AMBON, Siwalimanews – Peraturan Walikota Ambon Nomor 19 Tahun 2020 tak bisa dipa­kai untuk menindak pemilik mobil berpelat hitam yang dinilai melanggar aturan ganjil genap saat PSBB.

Operasional kendaraan bermotor dibawah payung UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan penindakan pelanggaran dilakukan oleh polisi.  Sementara dalam Perwali, tak jelas rujukan yang dipakai untuk mem­berikan sanksi kepada pelanggar ketentuan Pembatasan Sosial Ber­skala Besar (PSBB).

Hal ini ditegaskan dua akademisi hukum Tata Negara Unpatti, Hen­drik Salmon dan Sherlock Halmes Lekipiouw.

“Jadi tidak dapat menggunakan Perwali untuk menjatuhkan sanksi, itu sangat lemah,” tandas Hendrik Salmon, kepada Siwalima, Selasa (7/7), menyikapi aturan ganjil genap bagi mobil berpelat hitam dalam penerapan PSBB II.

Menurut Salmon, dalam Perwali harus diatur dengan jelas, bahwa pelanggaran terhadap pemberla­kuan ganjil genap mobil ditindak dengan UU Lalu Lintas. Tetapi ti­dak diatur demikian. Jadi tidak bisa dipakai.

Baca Juga: Gustu Nasional Salurkan Bantuan ke Maluku

“Jadi mestinya dikatakan pelang­garan terhadap Perwali Nomor 19 akan ditindak melalui UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan itu meru­pa­kan pendelegasian kewenangan yang memberikan hak kepada polisi lalu lintas untuk menindak di jalan,” ujarnya.

Lanjutnya, sepanjang tidak ada pendelegasian kewenangan kepada gugus tugas yang diatur dalam Per­wali, maka tidak bisa menindak pe­milik mobil pelat hitam yang mela­nggar aturan ganjil genap.

“Jadi Perwali 19 tidak bisa menja­tuhkan sanksi, Perwali sangat le­mah. Mesti mendelegasian kewenangan kepada gugus tugas. Norma itu norma kabur. Petugas akan dilematis di lapangan,” tandas Salmon.

Hal senada disampaikan Sherlock Lekipiouw. Ia mengatakan, esensi dari PSBB adalah pembatasan. Pemda provinsi atau kabupaten dan kota yang melaksanakan PSBB da­pat melakukan pembatasan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam PP 21/2020 tentang PSBB jo Permen­kes 9/2020 tentang Pedoman PSBB.

“Pengaturan pembatasan mobil pribadi sebagaimana diatur dalam Perwali 19  dengan menggunakan sistim ganjil genap, adalah sebuah pilihan hukum atau choice of law dari pemkot,” kata Sherlock.

Tetapi sayangnya, kata Sherlock, rumusan teknis normanya menjadi masalah karena rujukan analisis epidemiologinya tidak disampaikan atau dijelaskan secara detail oleh Pemkot Ambon, apakah ada temuan dan kajian epidemiologi bahwa mobil pribadi merupakan salah satu titik atau ruang penyebaran Covid-19.

“Atau dengan kata lain pemkot atau gustu harus membuktikan terle­bih dahulu bahwa mobil pribadi me­rupakan klaster baru bagi penye­baran covid sehingga perlu dibatasi dengan pilihan pemberlakuan ganjil genap. Kalau tidak ada indikasi bahwa mobil pribadi sebagai salah satu indikator penyebaran covid maka kebijakan itu tanpa dasar atau irasional, karena tidak cukup dalil argumentasinya,” ujarnya.

Hal lain adalah, kalau esensinya adalah pembatasan pergerakan orang dan atau moda transportasi maka pilihan hukumnya seyogyanya semua jenis kendaraan bermotor dilakukan pembatasan secara me­nye­luruh, kecuali untuk kepenti­ngan medis dan atau instansi atau lembaga yang dikecualikan dalam PP 21/2020 jo Permenkes 9/2020 atau UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Wabah.

“Sehingga substansi pembatasan terhadap orang dan atau moda trans­portasi itu dapat diatur secara logis dalam ketentuan pelaksanaan PSBB. Mengapa demikian,  karena ada pengecualian bagi orang dan atau moda transportasi dalam masa pelaksanaan PSBB,” jelas Sherlock.

Sherlock mengatakan, karena tidak ada rasionalisasi atas argu­men­tasi dalam dalil pengaturannya di Perwali 19 maka akan menim­bulkan perdebatan atau penafsiran dalam pelaksanaannya.

“Pembatasan terhadap moda transportasi dalam hal ini mobil pribadi dapat dilakukan oleh pem­kot. Menyangkut sanksi maka mobil atau kendaraan bermotor itu objek dan subjek hukumnya tunduk dan atau diatur oleh UU Lalu Lintas dan leading sektornya adalah kepolisian. Oleh karena itu, harus diatur secara tegas dan jelas dalalam Perwali, tetapi sayangnya belum mengatur dengan jelas,” ujarnya.

Lanjutnya, persoalannya bukan digunakan sebagai dalil atau tidak oleh masyarakat pengguna kenda­raan mobil pribadi, tetapi seyogya­nya pemkot harus lebih bijaksana dalam menyusun peraturan, karena masyarakat pengguna kendaraan akan dilematis. Begitu juga dengan aparatur di lapangan sebagai pelak­sana pasti akan bersikukuh de­ngan apa yang mereka pahami, dan akhirnya akan menjadi masalah baru.

“Solusinya adalah apakah pemkot mau memperjelas atau mempertegas aturannya atau tidak, karena ketika masyarakat berhadapan dengan aparatur penegak hukum dengan situasi ini tentunya hukum yang akan ditegakan dan masyarakat akan menjadi korban.

“Jadi kalau aturannya tidak jelas, sudah pasti akan ada masalah dalam penegakannya,” tandas Sherlock.

Polisi Pakai Perwali

Sementara Kapolresta Ambon dan Pulau-Pulau Lease, Kom­bes Leo Simatupang mengatakan, pe­nin­dakan pelanggaran mobil ganjil ge­nap di jalanan tetap meng­gunakan Perwali Nomor 19 Tahun 2020.

“Iya pada prinsipnya karena ini disituasi PSBB kita tetap meng­gunakan Perwali,” ujar Simatupang.

Namun Simatupang belum bisa menjelaskan lebih jauh menyangkut mekanisme penindakan, dengan alasan pihaknya dengan Dishub Kota Ambon harus berembuk.

“Kita memang masih harus berembuk dulu ya dengan Dishub. Kalau itu sudah disepakati ya, ti­nggal action di lapangan,” kata Simatupang.(Cr-2/S-32)