PEMUNGUTAN  dan penghitungan suara dalam pemilu menjadi hari yang dinantikan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Tidak terkecuali kontestan Pemilu Serentak 2024, baik pemilu eksekutif dan pemilu legislatif. Melalui proses pungut hitung suara, pejabat politik pemerintahan nasional akan ditentukan dan diketahui siapa saja sebagai presiden-wakil presiden dan sebagai anggota parlemen di DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Saat proses pungut hitung suara, peran amat krusial ada di penyelanggara yang ada di tingkat lapangan paling bawah. Sebab di tangan merekalah hasil pemilu diwujudkan. Proses pungut hitung suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, menjadi tantangan. Merekalah para anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menjadi garda terdepan. Tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan.

Pada ruang maya kini muncul konten yang kreatif, segar sangat menghibur. Yang intinya memberikan apresiasi menjadi KPPS. Khususnya dengan honor Rp 1,2 Juta untuk Ketua dan Rp 1,1 juta bagi anggota. Dibandingkan dengan Pemilu 2019 honor ini mengalami peningkatan yang sangat besar.

Nah, melihat peran yang krusial dalam mengawal proses pungut hitung suara ini, maka segala potensi yang kemungkinan muncul harus sudah diketahui. Sebab, ada kemungkinan timbulnya proses yang tidak sesuai sehingga menjadikan pungut hitung di TPS menjadi diragukan lalu disimpulkan terjadi kecurangan.

Baca Juga: Integritas dan Kapasitas Wakil Rakyat

Dalam catatan, ada tiga tahapan yang harus menjadi perhatian serius untuk mengurangi potensi pelanggaran. Saat pungut hitung suara, memang ada potensi pelanggaraan, seperti pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu, hingga pelanggaran etika penyelenggara.

Maka semua yang menjadi KPPS harus benar-benar memahami dan mengerti betul proses dan hal teknis saat pungut hitung suara. Mulai dari sebelum, saat, dan setelahnya. Jangan sampai ada kesalahan yang akan menimbulkan suatu pelanggaran. Salah satu contohnya adalah Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Penyebab PSU, terlihat sepele. Bahkan, mungkin banyak yang ragu, PSU bisa terjadi. Tapi kenyataannya, memang pernah terjadi pada Pemilu Serentak 2019. Di Jawa Tengah, ada 25 TPS yang dilaksanakan PSU.

Ketentuan PSU diatur bedasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 372 ayat (1) bertuliskan, Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi, bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibattan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Ayat (2)-nya bertuliskan, Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan, di antaranya penggunaan hak pilih oleh Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Ketentuan ini lebih rinci dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum, Pasal 80 Ayat (1) dan (2). Adapun untuk jangka waktu pelaksanaan PSU di TPS paling lama 10 hari setelah Pemungutan Suara berdasarkan Keputusan KPU Kabupaten/Kota, Pasal 81 Ayat (3).

Potensi kerawanan di atas bisa terjadi lagi. Maka KPPS serta Pengawas TPS (PTPS) dan saksi, harus memiliki pengetahuan teknis yang baik saat bertugas. Jika semuanya sudah mengetahui ini, potensi pelanggaran bisa dicegah.

Biasanya, ini lebih banyak pada aspek ketelitian. Kemungkinan PSU terjadi karena KPPS kurang teliti dalam memberikan surat suara kepada pemilih. Terlebih istilah untuk pemilih juga beragam.

Setidaknya ada beberapa hal yang diperhatikan. Pertama, adanya lima surat suara menjadi salah satu penyebabnya. Kedua, identifikasi pemilih yang status terdaftar di DPT, pemilih tambahan (DPTb), Pemilih Khusus (DPK), dan pemilih yang memiliki KTP-el tapi belum terdaftar. Ketiga, daerah pemilihan yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan jika ada pemilih yeng berstatus DPTb, DPK tidak harus mendapatkan lima surat suara.

Di sinilah KPPS harus teliti dan cermat saat proses di awal, pemilih datang di TPS. Kalau pemilih yang ada dalam DPT, tentu tidak ada kesulitan. Tapi jika saat menemukan yang kategori DPTb atau DPK dan hanya membawa KTP-el harus dilihat secara teliti.

Potensi kerawanan di atas bisa terjadi lagi. KPPS serta Pengawas TPS (PTPS) dan saksi harus memiliki pengetahuan yang baik dan teknis saat bertugas. Jika sejak sudah diketahui maka potensi pelanggaran itu bisa dicegah.

Pemahaman inilah yang harus di sampaikan dengan baik kepada KPPS dan PTPS sebelum hari pungut hitung suara. Caranya melalui simulasi yang mengarah pada terjadinya potensi masalah di TPS. Ini harus dilakukan secara berkelanjutan sampai benar-benar KPPS paham.

Saat di TPS inilah seluruh masyarakat aktif terlibat dengan melihat, mengawasi setiap apa yang dilakukan oleh KPPS saat menjalankan tugasnya. Di tingkat TPS inilah nasib bangsa dipertaruhkan, jadi jangan berbuat melakukan kecurangan. (*)