AMBON, Siwalimanews – Paket proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 700 miliar yang ditender diduga tak melalui mekanisme pembahasan resmi panitia anggaran Pemprov Ma­-luku.

Pemprov memotong jalur pembahasan. Paket bernilai jum­bo ini dibahas hanya oleh sekda dan bagian keuangan. Bappeda yang selama ini menjadi “dapur” panitia anggaran eksekutif un­tuk menggodok semua proyek untuk dimasukan dalam APBD, tak lagi dilibatkan secara penuh.

Kepala Bappeda, Anton Lai­lossa yang dihubungi tadi malam untuk mengkonfirmasikan hal ini, namun teleponnya tidak aktif.

Sementara salah satu staf di Bappeda mengaku, kerja Bappeda selaku panitia anggaran sudah di­pangkas. Bappeda hanya menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Tak lagi dlibatkan dalam pembahasan kebijkan umum ang­garan-platform prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) dan Ranca­ngan APBD.

“Selaku panitia anggaran kita juga kaget, kita hanya menyiapkan RK­PD. Selanjutnya KUA-PPAS dan pe­nyusunan APBD tak lagi dili­batkan, langsung diambil alih bagian ke­uangan dan sekda,” ujar staf yang meminta namanya tak dikorankan kepada Siwalima, Selasa (24/11).

Baca Juga: Dewan Kaget, Ada Proyek yang Tender di Luar APBD

Olehnya itu, kata dia, paket proyek senilai Rp 700 miliar yang sudah ditender di LPSE Provinsi Maluku sama sekali tidak diketahui oleh Bappeda. “Kami dengar soal paket proyek 700 miliar itu, nanti dicek saja ke pak sekda atau bagian keuangan,” tandasnya.

Dia mengaku mendapatkan infor­masi kalau pembiayaan paket proyek Rp 700 miliar itu berasal dari pinjaman pihak ketiga. “Infonya pinjaman dari  PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), tapi cek dulu pak sekda,” ujarnya.

Dia juga mengaku heran, 700 mi­liar itu semuanya digunakan untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur. Padahal ada sektor lain yang harus mendapat perhatian se­rius, seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang terdampak akibat  pandemik Covid-19.

“Harusnya sektor-sektor yang kena dampak langsung Covid-19 jadi fokus untuk ditangani, bukan pemeliharaan jalan dan talud, ini  bukan sesuatu yang urgen,” tandasnya.

Salah satu staf di bagian keua­ngan juga mengakui, paket proyek pembangunan infrastruktur dalam APBD perubahan 2020  akan dibia­yai oleh dana pinjaman dari PT SMI. “Sekitar 700 miliar yang dipinjam, semuanya sudah ditender di LPSE,” ujarnya.

Namun dia ragu apakah dana se­besar itu bisa terserap ataukah tidak. Sebab sudah mau tutup anggaran.

Dia mencontohan, paket pemba­ngunan pengaman Pantai Kabupa­ten SBT milik Dinas PU Maluku senilai Rp 12.500.000.000,00, apa­kah bisa diselesaikan sebelum tutup tahun anggaran.

Paket proyek lainnya adalah pemeliharaan jalan Kota Ambon yang juga milik Dinas PU Maluku dengan nilai Rp 7.500.000.000,00.  “Anggarannya cukup besar, apa bisa terserap habis?,” tandasnya.

Dalam laman LPSE tertulis sumber dana proyek berasal dari APBD perubahan. Menurut dia, seharus­nya belum bisa ditulis sumber dana­nya APBD perubahan. Sebab, RAPBD perubahan 2020 masih dikonsultasikan ke Kemendagri.

“Belum sah jadi Perda. Harusnya APBD disahkan dulu baru tender, biar jelas,” ujarnya.

Selain mekanisme pembahasan di panitia anggaran eksekutif tak melewati jalur semestinya, pinjaman uang Rp 700 miliar dari PT SMI juga tak diketahui DPRD.

Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD Provinsi Maluku, Asri Arman, me­nilai, Pemprov melecehkan DPRD.

Uang ratusan miliar dipinjam untuk membiayai proyek infra­struktur yang akan dikelola Dinas PUPR yang dipimpin Muhamat Marasabessy itu, tanpa melibatkan DPRD. Padahal setiap kerja sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga harus mendapat persetujuan DPRD. Hal itu ditegaskan jelas dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 317 ayat 1.

Dalam Pasal 317 ayat 1 huruf 1 disebutkan, DPRD provinsi mempu­nyai wewenang dan tugas, membe­rikan persetujuan terhadap renca­na kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang mem­bebani masyarakat dan daerah.

“Sudah jelas ini pelecehan,  ka­rena salah satu fungsi DPRD adalah anggaran, tapi kalau tidak dilibatkan, lalu mau dibahas dan diawasi ba­gaimana,” tandas Asri Arman, ke­pada Siwalima, Senin (23/11).

