INDONESIA baru saja menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Italia sebagai presiden baru dari negara-negara anggota G-20 untuk periode 1 Desember 2021 sampai dengan 30 November 2022. Tidak ada klub elite superpower ekonomi dunia yang lebih besar daripada G-20. Peran penting dari organisasi G-20 tersebut dapat terlihat dari beberapa fakta, antara lain mereka berkontribusi 85% terhadap perekonomian dunia, memberikan sumbangan sekitar 75% terhadap perdagangan global, dan mewakili sekitar 60% dari seluruh penduduk bumi. Selain itu, semua anggota G-20 memiliki peran geopolitik yang sangat besar dalam berbagai bidang sehingga sangat strategis dalam menentukan kehidupan umat manusia. Dengan melihat besarnya peran dari G-20 tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa G-20 bukan hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, melainkan juga menjadi penjaga gawang stabilitas politik dan ekonomi global. Oleh karena itu, bukanlah sesuatu yang berlebihan apabila Indonesia memegang presidensi dari G-20 sama halnya dengan memimpin dunia untuk jangka waktu satu tahun ke depan. Pergantian presidensi G-20 kepada Indonesia itu bukan hanya sebuah kehormatan yang luar biasa bagi bangsa dan negara Indonesia, melainkan juga sekaligus memberikan pandangan kepada semua negara bahwa Indonesia ialah sebuah negara besar. Indonesia ialah satu dari lima negara Asia yang mampu memasuki klub elite G-20, di samping Tiongkok, Jepang, India, dan Korea. Bahkan, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang bisa menembus keanggotaan G-20 tersebut.

Indonesia sudah sepantasnya menyandang jabatan itu, mengingat ekonomi Indonesia saat ini telah menduduki posisi ke-15, apabila diukur dari PDB nominal, dan menduduki posisi ke-7 apabila diukur dari PDB yang berbasis PPP (purchasing power parity). Posisi ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat dalam jangka panjang sehingga berpotensi menjadi the big five kekuatan ekonomi global pada 2045 nantinya. Kita berharap pada 2045, Indonesia bukan hanya menjadi salah satu pelaku ekonomi terbesar di dunia, melainkan juga mampu menjelma sebagai sebuah negara maju. Apabila ramalan tersebut benar-benar terwujud, momen itu tentunya akan menjadi sebuah kado terindah dalam memperingati 100 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia pada 2045.

Forum solusi Organisasi G-20 didirikan pada 1999, yang diprakarsai oleh negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok G-7. Tujuan utama didirikannya G-20 tersebut sebagai forum koordinasi untuk menjaga stabilitas ekonomi global dan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, G-20 juga dibentuk untuk mendukung kebijakan keuangan global guna mengurangi dan mencegah munculnya potensi krisis keuangan global di masa yang akan datang. Terakhir, G-20 juga dibentuk untuk menciptakan arsitektur keuangan global yang resilien dan mampu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi global. Melihat tujuan itu, tentunya G-20 memiliki peran yang sangat strategis dalam menata sektor perekonomian dan keuangan global, agar stabilitas ekonomi dan keuangan dunia dapat tetap terjaga dengan baik untuk kesejahteraan umat manusia.   Isu penting 2022 Setiap tahun, agenda G-20 selalu berubah mengikuti perkembangan terbaru di tahun tersebut. Untuk 2021-2022, sudah ada beberapa isu penting dan menarik yang telah diusulkan menjadi agenda utama bagi anggota G-20 untuk dicarikan solusinya. Beberapa dari agenda tersebut memliki dampak besar dan penting bagi kesejahteraan umat manusia baik untuk saat ini maupun masa mendatang. Pertama, perlunya komitmen yang kuat dan kerja sama global untuk mengurangi emisi karbon, yang sangat berdampak terhadap perubahan dan pemanasan iklim global. Negara-negara maju menginginkan pengurangan penggunaan energi fosil, khususnya baru bara untuk mengurangi efek karbon guna mendukung zero carbon emission.

