Peta Kemiskinan Indonesia
Dalam lima tahun terakhir, kinerja penanggulangan kemiskinan nasional mengalami pasang surut dengan kemiskinan perdesaan masih mendominasi. Jumlah penduduk miskin perdesaan hampir dua kali lipat daripada jumlah penduduk miskin perkotaan.
Jumlah penduduk miskin perdesaan turun -0,71 persen per tahun sepanjang 2011-2016. Lebih cepat daripada penurunan penduduk miskin perkotaan yang hanya -0,66 persen per tahun.
Terdapat tendensi kebijakan ekonomi era Presiden Joko Widodo lebih ramah terhadap penduduk miskin perkotaan dibandingkan penduduk miskin perdesaan. Pada Maret 2015, penduduk miskin perdesaan meningkat 569 ribu jiwa, di perkotaan meningkat 296 ribu jiwa.
Pada Maret 2016, penduduk miskin perdesaan hanya turun 275 ribu jiwa, penduduk miskin perkotaan turun 313 ribu jiwa.
Kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang bias ke penduduk miskin perkotaan dikonfirmasi lebih lanjut oleh tren indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pasca-Maret 2015, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perkotaan menunjukkan tren menurun.
Baca Juga: Spiritualitas Pendidikan Era Covid-19Pada saat yang sama, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan justru menunjukkan tren meningkat signifikan. Disagregasi analisis kemiskinan ke tingkat daerah memberikan kita kondisi dan tantangan kemiskinan jauh berbeda dari analisis nasional.
Kantong kemiskinan tak banyak berubah. Penduduk miskin terkonsentrasi di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Dengan luas hanya enam persen dari total wilayah Indonesia, ketiga provinsi ini menjadi rumah bagi hampir setengah dari total penduduk miskin nasional. Setengah penduduk miskin lainnya tersebar di wilayah yang sangat luas di luar Jawa.
Analisis lebih jauh terhadap kantong kemiskinan nasional menunjukkan keterkaitan antara aglomerasi, pertumbuhan kawasan metropolitan, dan kemiskinan.
Kawasan metropolitan, selain menciptakan kemiskinan kota, juga menciptakan kantong kemiskinan di wilayah sekitarnya, seperti Kab Bogor dan Kab Bekasi di Jabodetabek, Kab Bandung dan Kab Bandung Barat di Bandung Raya.
Kab Grobogan di Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang, Purwodadi), Kab Klaten di Solo Raya, Kab Bangkalan, Kab Lamongan, dan Kab Gresik di Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).
Sementara itu, insiden kemiskinan yang tinggi terjadi di luar Jawa. Kabupaten-kota dengan persentase penduduk miskin sangat tinggi (head-count index), 20-45 persen, ditemui di Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur.
Juga ditemukan di beberapa daerah di JawaTengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat. Terdapat pola, daerah dengan tingkat kemiskinan (head-count index, P0) tinggi cenderung memiliki indeks kedalaman kemiskinan (poverty-gap index, P1) yang juga tinggi.
Dan daerah dengan indeks kedalaman kemiskinan tinggi cenderung memiliki indeks keparahan kemiskinan (poverty-severity index, P2) yang juga tinggi. Tidak hanya di Papua dan Papua Barat, pola ini ditemui pula di daerah lain, seperti Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Pola di daerah perkotaan juga menunjukkan arah sama. Dengan demikian, agenda penanggulangan kemiskinan memiliki dua dimensi spasial, yaitu kantong kemiskinan yang sangat terkonsentrasi di Jawa dan insiden kemiskinan yang sangat tinggi di luar Jawa.
Dari fakta ini, kami dalam laporan Peta Kemiskinan Indonesia (2017) menggagas indikator baru, yaitu kepadatan penduduk miskin menurut wilayah. Terlihat daerah dengan kepadatan penduduk miskin yang tinggi, di atas 250 jiwa per km2, didominasi daerah perkotaan di Jawa.
Daerah dengan kepadatan penduduk miskin tertinggi, 800-1.250 jiwa per km2, yaitu Kota Kupang, Kota Surakarta, Kota Yogyakarta, Kota Cirebon, dan Kota Cimahi.
Temuan ini menegaskan, meski kota pada umumnya adalah pusat kegiatan ekonomi dan karenanya memiliki tingkat kemiskinan rendah, mereka adalah kantong kemiskinan yang sangat masif. Kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan antardaerah amat lebar.
Pada 2015, kantong kemiskinan nasional terbesar, Kab Bogor memiliki penduduk miskin 375 kali lebih banyak daripada Kota Sawahlunto, daerah dengan jumlah penduduk miskin terkecil. Dilihat dari intensitas lokasi, penduduk miskin sangat terkonsentrasi di daerah perkotaan.
Kota Kupang memiliki kepadatan penduduk miskin 15.164 kali lebih tinggi daripada Kab Malinau. Tingkat kemiskinan di Kab Deiyai 27 kali lebih tinggi daripada insiden kemiskinan di Kota Tangerang Selatan.
Indeks kedalaman kemiskinan Kabupaten Intan Jaya 94 kali lebih tinggi daripada Kab Badung. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan Kab Paniai 363 kali lebih tinggi daripada Kota Tarakan.
