sebagai gerakan sosial. Penguatan moderasi beragama tidak hanya dijalankan sebagai program biasa, tetapi juga harus mampu melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Sebelumnya, NU sudah melakukan terobosan penting pada Munas Alim Ulama 2019 di Citangkolo, Jawa Barat, tentang konsep al-muwathinun sebagai produk ijtihad ulama NU. Al-Muwa?hinun mengenai nilai dan ajaran tentang kesetaraan, keadilan, dan persamaan sebagai warga negara dengan menghilangkan penyebutan kafir kepada nonmuslim dalam konteks berbangsa dan bernegara, bukan akidah. Semua masyarakat Indonesia statusnya sama, baik muslim atau nonmuslim, serta tidak ada mayoritas dan minoritas. Konsep al-muwa?hinun sekaligus menegaskan konsistensi NU mengawal NKRI. oleh: Abad Badruzaman Guru Besar Tafsir, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN SATU Tulungagung