HASIL penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 baru-baru ini diumumkan pada 5 Desember 2023, dan Indonesia berada di peringkat 68 dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Penelitian ini mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam disiplin ilmu matematika, membaca, dan sains. Partisipasi PISA 2022 melibatkan sekitar 690 ribu siswa dari 81 negara, dan survei ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Sejak 2000, OECD secara konsisten telah mengadakan penilaian ini. Survei PISA 2022 seharusnya dilaksanakan pada 2021. Namun, ditunda karena pandemi covid-19. Pada PISA 2022, penilaian difokuskan pada kemahiran siswa dalam matematika dengan penekanan lebih besar diletakkan pada penalaran matematika. Survei PISA 2022 ini disebutkan merupakan studi ekstensif pertama yang berisi data tentang bagaimana pandemi covid-19 berdampak pada kinerja siswa di seluruh dunia. Hasilnya sebagaimana telah diprediksi, yaitu terjadinya penurunan tajam kinerja siswa (steep learning loss) secara global pada ketiga disiplin ilmu yang diujikan; matematika, membaca, dan sains selama kurun empat tahun terakhir (2018-2022). Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya.

ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT   PISA dan kurikulum PISA  mewakili sebuah inisiatif global yang melibatkan berbagai negara, untuk mengukur dan membandingkan kualitas pendidikan siswa di tingkat internasional. Tujuan utama PISA tidak hanya sebatas pada pengukuran pencapaian akademis, melainkan lebih jauh lagi, untuk memberikan gambaran holistik tentang kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan di masing-masing negara yang terlibat. Dalam konteks ini, PISA berfungsi sebagai alat evaluasi yang memberikan pemahaman mendalam kepada para pendidik dan pembuat kebijakan, mengenai efektivitas sistem pendidikan mereka. Sebagai­mana diungkapkan oleh Mathias Cormann, Sekretaris Jenderal OECD, pada saat merilis hasil PISA 2022, tujuan utama PISA adalah membantu mengidentifikasi kekuatan komparatif sistem pendidikan yang tetap berkinerja baik, bahkan dalam menghadapi guncangan besar seperti pandemi global. Informasi yang dihasilkan oleh PISA memberikan landasan bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi sistem pendidikan, demi menciptakan masa depan yang lebih cerah dan lebih berhasil secara finansial. PISA, dengan demikian tidak hanya menjadi alat evaluasi semata, tetapi juga menjadi sumber daya berharga yang dapat membimbing perubahan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat global.

Secara khusus PISA didesain untuk mengukur sejauh mana siswa dipersiapkan oleh sistem pendidikan mereka, dalam mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang mereka pelajari. Konsep ini mendorong ide learning for transfer, yang mana siswa tidak hanya menguasai materi pembelajaran untuk tes, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam situasi kehidupan nyata. Oleh karena itu, hasil PISA tidak hanya mencerminkan tingkat pemahaman siswa terhadap kurikulum, tetapi juga kemampuan mereka untuk berpikir kritis, menafsirkan informasi, dan memecahkan masalah dalam berbagai konteks kehidupan. Dengan demikian, PISA bukan hanya alat pengukur, melainkan juga pendorong bagi pengembangan kurikulum yang lebih relevan dan efektif. Guna menilai literasi matematika siswa berusia 15 tahun, tentunya diperlukan perangkat soal tes yang sesuai dengan kemampuan siswa usia 15 tahun di negara-negara yang berpartisipasi. Karenanya, materi soal yang ditanyakan harus sesuai dengan kurikulum sekolah dalam pengertian luas.

