Persepsi dan Sikap Generasi Muda akan Intoleransi dan Ekstremisme
SANGAT menggembirakan ketika saya membaca hasil survei, yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Ditemukan data dan informasi bahwa generasi muda yang jumlahnya tidak kecil karena hampir 1/4 jumlah penduduk Indonesia ialah generasi muda dan memiliki sikap kepatuhan yang sangat tinggi dalam menjalankan keyakinan beragamanya (86,8%). Hal tersebut ditandai dengan tingginya kehadiran di tempat ibadah, mengikuti ajaran-ajaran agama, aktif berorganisasi pada lembaga keagamaan yang dianut, dan, yang paling membanggakan ialah memiliki sikap menolong sesama. Meski data ini hanya diambil 6 dari 34 wilayah provinsi, tetapi cukup representatif dalam memberikan gambaran tentang persepsi dan sikap generasi muda tentang keyakinan terhadap agama dan ekstremisme berbasis agama.
Mengapa penting? Sebab kita semua menyadari bahwa agama menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas personal generasi muda. Maka, nilai religiusitas dan persaudaraan para generasi muda harus menjadi dasar persepsi dan sikap hidupnya. Setidaknya dalam tiga level, antara lain, menjadi basis pengetahuan, pemahaman, dan perilaku atau sikap hidup yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari secara individual, komunitas, dan pergaulan antarkomunitas. Nilai-nilai itu merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila. Harapannya akan tumbuh dan berkembang nilai keselarasan, kerakyatan, dan keadilan. Hasil survei ini juga memberi informasi yang positif lainnya kalau dikaitkan dengan kebijakan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri. Kita masih ingat bahwa keluarnya kebijakan ini menimbulkan kontroversi di masyarakat, ada yang setuju, tidak setuju, setuju sebagian, atau yang tidak memberikan penyikapan.
Dalam pandangan saya, dari survei ini kita dapat memperoleh gambaran bahwa secara individu, generasi muda beranggapan bahwa menggunakan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari (termasuk dalam menggunakan pakaian seragam dan atribut kekhasan agama tertentu) kurang dianggap sebagai bentuk ketaatan beragama. Sebagaimana kita ketahui, setidaknya ada tiga hal yang diatur dalam peraturan ini. Pertama, bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut: (a) tanpa kekhasan agama tertentu; atau (b) dengan kekhasan agama tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengetahuan dan pemahaman secara substantif ini penting, adanya kecenderungan generasi muda, untuk tidak mengaitkan ketaatan dalam menjalankan ibadah agama dengan menggunakan simbol agama (jika termasuk pakaian seragam dan atribut kekhasan agama) dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan tumbuh persepsi dan sikap tetap menghormati bagi sesama generasi muda, yang memilih berpakaian jilbab atau tidak berjilbab. Jika ini terus ditumbuhkembangkan, akan muncul bibit-bibit gerasi muda yang lebih toleran. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa mayoritas responden tidak menyetujui tindakan ekstremisme berbasis agama 94.4% dan karena INFID melakukan penelitian yang sama sebelumnya pada tahun 2016. Temuan ini juga menemukan kenaikan signifikan dari 79,7%, 94,4% ke angka sikap atas peristiwa ekstremisme berbasis agama. Meskipun demikian, masih dimungkinan jika terdapat generasi muda yang beranggapan bahwa pemaksaan menggunakan pakaian seragam dalam wujud atribut kekhasan agama tertentu ialah ciri dari ekstremisme berbasis agama dan mayoritas generasi muda menolak tindakan tersebut. Tentu sikap dan persepsi ini harus diubah. Sebab, pemakaian pakaian seragam dalam wujud atribut kekhasan agama ialah diyakini sebagai bagian dari menjalankan syariat agamanya. Yang masih terus dibangun pengetahuannya ialah bahwa pemakaian pakaian seragam dalam wujud atribut kekhasan agama tidak boleh dipaksakan. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam SKB 3 menteri pada poin kedua bahwa pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama. Lalu, di mana peran sekolah dan orangtua, serta komunitas.
Peran strategis triangle kelembagaan ini penting, masing-masing memiliki peran dalam menumbuhkanketaatan pada agama. Ketiganya punya peran penting, dalam menjaga dan menumbuhkan optimisme, sikap individu mayoritas generasi muda terhadap Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa dan menjadikan batu fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Keprihatinan Dimensi Dimensi Sosial Selama Masa Pandemi Covid 19Maka, tentu kita perlu terus memberikan dukungan berbagai inisiatif, seperti yang diusulkan dari penelitian ini. Pertama, memperkuat pemahaman toleransi sebagai norma. Kedua, meningkatkan social awareness terhadap peristiwa intoleransi. Ketiga, mengurangi kecondongan sepakat dengan narasi intoleransi. Sekolah, orangtua, dan komunitas berbagi peran dalam menjaga eksistensi, menjaga keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, serta memperkuat moderasi beragama dan toleransi. Mereka juga berfungsi membangun wawasan, sikap, dan karakter peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, pun membina dan memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Jika hal tersebut dapat diupayakan, diharapkan muncul ketangguhan para generasi muda dalam menyikapi berbagai kasus intoleransi. Contohnya dalam kasus pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah.( Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Lemhannas RI)
Tinggalkan Balasan