HARGA beras terus melonjak. Bahkan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras pada Februari 2024 relatif tertinggi sepanjang sejarah. Rata-rata harga beras di penggilingan kualitas premium, menurut BPS, sebesar Rp14.525,00 per kilogram naik sebesar 6,31% bila dibandingkan dengan bulan lalu. Demikian pula rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp14.162 per kilogram naik sebesar 7,39% dan rata-rata harga beras di penggilingan luar kualitas sebesar Rp13.664 per kilogram naik sebesar 4,65%. Data statistik itu, mewujud dalam jeritan para emak, pengusaha warung makan, dan masyarakat kecil lainnya.

Melonjaknya harga beras itu tentu patut diwaspadai karena dapat mendorong inflasi. Apalagi, kini menjelang Ramadan dan Idul Fitri, biasanya kenaikan harga beras diikuti komoditas pangan lainnya. Pemerintah perlu ekstra hati-hati. Mengelola urusan perberasan itu memang tidak mudah. Mantan Presiden Soeharto dulu memang pernah membawa negeri ini swasembada beras, bahkan menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir beras. Akan tetapi, karena terlena dengan pembangunan industri manufaktur, sektor pertanian disepelekan. Lahan-lahan pertanian produktif dirampas dengan berbagai cara untuk kepentingan industri. Indonesia pun kembali menjadi importir beras, bahkan hingga hari ini.Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra. Mantan Perdana Menteri Thailand itu awalnya memenangi Pemilu 2011 dengan program populisnya di bidang pangan, khususnya padi. Saat kampanye, ia berani menjamin harga pengadaan padi untuk petani 4.000 baht lebih tinggi di atas harga yang ditetapkan pemerintahan sebelumnya dan hampir 50% di atas harga pasar global. Karena hampir 40% angkatan kerja Thailand bekerja di bidang pertanian dan sebagian besar bekerja di bidang beras, Yingluck pun meraih simpati hingga melenggang mulus dan dilantik sebagai perdana menteri.

Strategi yang ia terapkan sederhana, tapi sesungguhnya tidak realistis. Ia membeli beras dari petani dengan harga tinggi, menimbunnya untuk mengurangi pasokan global, dan berharap dapat mendikte harga pasar, lalu kemudian menjualnya kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi untuk mengembalikan modal awal. Saat itu, Thailand memang merupakan eksportir beras terbesar di dunia dan menguasai 30% pasar. Yingluck menilai pangsa pasar itu cukup besar untuk bisa disiasati dalam hal harga.

Entah naif atau salah perhitungan, ketika Thailand menimbun beras, pasokan global telah diisi beras dari India dan Vietnam. Sementara itu, pembangun sejumlah gudang untuk menyimpan berjuta-juta ton beras di dalam negeri membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Sebaliknya, beras yang menumpuk terlalu lama di gudang itu pun semakin menurun kualitasnya. Lantaran tidak praktis sejak awal, rencana Yingluck itu mulai berdampak buruk pada anggaran Thailand. Pada tahun pertama, biaya yang dikeluarkan mencapai US$4,4 miliar (sekitar Rp70 triliun jika dirupiahkan saat ini), atau 1,2% dari PDB negeri itu pada 2012. Institut Penelitian Pembangunan Thailand (TDRI), sebuah lembaga pemikir independen, bahkan memperkirakan biayanya lebih tinggi lagi, yakni di kisaran US$6 miliar.Lantaran salah dalam mengurus perberasan itu, adik kandung Thaksin Shinawatra ini pun kehilangan simpati, termasuk dari kalangan petani yang dulu memilihnya. Setelah terjadi kudeta militer, dia akhirnya dimakzulkan pada 23 Januari 2015. Salah satu ‘dosa waris’-nya yang diungkit dalam persidangan, ya karena urusan perberasan itu, selain masalah korupsi, dan persoalan politik dinasti keluarganya. Satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus itu ialah perlunya kehati-hatian pemimpin dalam mengelola kebijakan pangan, termasuk beras, dan jangan sekali-kali coba memanipulasi pasar. Wasalam. Oleh: Adiyanto Wartawan Media Indonesia(Ebet)