Soal-soal yang disusun juga harus mempertim­bangkan minat dan pengetahuan global yang mungkin akan ditemui/dihadapi anak usia 15 tahunan. Mengatakan bahwa penilaian PISA tidak dirancang berdasarkan kurikulum sekolah, bukan berarti bahwa soal-soal survei PISA atau hasilnya tidak dipengaruhi kurikulum yang diterapkan di suatu negara. Misalnya, Wu (2010) menunjukkan bagaimana kinerja nasional suatu negara dipengaruhi oleh penyelarasan kurikulumnya (curriculum alignment) dengan penilaian PISA. Siswa Australia, misalnya, biasanya cukup berhasil dalam penilaian matematika yang terkait dengan topik/konsep Peluang dan Interpretasi Data. Kedua topik ini ternyata memang terwakili dengan baik dalam kurikulum Australia. Studi seperti ini (alignment study) dapat memperkuat pandangan bahwa literasi sains dan matematika dianggap sebagai hasil yang berharga bagi sekolah, karenanya mereka harus terwakili dengan baik dalam kurikulum yang diterapkan (Kaye Stacey, 2011).

MI/Duta   Hasil PISA dan kualitas pendidikan Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penilaian ini mengeksplorasi seberapa baik siswa dapat memecahkan masalah yang kompleks, berpikir kritis dan berkomunikasi secara efektif. Hasil penilaian ini memberikan gambaran tentang seberapa baik sistem pendidikan suatu negara dalam mem­persiapkan siswa menghadapi tantangan kehidupan nyata dan kesuksesan di masa depan (learning for transfer). Dengan membandingkan hasil PISA secara internasional, para pembuat kebijakan dan pendidik di Indonesia seharusnya dapat belajar dari kebijakan dan praktik negara lain. Seberapa baik hasil penilaian anak-anak berusia 15 tahun di Indonesia? Hasil rata-rata untuk ketiga mata pelajaran; matematika, membaca, dan sains pada 2022 menunjukkan penurunan (learning loss) mencapai 12-13 poin dibandingkan 2018. Secara keseluruhan, hasil PISA 2022 dapat dikategorikan termasuk yang terendah, setara dengan hasil yang diperoleh pada 2003 dalam membaca dan matematika, dan pada 2006 dalam sains. Meskipun hasil beberapa penilaian sebelumnya lebih tinggi dibandingkan hasil yang diamati pada tahun-tahun awal, peningkatan ini berbalik dengan penurunan yang terlihat pada 2015 dan seterusnya. Artinya, sejak keikutsertaan kita pada PISA mulai dari 2000 sampai dengan 2022, belum terjadi peningkatan kualitas secara signifikan sebagaimana direpresentasikan oleh skor perolehan sepanjang 2000-2022.

Baca Juga: Tantangan Berat Ekonomi Beras 2024

Yang agak mencemaskan adalah ternyata hanya 18% siswa kita yang dapat memperoleh kemahiran matematika minimal level 2. Sedangkan 82% lainnya informasi tidak tersedia. Apakah anak-anak ini dapat dikatakan sebagai buta matematika secara fungsional? Level 2 itu artinya siswa dapat menafsirkan dan mengenali, tanpa instruksi langsung, bagaimana situasi sederhana dapat direpresentasikan secara matematis (misalnya membandingkan total jarak pada dua rute alternatif, atau mengkonversi harga ke dalam mata uang yang berbeda. Hampir tidak ada anak-anak usia 15 tahun kita yang berprestasi baik dalam bidang matematika, yaitu yang memperoleh level 5 atau 6 dalam penilaian matematika (rata-rata OECD: 9%). Kondisi serupa ditemukan pada bidang sains dan membaca. Enam negara dan perekonomian Asia yang memperoleh level 5 dan 6, meliputi Singapura (41%), Taiwan (32%), Makau (29%), Hong Kong (27%), Jepang (23%), dan Korea (23%). Pada level 5 dan 6 ini, siswa sudah mampu memodelkan situasi yang kompleks secara matematis, dan dapat memilih, membandingkan dan mengevaluasi strategi pemecahan masalah yang tepat untuk menghadapinya. Hanya 16 dari 81 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2022 menunjukkan lebih dari 10% siswa usia 15 tahun mencapai kemahiran level 5 atau 6.