Mengetahui kondisi dan karakteristik kemiskinan, penting untuk desain penanggulangan kemiskinan. Namun, menilai kinerja penanggulangan kemiskinan lebih signifikan untuk mengakselerasi penanggulangan kemiskinan.
Pada periode 2010-2014, daerah paling progresif dalam penurunan jumlah penduduk miskin didominasi daerah Luar Jawa, yaitu Kepulauan Bangka Belitung (Kab Bangka Barat, Kab Bangka Selatan, Kab Belitung Timur, Kab Bangka Tengah, Kota Pangkal Pinang) dan Sumatra Barat (Kota Solok, Kota Payakumbuh, Kab Solok Selatan, Kab Pasaman).
Pada periode sama, tercatat sekitar 12 persen daerah, 59 dari 497 daerah, gagal menurunkan jumlah penduduk miskin. Daerah dengan kenaikan jumlah penduduk miskin tertinggi, didominasi daerah perdesaan di luar Jawa dan daerah perkotaan di Jawa.
Khususnya di Jabodetabek, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat, dan Kota Jakarta Timur.
Secara umum, daerah dengan kinerja penurunan jumlah penduduk miskin yang tinggi, juga mencatat kinerja yang tinggi dalam penurunan persentase penduduk miskin (head count index – P0), dan sebaliknya.
Menarik untuk dicatat, daerah perkotaan dengan peningkatan P0 paling banyak ditemui di Jabodetabek, yaitu Kota Jakarta Utara, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Jakarta Timur.
Daerah paling progresif dalam penurunan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index – P1) periode 2010-2014 didominasi daerah di Luar Jawa, yaitu kawasan Timur Indonesia seperti Maluku Utara (Kab Pulai Morotai, Kab Halmahera), Maluku (Kab Buru Selatan, Kota Tual, Kota Ambon), dan Papua (Kab Supiori, Kab Puncak Jaya).
Pada periode yang sama, tercatat sekitar 14 persen daerah, 69 dari 497 daerah, gagal menurunkan P1. Menarik untuk dicatat, daerah dengan peningkatan P1 tertinggi ditemui di DKI Jakarta, yaitu Kab Kepulauan Seribu, mencapai 18,0 persen per tahun (CAGR).
Secara umum, daerah dengan penurunan P1 yang tinggi, juga mencatat kinerja tinggi dalam penurunan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index – P2), dan sebaliknya.
Daerah terbaik dalam penurunan P2, sekaligus terbaik dalam penurunan P1, kembali diraih Kab Pulau Morotai, mencapai 49,4 persen per tahun (CAGR). Pada periode sama, tercatat sekitar 21 persen daerah, 106 dari 497 daerah, gagal menurunkan P2.
Daerah dengan peningkatan P2 tertinggi dan juga daerah dengan peningkatan P1 tertinggi, kembali ditemui di Kab Kepulauan Seribu dan Kab Deiyai.
Dalam laporan Peta Kemiskinan Indonesia (2017), kami menguantifikasi kinerja penanggulangan kemiskinan daerah di semua ukuran ini dengan membangun “Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah”.
Dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah 2010-2014 ini, secara menarik terlihat hanya sedikit daerah yang termasuk kategori kinerja tinggi dalam penanggulangan kemiskinan (nilai indeks di atas 60), hanya sekitar 27 persen atau 136 dari 497 daerah.
Daerah dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah tertinggi pada periode 2010-2014 didominasi daerah di Sumatra Barat (Kota Solok, Kab Solok Selatan, Kota Payakumbuh, Kota Padang, Kab Lima Puluh Koto, Kab Dharmasraya), Kepulauan Bangka Belitung (Kab Bangka Barat, Kab Bangka Selatan, Kab Bangka Tengah, Kota Pangkal Pinang), serta Maluku (Kab Buru Selatan, Kota Ambon, Kota Tual).
Sedangkan daerah dengan Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah terendah periode 2010-2014 banyak ditemui di Bengkulu (Kab Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Kab Rejang Lebong), Gorontalo (Kab Gorontalo, Kota Gorontalo, Kab Boalemo), Papua Barat (Kota Sorong, Kab Tambrauw), Jambi (Kab Merangin, Kab Tanjung Jabung Timur), dan DKI Jakarta (Kab Kepulauan Seribu, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Timur).
Secara umum terlihat daerah dengan kinerja penanggulangan kemiskinan tertinggi dominan di luar Jawa. Namun pada saat yang sama, daerah dengan kinerja penanggulangan kemiskinan terendah juga dominan berlokasi di luar Jawa, dengan pengecualian DKI Jakarta.
Daerah di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional dan daerah dengan tingkat pendapatan per kapita tertinggi dan tingkat kemiskinan terendah, ternyata memiliki kinerja penanggulangan kemiskinan yang rendah.
Hasil analisis secara keseluruhan dari Indeks Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah 2010-2014, menunjukkan sebagian besar daerah belum memiliki kinerja memuaskan dalam penanggulangan kemiskinan.
Dengan ambang batas nilai indeks 70, hanya ada enam dari 497 daerah, atau sekitar satu persen, yang memiliki kinerja memuaskan dalam penanggulangan kemiskinan pada periode 2010-2014. Ini sangat mengkhawatirkan dan secara implisit menunjukkan lemahnya upaya menanggulangi kemiskinan di tingkat kabupaten-kota. (Yusuf Wibisono, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS))
Tinggalkan Balasan