INDONESIA memiliki posisi penting dalam konservasi global, khususnya mengenai keberlangsungan populasi hiu dan pari. Sebagai salah satu episentrum biodiversitas laut, Indonesia menjadi habitat bagi hampir 20% keragaman hiu dan pari dunia (selanjutnya disebut sebagai hiu saja). Namun, negeri ini harus menerima kenyataan merupakan salah satu negara dengan volume pendaratan hiu yang signifikan, hampir 111 ribu ton hiu didaratkan dalam 10 tahun terakhir. Selama 7 tahun (2012-2018), volume ekspor produk hiu hanya sekitar 4% (30,560 ton) dari volume pendaratan sebesar 771,009 ton. Kesejangan ini mengindikasikan tingginya konsumsi domestik produk hiu. Fakta ini membuat pengelolaan hiu di Indonesia menjadi problematik karena masih banyak masyarakat pesisir dan urban yang menggantungkan hidupnya dari hiu, baik sebagai nelayan, pengolah, maupun konsumen. Umumnya hiu tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Ada pula komunitas yang memang menjadikan hiu sebagai tangkapan utama.

Seluruh bagian tubuh hiu dimanfaatkan, mulai sirip, daging, kulit, tulang, minyak, jeroan, bahkan hingga limbah olahan. Olahannya pun beragaman, seperti kuliner prestise, pangan yang terjangkau, suplemen, dan pakan hewan. Selain manfaat langsung, hiu pun punya nilai ekonomis dari wisata hiu. Terlepas dari nilai ekonomi dari hiu, populasi hiu sangat rentan terhadap kepunahan. Bahkan secara global, populasi hiu menurun 78% dalam kurun waktu 50 tahun (1970–2018) akibat tingginya penangkapan. Mengingat peran penting hiu baik secara sosial-ekonomi maupun ekologis, kelestariannya perlu diperhatikan.

Almarhum Dharmadi (peneliti yang mende­dikasikan hidupnya untuk hiu dan pari) berkata, “Pengelolaan dan konservasi sejatinya mengelola manusia, maka penting melibatkan manusia dalam mengambil keputusannya.” Sangat muluk (utopia), bila pengelolaan dituntut harus bisa membahagiakan setiap pihak. Maka ruang partisipatif perlu dibuka luas sehingga mampu memfasilitasi tanpa diskriminasi. Langkah pengelolaan telah dilakukan, seperti penetapan perlindungan dan pelarangan ekspor, sosialisasi, hingga pembentukan kawasan konservasi. Selain itu, pengaturan penangkapan, pelepasan kembali dengan mempertimbangan keselamatan nelayan, dan penggunaan alat untuk mengurangi tangkapan sampingan bisa jadi alternatif pengelolaan dan konservasi.

Peran penelitian Penelitian perlu menjadi jiwa suatu pengelolaan sehingga keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan yang matang serta hati-hati. Pengetahuan sosial dan alam perlu saling mengisi agar kebijakan yang diambil tidak pincang. Penelitian dapat memberikan insight masalah yang dihadapi serta memberikan peringatan atas jejak yang ditinggalkan sehingga pengambil keputusan mampu bermanuver dengan baik untuk meminimalkan ‘guncangan’. Simposium hiu dan pari (https://srs-indonesia.org) yang rutin diselenggarakan 3 tahun sekali sejak 2015 ialah salah satu sarana untuk mendorong penelitian mengenai hiu.

Pada 5-8 April 2021, simposium ketiga dapat menghimpun 99 makalah yang diikuti berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri.     Pengawasan Salah satu instrumen global untuk melakukan pengelolaan hiu ialah instrumen perdagangan. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) menetapkan 48 spesies yang perdagangan terbatas (controlled species) dan akan bertambah ke depannya. Ada 30 spesies dari 48 spesies hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut ditambah 4 spesies pari tawar yang dilindungi penuh di Indonesia menurut Kepmen-KP No 1/2021 dan Permen-LHK No 20/2018 sehingga terdapat 34 spesies hiu dan pari yang terbatas pemanfaatannya. Merujuk kembali volume ekspor produk hiu sebesar 30,560 ton, yakni produk sirip dan daging.

Baca Juga: Mendongkrak PNBP Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Produk sirip memiliki pasar utama, yakni Hong Kong, sedangkan produk daging hiu dipasarkan ke Malaysia dan Tiongkok. Jika dilihat lebih detail, ada perbedaan signifikan antara pelaporan ekspor oleh Indonesia dan negara pengimpor. Rata-rata perbedaan produk sirip dan daging masing-masing sebesar 54,4% (1,462 ton) dan 47,1% (13,138 ton) dari volume ekspor yang dilaporkan Indonesia (2,689 ton dan 27,871 ton). Perbedaan ini diestimasi bernilai US$43,6 juta untuk sirip dan US$21 juta untuk daging. Perbedaan ini dapat disebabkan pendataan yang tidak sistematis di berbagai level otoritas mulai pendaratan, ekspor, dan impor. Kondisi yang dapat menyebabkan ‘tercecer’ data. Perbedaan tersebut juga bisa terjadi akibat aktivitas perdagangan ilegal. Perdagangan ilegal produk hiu merupakan area abu-abu.

Beberapa jenis dilarang diperdagangkan internasional, tetapi diperbolehkan di dalam negeri. Pengawasan perdagangan hiu sangat menantang dan sarat hambatan. Memilah 34 jenis dari 225 spesies hiu dan pari bukanlah perkara mudah karena kemiripan yang tinggi dan produk olahan yang beragam.

Pil pahit Sadar akan tantangan besar yang dihadapai dalam pengelolaan dan konservasi hiu, sudah sepatutnya Indonesia sebagai bangsa bahu-membahu melestarikan hiu. Keberhasilan penge­lolaan dan konservasi diukur dengan bagaimana masyarakat memahami manfaat tindakan konservasi. Penelitian perlu didorong untuk menjadi unsur penyusunan kebijakan.

Penguatan lini pengawasan sangat diperlukan dan beriringan dengan sosialisasi yang humanis sehingga upaya pengelolaan dan konservasi dapat mencapai tujuan utamanya, yakni manusia dan alam bisa saling menghargai dan mengambil manfaat satu sama lain.( Andhika Prima Prasetyo, Peneliti pada Pusat Riset Perikanan, BRSDM, KKP Mahasiswa S-3 di University of Salford, UK)