Rendah dan rentan terjadinya perubahan skor perolehan anak-anak Indonesia usia 15 tahun pada penilaian PISA, menunjukkan masih rendahnya kompetensi anak-anak usia 15 tahun pada keterampilan abad ke-21 yang meliputi kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan higher-order thinking skills (HOTS) lainnya masih belum tergarap secara memadai. Rendahnya tingkat keterampilan berpikir HOTS di kalangan siswa mencerminkan rendahnya kualitas pembelajaran yang dijalankan di sekolah-sekolah. Data PISA mencatat bahwa skor perolehan anak-anak usia 15 tahun Indonesia masih berada di bawah ambang batas 400, setara dengan level 2-3.

Sejarah perolehan skor menunjukkan bahwa hanya pada 2009, siswa Indonesia meraih skor 402 dalam membaca, pada 2015 sebesar 408 dalam sains, sementara untuk matematika belum pernah mencapai skor 400 atau lebih. Sementara, negara-negara OECD menunjukkan stabilitas skor yang relatif tinggi, yaitu sudah mencapai skor 450 atau lebih. Meskipun terpengaruh penurunan skor akibat pandemi covid-19, angkanya masih relatif baik, setara minimal level 4. Artinya, siswa pada tingkat ini dapat mengaplikasikan keteram­pilan yang telah dikembangkan dengan baik dan mampu berpikir secara fleksibel, serta memiliki wawasan yang lebih luas. Mereka dapat membangun dan menyam­paikan penjelasan serta argumen berdasarkan interpretasi, argu­men, dan tindakan mereka. Perlu dipahami bahwa kurangnya kemajuan dalam skor PISA dapat mencerminkan tantangan yang lebih mendalam dalam sistem pendidikan Indonesia. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan reformasi dalam pendekatan pembelajaran dan pengembang­an kurikulum, untuk lebih me­nekankan pada aspek-aspek berpikir kritis dan keterampilan abad ke-21 yang diperlukan di dunia modern.

Sejak diperkenalkannya Kuri­kulum 2013, yang kemudian dilanjutkan dengan Kurikulum Merdeka; arah kurikulum, pembelajaran, dan penilaian sebenarnya sudah berubah dari yang sebelumnya mengutama­kan jumlah konten (curriculum coverage) kepada kedalaman (in-depth learning). Kurikulum Merdeka merupakan langkah lanjutan dari Kurikulum 2013, dengan penekanan pada kebe­basan sekolah dalam menen­tukan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan potensi lokal. Namun, karena persiapan dan pelatihan guru agar mereka dapat menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka sesuai dengan de­sain­nya belum terjadi secara optimal dan merata. Akibatnya, praktik pembelajaran masih terperang­kap pada hal yang bersifat superficial (root learning). Meskipun Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan yang lebih besar, tantangan utama tetap terletak pada implementasinya di la­pangan.

Keadaan ini mulai berangsur berubah terutama sejak dilun­curkannya program guru peng­gerak dan sekolah penggerak. Program-program ini bertujuan meningkatkan kompetensi dan pemahaman guru terkait kuri­kulum baru sehingga mereka dapat mengimplementasikannya secara efektif.

Meskipun demi­kian, untuk mencapai perubahan yang lebih luas dan berkelanju­tan, diperlukan upaya perluasan program ini. Ke depan, program ini hendaknya tidak hanya terbatas pada guru dan sekolah penggerak, melainkan juga dapat menjangkau lembaga atau organisasi nirlaba yang mela­kukan pemberdayaan pendidikan di berbagai daerah nusantara. Upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk dukungan pada penerapan kurikulum merdeka, akan menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di seluruh negeri. Kementerian terkait hendaknya dapat berbagi tanggung jawab untuk menangani pekerjaan besar, kompleks, dan mulia ini. Bukan saatnya lagi bergerak sendiri. Pepatah Melayu menga­takan, ‘It takes a village to raise or educate a child’. Wallahu a’lam bishshawab.Oleh; Syamsir Alam Dewan Pengawas Yayasan Sukma (*)