Sebagian besar negara-negara berkembang dan juga Tiongkok sebagai pengguna batu bara terbesar, belum memiliki komitmen penuh untuk beralih renewable energy atau energi baru terbarukan (EBT) yang berbasis zero carbon, seperti panas bumi, matahari, tenaga angin, dan lain-lain. Rencana negara-negara maju, untuk menjaga kenaikan ambang batas suhu bumi sebesar 1,5 derajat celsius maksimum pada 2050 perlu direncanakan dan ditindaklanjuti dengan sebuah kebijakan dan action plans yang bersifat global. Termasuk, di antaranya mengenai aspek skema pembiayaan untuk infrastruktur ekonomi hijau dan dukungan untuk pengembangan energi yang ramah lingkungan. Kedua, pandemi covid-19 walaupun sudah mulai berkurang tingkat penularannya, masih tetap menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia pada 2022. Oleh karena itu, program vaksinasi global perlu dilakukan secara merata dan adil seluruh negara. Khususnya, negara-negara miskin yang tidak memiliki dana cukup untuk membeli vaksin. Sampai dengan 20 November 2021, menurut harian The New York Times tercatat sudah 4,18 miliar penduduk dunia memperoleh dosis pertama. Jumlah tersebut telah mencakup 54,5% dari populasi penduduk dunia yang mencapai 7,9 miliar manusia. Namun, fakta menunjukkan gap vaksinasi antara negara maju dan negara miskin sangat tidak seimbang. Rata-rata tingkat vaksinasi di negara-negara maju sudah di atas 60%, sementara itu di negara-negara miskin masih di kisaran 9,7%. Melihat fakta itu, tentunya terjadi ketidakadilan bagi negara-negara yang tidak mampu membeli vaksin. Untuk itu, komitmen dari G-20 sangat dinantikan oleh dunia untuk mempercepat herd immunity global, sebagai modal utama dalam pemulihan ekonomi global. Ketiga, perlunya kerja sama untuk menata kembali arsitektur kesehatan global, yang telah diusulkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pertemuan G-20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober lalu. Tujuannya sangat jelas, yaitu agar semua negara memiliki ketahanan yang kuat dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, dan potensi pandemi lainnya yang mungkin akan muncul di masa yang akan datang. Belajar dari pengalaman pandemi covid-19 yang mulai merebak di awal 2020, ternyata hampir semua negara tidak siap menghadapinya. Akibatnya, pandemi itu bukan hanya menimbulkan krisis kesehatan, melainkan juga mendorong perekonomian global memasuki jurang resesi. Penataan ulang arsitektur kesehatan global itu harus bersifat inklusif untuk semua negara, bersifat adil, dan mampu digerakkan dengan cepat, apabila muncul pandemi-pandemi lainnya.

Dengan menata kembali arsitektur kesehatan global tersebut, baik proses hulu dan hilir penyediaan infrastruktur, alat-alat kesehatan, obat-obatan, vaksin, maupun penyediaan tenaga medis dapat dilakukan secara terencana, dan siap untuk diaktifkan setiap saat apabila pandemi muncul secara tiba-tiba. Keempat, pemulihan ekonomi global juga menjadi isu penting pada 2022, untuk mengembalikan kondisi ekonomi normal kembali, seperti kondisi sebelum pandemi covid-19. Selama dua tahun terakhir, hampir semua negara menjalankan kebijakan ekonomi makro yang akomodatif dan countercyclical, didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif. Normalisasi ekonomi global merupakan upaya penting untuk mengembalikan eksosistem ekonomi berjalan normal kembali, guna meningkatkan kesejahteraan manusia. Negara-negara miskin perlu diberikan dukungan, khususnya baik bagi negara-negara yang masih mengalami kesulitan likuiditas maupun yang masih dililit utang besar, agar mampu segera membangun ekonominya kembali.

Baca Juga: Motivasi Kejahatan Perbankan dan Kegagalan Internal Auditor

Banyak negara berkembang dan miskin yang terpaksa mengalami rasio utang baik yang melebihi batas-batas kewajaran maupun batasan maksimum dari aturan mereka sendiri. Oleh sebab itu, kebijakan reformasi fiskal yang bersifat global sudah sangat mendesak bagi mereka, guna menyehatkan kembali kondisi keuangan negara-negara tersebut.   Manfaat presidensi G-20 Momentum presidensi G-20 tersebut harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Indonesia untuk kepentingan nasional. Khususnya, guna mendukung pemulihan ekonomi serta mengakhiri pandemi covid-19 yang telah berlangsung hampir 2 tahun. Pertama, dari sisi ekonomi pelaksanaan berbagai pertemuan, seminar, dan agenda lain yang jumlahnya sekitar 150 kegiatan akan menyumbangkan Rp7,4 triliun terhadap PDB nasional, peningkatan konsumsi domestik Rp1,7 triliun, dan melibatkan UMKM, serta 33 ribu tenaga kerja. Di samping itu, kedatangan ribuan delegasi asing pada 2022 tersebut akan memperkuat promosi wisata Indonesia di kancah internasional sehingga mendorong masuknya wisatawan mancanegara. Kedua, dari sisi politik, presidensi G-20 itu akan memperkuat peran Indonesia dalam konteks leadership dan geopolitik global. Yang artinya, Indonesia akan dilihat sebagai negara berkembang pertama yang mampu menjadi presidensi G-20, yang sebagian besar anggotanya justru negara-negara maju. Dengan demikian, Indonesia bisa duduk sejajar dengan negara-negara maju lainnya, yang tergabung dalm wadah G-20. Selain itu, keberhasilan Indonesia dalam memimpin G-20 selama setahun tersebut akan memperkuat posisi politik Indonesia di kawasan regional dan global. Dengan semakin kuatnya peran Indonesia dari sisi politik itu, tentunya memudahkan Indonesia menjaga stabilitas di kawasan regional, khususnya perdamaian di Laut China Selatan yang selama beberapa tahun terakhir menjadi kawasan yang memanas.( Agus Sugiarto  , Kepala Departemen di OJK)