Sebagai lembaga yang memiliki fungsi anggaran dan pengawasan, kata Asri Aman, maka setiap kebi­jakan pemprov dalam kaitan dengan anggaran mesti diketahui oleh DPRD, apalagi dalam bentuk pinja­man.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Ma­luku, Aziz Sangkala juga mengaku, tidak ada pembicaraan sama sekali dengan DPRD untuk pemprov meminjam dana di PT SMI.

“Sampai dengan saat ini tidak ada pembicaraan terkait dengan pinja­man yang dilakukan oleh Pemprov Maluku di PT SMI,  kok tiba-tiba ada ada pinjaman seperti itu,” tandas Sangkala kepada Siwalima, Minggu (22/11).

Sekda Maluku, Kasrul Selang yang dikonfirmasi mengaku, pem­prov berencana mengajukan pinja­man anggaran ke Kementerian Keuangan melalui PT SMI.

“Kita memang rencana pinjam ke sana, karena memang perintah pusat memberikan kebijakan itu,” kata Kasrul kepada Siwalima di kantor DPRD Maluku, Selasa (24/11).

Lanjut Kasrul, pemrov sementara menyiapkan dokumen persyaratan. Jika telah selesai maka akan dibahas bersama DPRD untuk mendapatkan persetujuan.

Ia juga mengatakan, paket proyek yang telah ditender dalam LPSE pendanaannya berasal dari APBD Perubahan. “Itu semua dari APBDP,” ujarnya.

Anggota badan anggaran DPRD Provinsi Maluku, Jantje Wenno mengatakan, bila belum direnca­nakan dan belum ada kepastian biaya, tidak mungkin proyek sudah ditender.

Wenno menjelaskan, pinjaman daerah diatur dalam Peraturan Peme­rintah Nomor 54 tahun 2005, Pera­turan Pemerintah Nomor 30 tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No­mor 56 tahun 2018. Dalam ketiga aturan tersebut, mengatur pinjaman daerah harus  dengan persetujuan DPRD.

“Jadi wajib hukumnya mendapat­kan persetujuan DPRD ketika hen­dak mengajukan pinjaman,” ujarnya.

Bahkan, dalam Peraturan Peme­rintah Nomor 56 tahun 2018, kata Wenno, bukan saja wajib mendapat persetujuan dari DPRD, tapi doku­men pengusulan tersebut harus di­muat dalam KUA-PPAS dan disah­kan.

“Jadi saya tidak percaya kalau Pemda melakukan peminjaman tanpa persetujuan dari DPRD karena itu syarat utama hukumnya wajib,” tegasnya.

Karena itu, pemprov harus trans­paran untuk menjelaskan agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran.

“Harus transparan untuk duduk bersama menjelaskan persoalan yang ada, jangan sampai para peng­usaha rugi dan kontraktor bisa jadi korban, kalau tidak ada kejelasan,” ujar Wenno.

Pemprov Harus Transparan

Akademisi Fisip Unpatti, Paulus Koritelu mengatakan, pemerintah daerah provinsi, itu terdiri dari gubernur dan DPRD. Karena itu dalam setiap kebijakan anggaran DPRD harus dilibatkan.

“DPRD harus dilibatkan oleh Pemprov dalam setiap kebijakan anggaran termasuk pinjaman dari Kementerian Keuangan melalui PT SMI,” ujarnya.

Untuk mencegah polemik Koritelu meminta  pemprov transparan untuk menyampaikan kepada DPRD perihal pinjaman tersebut. “Idealnya harus ada transparansi dari Pemda kepada DPRD, sehingga tidak menimbulkan masalah baru,” ujarnya.

Akademisi Fisip Unidar, Surfikar Lestaluhu mengatakan, tidak dilibatkan DPRD dalam kebijakan pengusulan pinjaman pada PT SMI membuktikan tata kelola pemerin­tahan yang buruk. “Langkah Pem­prov Maluku ini menunjukkan tata kelola pemerintahan yang buruk,” ujar Lestaluhu.

Dikatakan, jika pemprov paham tata kelola pemerintahan yang baik, maka sudah pasti pemprov melibat­kan DPRD dalam hal persetujuan sebelum mengusulkan pinjaman.

Lestaluhu meminta pemprov harus lebih transparan menjelaskan soal pinjaman tersebut agar dike­tahui DPRD. “Pemprov harus transparan biar tidak ada masalah,” tandasnya.

Sementara Akademisi Ekonomi dan Bisnis Unpatti, Erly Leiwaka­bessy mengatakan pinjaman Rp 700 miliar ke PT SMI merupakan langkah berani yang dilakukan pemprov.

Ia yakin pemprov sudah memi­kirkan langkah-langkah pengemba­lian pinjaman itu.

“Pinjaman dari BUMN sangat me­nguntungkan, sebab jika pinjaman dilakukan diluar BUMN maka sudah pasti pemda akan mengalami ke­sulitan,” ujarnya.

Soal pengembalian pinjaman, kata Leiwakabessy, bisa saja melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus, pajak daerah atau dana bagi hasil. “Pada waktu kondisi normal kembali tahun depan atau dua tahun lagi, sudah ada modal atau biaya untuk mengembalikan pinjaman itu, sehingga tidak berdampak bagi daerah,” katanya. (S-50)