AMBON, Siwalimanews – Gejolak jelang pilkada tak hanya terjadi di Golkar Kabupaten Maluku Barat Daya, tetapi juga di Buru Selatan dan Kabupaten Kepulauan Aru.

Di MBD perpecahan berawal, ketika pasangan Desianus Orno alias Odie Orno dan Bastian Pet­rusz yang diusung Golkar gagal memperoleh rekomendasi Partai Demokrat.

Golkar yang memiliki tiga kursi percaya diri akan berkoalisi dengan partai berlambang bintang mercy itu yang juga memiliki jumlah kursi yang sama. Tetapi ternyata Demokrat lebih memilih petahana Benyamin Thomas Noach, yang dari sisi elektabilitas jauh lebih unggul.

Pasca koalisi Golkar dan Demo­krat gagal, elit Golkar Maluku mendorong Bastian Petrusz yang adalah Ketua DPD Golkar MBD mendekati Nikolas Kilikily, calon bupati Partai Gerindra agar mau berpasangan dengan dirinya.

Manuver politik Bastian justru menimbulkan kisruh di Golkar MBD. Banyak kader dan pengurus yang kecewa karena Bastian ber­main sendiri. Tak hanya itu, mereka juga marah karena Odie Orno dibuang begitu saja.

Baca Juga: Odie Orno Dibuang, Golkar Bakal Pecah

Petinggi Golkar Maluku juga cuek dengan gejolak yang terjadi di MBD. Yang dipikirkan hanya bagaimana Golkar bisa masuk arena pilkada. Malu, kalau menjadi “jomblo”. Ka­lah atau me­nang, urusan bela­ka­ngan. Aspirasi para kader juga tak menjadi penting.

Gejolak juga melilit Golkar Kabu­paten Buru Selatan. Terjadi kubu-kubuan. Kondisi panas itu dipicu munculnya nama mantan Rektor Universitas Iqra Buru, Muhammad Mukaddar dalam bursa pencalo­nan bupati. Mukaddar dijagokan oleh Ketua Golkar Maluku, Ramly Umasugi. Sementara aras bawah menginginkan Zainudin Boy, Ketua Golkar Buru Selatan.

Tarik menarik pun terjadi hingga ke para elit di DPP. Mereka pusing, mau putuskan yang mana sebagai calon bupati, Muhammad Mukad­dar ataukah Zainudin Booy? Al­hasil, hingga kini DPP belum me­nge­luarkan rekomendasi. Untuk mere­dam potensi konflik berke­pan­ja­ngan, DPP beralasan, survei ma­sih dilakukan.

Di Kabupaten Kepulauan Aru, DPP merekomendasikan Timotius alias Timo Kaidel. Keputusan DPP juga memicu gejolak di Golkar Aru. Sebab, mayoritas kader dan pe­ngu­rus menginginkan Golkar men­dukung petahana Johan Gonga. Tetapi elit partai memutuskan ber­beda. Golkar yang hanya memiliki satu kursi bakal tak bisa ikut pilkada dan menjadi penonton.

Gejolak yang terjadi di internal Golkar Kabupaten MBD, Aru dan Kabupaten Buru Selatan sangat menguntungkan calon petahana. Peluang mereka untuk kembali menduduki kursi bupati terbuka lebar. Walaupun Safitri Malik Soulisa bukan petahana, namun suaminya Tago Sudarsono Sou­lisa yang saat ini menjabat bupati akan bekerja habis-habisan untuk memenangkan istrinya.

Akademisi Sosiologi Politik IAIN Ambon, Saidin Ernas juga memas­ti­kan, tarik menarik politik di internal Golkar akan menguntungkan calon petahana.

“Dalam dinamika seperti yang terjadi saat ini justru incumbent yang diuntungkan,” kata Saidin, kepada Siwalima, Rabu (29/7).

Saidin mengatakan, gesekan diantara elit yang turut melibatkan kader partai akan merugikan partai sendiri.”Sudah pasti itu,” ujarnya.

Menurut Saidin, hampir di semua pilkada petahana selalu memiliki peluang untuk memenangkan kontestasi politik, karena beberapa alasan, diantaranya sudah sangat populer di masyarakat karena lima tahun berkuasa. Sementara  yang lain, baru mempromosikan diri.

Kemudian secara sistemik, pe­tahana menguasai sistem biro­krasi, sehingga akan dimanfaatkan  menggerakan sistem politik untuk kepentingan pemenangan.

“Banyak yang mengatakan jika incumbent memiliki peluang ke­menangan di atas 60 persen, ka­rena sudah menguasai sistem po­litik lokal ditambah cukup populer dimata masyarakat. yang artinya incumbent sejak awal telah diun­tungkan karena star lebih awal,” terangnya.

Khusus di Kabupaten Buru Sela­tan, kata Saidin, walaupun yang maju istri bupati, tetapi tetap me­miliki keuntungan secara politik.

“Kan dia masih menguasai sis­tem birokrasi lokal, dengan demi­kian semua instrumen sudah pasti akan bekerja untuk memenangkan istri bupati yang maju, kecuali ada variabel lain yang bisa mem­berikan peluang kontestan oposisi untuk melakukan kampanye hitam,” ujarnya.

Soal pemberian rekomendasi, me­nurut Saidin, rekomendasi par­tai biasanya diberikan melalui pro­ses penjaringan. Namun, terka­dang tidak berdasarkan prinsip rekruitmen organisasi, karena kuat­nya oligarki dalam sistem politik. Partai diurus berdasarkan kepenti­ngan orang perorangan dalam partai, bukan kepentingan masya­rakat.

“Partai modern dalam menentu­kan rekomendasi biasanya mem­per­hitungkan dua aspek yaitu  pro­ses kaderisasi dalam partai dan merekam aspirasi publik,” ujarnya.

Jika pemberian rekomendasi ke­pada calon kepala daerah melalui sistem rekruitmen yang baik, kata Saidin, tidak akan memberikan ekses ke internal partai. “Kalau ti­dak berdasarkan prinsip rekruit­men organisasi, maka hal ini yang mesti diantisipasi,” ujarnya.

Sementara Akademisi Fisip UKIM, Densy Wattimena mengata­kan, pro kontra dalam pencalonan kepala daerah dalam internal partai hal yang biasa terjadi. “Kalau sudah ada keputusan partai, maka seluruh kader dan pengurus pasti akan patuh,” ujarnya.

Masing-masing partai, kata dia, punya strategi untuk mengelola dan menyelesaikan dinamika yang terjadi. (Cr-2)