SAAT ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011) telah memasuki satu dekade pemberlakuan. Dalam rentang waktu ini, UU No. 12/2011 telah mengalami satu kali perubahan dengan UU No. 15/2019 yang berkaitan dengan penguatan eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam menjalankan fungsi legislasi, mekanisme penghar­monisasian rancangan peraturan daerah inisiatif gubernur, mekanisme carry over legislasi, pemantauan peraturan perundang-undangan, dan pembentukan kementerian atau lembaga yang menyeleng­garakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sejak awal, UU No. 12/2011 memiliki pertimbangan filosofis yaitu mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum dengan melaksanakan pembangunan hukum nasional melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Pemikiran negara hukum yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari pandangan M.C. Burkens yang menyatakan salah satu prasyarat negara hukum yaitu keseluruhan tindakan pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke grondslag).

Namun cita-cita mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik dan efektif sejak dulu hingga sekarang tidak mudah. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terus menerus lahir di berbagai sektor dan tingkatan telah membawa pada suatu kondisi yang kemudian disebut sebagai hutan belantara peraturan perundang-undangan (Maria Farida, 2021). Dalam satu dekade terakhir ini, peraturan perundang-undangan selalu menjadi momok karena dinilai membebani, menghambat, disharmoni, tumpang tindih, dan minim deliberasi. Di luar itu, pembatalan beberapa UU melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi semakin merefleksikan bahwa sejumlah UU terbukti bertentangan dengan norma-norma dasar dalam konstitusi.

“Fast Track Legislation”

Pengadopsian metode omnibus law dalam penyusunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah membuat proses penyusunan UU ini dilakukan dalam waktu yang relatif cepat sehingga lebih mencerminkan mekanisme fast track legislation yang sebenarnya belum diatur dalam UU No. 12/2011. Pemerintah tetap mengambil opsi ini karena menilai dapat menjadi suatu terobosan untuk mengatasi bottleneck and hyper regulation terutama untuk membuka lapangan kerja melalui kemudahan ekosistem berusaha dan investasi.

Baca Juga: Demokrat dan Corona

Momentum pengadopsian metode omnibus law dan satu dekade UU No. 12/2011 seharusnya digunakan untuk mela­kukan penataan kembali sistem pembentukan peraturan perundang-undangan melalui proses yang lebih terencana, efektif, transparan, partisipatif, dan terpadu. Setidaknya terdapat lima hal yang penting dalam upaya perbaikan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan.

Perencanaan Legislasi

Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dari pembenahan kebijakan perencanaan legislasi. Perencanaan legislasi selama ini masih belum sinkron dan harmonis dengan perencanaan pembangunan akibatnya masih ditemukan produk legislasi yang sebenarnya tidak mendu­kung perencanaan pembangunan. Dalam Program Penyusunan (Progsun) Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) memerlukan penataan kewenangan dan bisnis proses sehingga proses pengusulan, klarifikasi dan verifikasi RPP dan RPerpres menjadi lebih efektif dan efisien. Keterlibatan beberapa lembaga pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), termasuk Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dalam hal memerlukan izin prakarsa memperlihatkan begitu banyaknya instansi pemerintah yang terlibat dalam proses pengusulan RPP dan RPerpres.

Pengharmonisasian

Berdasarkan kewenangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan merupakan leading sector dalam melakukan proses pengharmonisasian. Namun dalam praktik, upaya sinkronisasi juga dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah lain.

Pada tingkat peraturan menteri misalnya pernah diterbitkan Inpres No. 7/2017 dan surat Sekretaris Kabinet Nomor B-0144/Seskab/Polhukam/04/2020 yang memerintahkan peraturan menteri/kepala lembaga perlu mendapat persetujuan Presiden terlebih dahulu yakni yang memiliki kriteria berdampak luas bagi kehidupan masya­rakat, bersifat strategis, lintas sektor atau lintas kemen­terian/lembaga.

Hingga pada akhirnya kebijakan tersebut diperkuat dengan Perpres No. 68/2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.

Ke depan penataan proses pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan akan lebih efektif jika dilakukan dalam sistem satu atap (one roof system). Pem­bentukan badan/pusat legislasi nasional yang diamanatkan UU No. 12/2011 dapat mengakomodasi kebutuhan one roof system tidak saja dalam upaya pengharmonisasian namun secara keseluruhan dari perencanaan hingga evaluasi.

Tenaga Perancang

Tenaga perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang utama mengingat dalam UU No. 12/2011 disebutkan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 59/2015 juga disebutkan bahwa perancang peraturan perundang-undangan wajib bersikap profesional sesuai dengan disiplin ilmu hukum, ilmu perundang-undangan, dan disiplin ilmu lain yang dibutuhkan. Makna “disiplin ilmu lain yang dibutuhkan” mengharuskan perancang peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan interdisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk memastikan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat atau Eugen Ehrlich menyebutnya sebagai living law.

Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan harus mampu mengetahui dengan utuh dan mendalam apa yang menjadi politik hukum dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan perlu lebih menjamin kedudukan dan peran perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka mengawal politik hukum suatu peraturan perundang-undangan.

Penataan Bisnis Proses

Salah satu konsekuensi dari penerapan metode omnibus law adalah perlunya penataan kembali bisnis proses pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang disusun dengan metode omnibus law memiliki kompleksitas tersendiri karena mencakup berbagai sektor dengan berbagai bidang hukum. Untuk itu, bisnis proses penyusunan dan pembahasan perlu diatur kembali agar memiliki ruang deliberasi yang cukup untuk membedah dan menelaah pasal demi pasal termasuk melakukan konsultasi publik terutama dengan pihak-pihak terdampak.

Penataan bisnis proses juga berkaitan dengan pembahasan lanjutan RUU yang belum selesai (carry over legislasi). Mesikpun telah diatur dalam UU No. 15/2019, namun jika dicermati kem­bali keputusan untuk carry over legislasi tersebut masih didasar­kan atas kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD serta diru­muskan dengan kata “dapat” yang mengandung makna fakul­tatif. Kepastian mekanisme carry over legislasi ini diperlukan untuk mewujudkan keberlanjutan dan efektivitas pembentukan RUU yang telah disusun masa keanggotaan DPR sebelumnya.

Partisipasi Masyarakat

Penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan kedepan juga mencakup penguatan mekanisme partisipasi masyarakat. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU No. 12/2011 perlu diatur lebih rinci untuk menjamin partisipasi masyarakat yang lebih luas mulai dari perencanaan, penyusunan hingga pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Terlebih jika RUU menggunakan metode omnibus law yang berdampak pada banyak pemangku kepentingan, maka sejak awal RUU tersebut harus dapat diakses dengan mudah oleh setiap lapisan masyarakat di berbagai media informasi dan komunikasi.

Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, pemanfaatan big data juga dapat digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Setiap masukan akan dianalisa dengan manajemen big data dan kemudian diolah menjadi keluaran baru. Pemanfaatan big data dapat dilakukan dengan mengintegrasikan sistem teknologi informasi yang ada seperti laman SIMAS PUU (Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang) yang dikelola Badan Keahlian DPR maupun laman Partisipasiku milik BPHN (R.D Putranto, 2020).

Pada akhirnya momentum satu dekade UU No. 12/2011 harus digunakan untuk melakukan penataan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Melalui sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yang selaras dengan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) atau Rudolf Stammler menyebutnya sebagai bintang pemandu (Leitstern). (Aji Kurnia Dermawan , Perancang Peraturan Perundang-undangan Kementerian Pertanian, Founder Legal and Policy Drafting Clinic (Lidic), dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran)