ADA ungkapan bermakna dari almaghfurllah KH Maimun Zubair atau Mbah Moen tentang dawuh guru. Beliau bilang, “Yang paling hebat dari seorang guru ialah mendidik, dan rekreasi yang paling indah ialah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati kita teruji kesabarannya. Namun, hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga.”

Ungkapan itu mengajarkan watak guru yang sebenarnya. Mendidik dan mengajar ialah dua kata kunci dalam satu tarikan napas, yang harus selalu hadir pada relung hati setiap guru, dilandasi nilai kesabaran dan keikhlasan dalam menjalaninya.

Pertanyaan kritis yang muncul dari ungkapan di atas ialah kira-kira para guru di Indonesia saat akan setuju dan fokus pada kata kunci mendidik dan mengajar, atau pada kata kesabaran dan keikhlasan? Ada beragam kemungkinan jawaban jika hal ini kita tanyakan kepada guru.

Bisa jadi ada yang menjawab yang penting menjalani proses mendidik dan mengajar, dan tak memperhatikan pentingnya kesabaran dan keikhlasan. Jawaban lain ialah kebalikannya bahwa bekal guru itu yang paling penting ialah sabar dan ikhlas, urusan teknis mendidik dan mengajar tak begitu penting.

Sementara itu, kemungkinan lain ialah jawaban yang memberikan rasa bangga, bahwa menjadi guru harus memiliki kesadaran untuk terus berkembang dengan sabar dan ikhlas.

Baca Juga: Menguatkan Patriotisme dan Kepedulian Anak Muda Terhadap Bangsa

Jika kita telusuri melalui sebuah survei, mana kira-kira di antara tiga jawaban di atas yang akan dipilih guru? Secara kasatmata, jika mengacu pada kualitas pendidikan di Indonesia, jelas guru belum sepenuhnya sadar untuk mengembangkan kapasitasnya sesuai dengan harapan siswa.

Beberapa hambatan yang sejauh ini coba diselesaikan pemerintah melalui Kemendikbud-Ristek, hanya berfokus pada upaya penyelesaian aspek material dari posisi guru, yaitu kesejahteraan.

Dari tahun ke tahun, usaha memperbaiki guru selalu ada pada ranah bagaimana distribusi guru harus dilakukan sekaligus memikirkan aspek kesejahteraan. Pendekatan materialistis ini jelas membawa guru pada situasi psikologis yang sulit.

Aspek pengembangan kapasitas mereka terhambat oleh dan semata-mata karena faktor kesejahteraan. Bahkan, tanpa mencari tahu penyebab mendasar dari hilangnya akuntabilitas pembelajaran, yang seharusnya menjadi tanggung jawab guru secara penuh.

Akuntabilitas dan relevansi

Jika akuntabilitas diartikan sebagai bentuk pemenuhan hak dan kewajiban semata, tetapi lalai akan konteks aktual kehidupan di sekitar, proses pendidikan hanya menjadi cerita rutin. Alih-alih peduli dengan kondisi sekitar, guru yang hanya mengejar hasil akhir (result of learning) atas nama akuntabilitas, pasti tak akan memiliki kebahagian sejati seorang guru.

Itu karena siswa-siswa mereka pasti kering secara moral akibat jarangnya dipersentuhkan dengan kondisi di sekitar mereka. Kesulitan dan kesalahan lain dalam memaknai relevansi, juga terkadang muncul saat guru menganggap bahwa apa yang mereka ajarkan dari buku teks dianggap relevan dengan kebutuhan siswa.

Karena itu, penting bagi para guru untuk mengetahui sekaligus menyadari keterpautan antara akuntabilitas dan relevansi pembelajaran. Dalam prinsip integrasi kurikulum, antara akuntabilitas dan relevanasi memiliki keterkaitan satu sama lain. Keduanya memerlukan keterpautan instructional strategies sekaligus model asesmen yang selaras.

Sangat mudah bagi guru dan siswa untuk menjawab pertanyaan tes/ujian berjenis matematika seperti dua ditambah dua sama dengan empat. Namun, jika ada pertanyaan ‘apa yang menjadikan kamu bangga sebagai anak Indonesia’, misalnya, dibutuhkan bukan hanya jawaban di tempat ujian, tetapi baik guru maupun siswa harus mengetahui dan membangun jawaban panjang, melalui proses persentuhan dengan kondisi aktual di sekitar mereka.

Itulah makna relevansi yang selama ini kurang banyak digali para guru dan siswa sehingga anak-anak kita kehilangan karakter dan kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap negeri tercinta.

Jelas sekali pendidikan kita memerlukan guru-guru yang memiliki kecerdasan relevansi yang luar biasa dalam mengajar. Guru harus mampu membangun jembatan (bridging element) antara tuntutan pengajaran yang berorintasi pada aspek tahu dan melaku semata (knowing and doing), dengan sebanyak mungkin mempersentuhkan mereka dengan rasa bertanggung jawab yang kontekstual. Hal itu agar mental anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang memiliki karakter kuat dan sehat secara rohani (being).

Keterpautan antara know-do-be ini harus senantiasa nyata dalam proses pendidikan yang menghargai nilai-nilai demokratis, kebersamaan, kepedulian, dan kasih sayang. Inilah makna sejati dari apa yang dikenal dalam prinsip pengembangan kurikulum sebagai an integrated aligning curriculum (Brophy, 2000).

Kecerdasan relevansi hanya bisa dilakukan melalui sebuah proses review buku ajar yang digunakan setiap guru. Sayangnya, kemampuan untuk melakukan review buku tak pernah diajarkan, baik ketika calon guru masih berkuliah maupun ketika mereka sudah menjadi guru.

Pelatihan guru sejauh ini dibuat sangat jauh dari upaya mendekatkan guru dengan buku teks yang mereka gunakan. Dalam kesempatan melakukan proses review buku di Sekolah Sukma Bangsa, rata-rata guru selama ini tak menyadari bahwa buku teks yang mereka gunakan tak memiliki relevansi dengan upaya pengembangan mutu lulusan yang sesuai dengan target pertumbuhan dan perkembangan anak.

Salah satu alasan yang paling fundamental ialah, antara buku dengan penulis buku serta guru yang menggunakan buku, mengalami distorsi pengalaman yang berbeda dengan kondisi siswa yang mereka hadapi sehari-hari.

Generic thinkers

Minimnya kemampuan guru dalam menganalisis buku teks sepenuhnya menjadi kesalahan pemerintah, terutama dengan kebijakan pergantian kurikulum yang tidak relevan dengan kemampuan guru. Kebijakan pergantian kurikulum yang berimplikasi dengan berubahnya buku teks sayangnya tak dimulai dengan melakukan book review yang seharusnya dilakukan para guru itu.

Dalam banyak pelatihan, saya sering bertanya kesulitan apa yang dialami guru ketika menyusun sebuah lesson design/plan yang basisnya dari buku teks. Dari perspektif parameter pengajaran, studi Saphier dalam The Parameters of Teaching (1980) menunjukkan bahwa sekitar 80% guru mengalami kesulitan dalam menentukan tujuan pembelajaran (learning objectives).

Ada banyak cara untuk menentukan tujuan pembelajaran. Namun, karena tradisi copy paste di lingkungan pendidikan kita begitu tinggi, keterampilan guru tak berkembang kecuali hanya mencoba memahami tujuan pembelajaran dari buku-buku teks yang tersedia, tanpa ada kedalaman analisis terhadap isi teks buku. Hal semacam itu tampaknya kurang mendapat perhatian dari Kemendikbud-Ristek.

Banyak sekali, ketika menentukan tujuan pembelajaran, guru terjebak pada katagori dan orientasi yang salah dalam menuliskan dan mengimplementasikan tujuan pembelajaran. Sebagian guru terobsesi untuk selalu mencoba mengatasi dan menyampaikan semua gagasan dan pengetahuan yang mereka miliki.

Tipologi itu disebut sebagai coverage thinkers, bertumpu pada materi, mengutamakan ceramah, dan sangat kurang peduli dengan pemahaman siswa. Rumusan pertanyaan guru tipe itu biasanya ialah ‘what knowledge, skill, or concept am i teaching?’.

Tipe kedua ialah activity thinkers, yaitu guru yang cenderung mengandalkan serangkaian aktivitas sehingga membuat siswa mereka terlihat sibuk dan kebanyakan bekerja secara berkelompok. Tidak ada yang salah dengan kategori itu.

Namun, fokus guru terlalu terpusat pada assignment dan penyelesaian masalah yang bersifat sementara tanpa mengikuti prosedur yang sistematik dan menuntun logika siswa bekerja. Proses belajar bermula dari asumsi tentang what activities could students do to gain understanding or to develop these skills?.

Guru dengan tipologi involvement thinkers biasanya lebih banyak menghabiskan energi dari dua tipologi guru di atas. Karena aktivitas dan ceramah menjadi lebih banyak, kelas menjadi bertambah ramai dan lebih fun, tetapi aspek tujuan atau objectives guru tipe ini selalu berorientasi pada how can I get students really engaged?.

Di atas ketiga tipologi tadi ialah guru yang secara substantif dan metodologis jauh lebih baik karena berusaha menggabungkan ketiga pendekatan di atas dan memiliki orientasi untuk belajar tuntas (mastery learning objectives).

Biasanya rumusan standar asumsi tipologi guru keempat ini ialah what do i want students to know or be able to do when lesson is over? dan how will i know if they know it or can do it?.

Salah satu kelemahan dari tipologi guru yang berorientasi pada mastery learning objectives ialah kurangnya memberi ruang kepada daya jelajah pikir siswa untuk tumbuh menjadi lebih kritis dan lebih sistematis.

Namun, jika pendekatan ini juga digunakan, thinking skills siswa ataupun guru akan tumbuh secara kritis dan menjadi lebih sistematis. Diperlukan guru dengan model generic thinkers yang mampu membimbing dan mengembangkan daya kritis siswa, sekaligus merumuskan tujuan pembelajaran berkualitas yang bertumpu pada apa yang dapat dilihat dan tak dapat dilihat di ruang kelas.

Keempat keterampilan di atas hanya bisa diwujudkan jika kemampuan guru dalam me-review buku ajar bisa dilatihkan secara reguler. Dibutuhkan kebijakan yang konkret dari Presiden ke depan, untuk melihat kembali model dan metode pelatihan guru yang lebih simpel, dilakukan di sekolah, dan melibatkan semua guru dengan modul pelatihan yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, seperti yang sudah dilakukan di Sekolah Sukma Bangsa.

Semoga di Hari Guru ini kebutuhan untuk meningkatkan kualitas guru menjadi prioritas dari pemerintahan baru pada 2024, terutama dari Presiden yang pernah memiliki pengalaman menjadi guru. Selamat Hari Guru, cek gu Indonesia.

Semoga akan ada perubahan ke arah yang lebih baik untuk masa depan anak-anak Indonesia. Amin aja dulu. (*)