Perpecahan di Beringin, Keuntungan Petahana
Tarung Panas Pilkada Golkar vs PDIP (13/Habis)
AMBON, Siwalimanews – Gejolak jelang pilkada tak hanya terjadi di Golkar Kabupaten Maluku Barat Daya, tetapi juga di Buru Selatan dan Kabupaten Kepulauan Aru.
Di MBD perpecahan berawal, ketika pasangan Desianus Orno alias Odie Orno dan Bastian Petrusz yang diusung Golkar gagal memperoleh rekomendasi Partai Demokrat.
Golkar yang memiliki tiga kursi percaya diri akan berkoalisi dengan partai berlambang bintang mercy itu yang juga memiliki jumlah kursi yang sama. Tetapi ternyata Demokrat lebih memilih petahana Benyamin Thomas Noach, yang dari sisi elektabilitas jauh lebih unggul.
Pasca koalisi Golkar dan Demokrat gagal, elit Golkar Maluku mendorong Bastian Petrusz yang adalah Ketua DPD Golkar MBD mendekati Nikolas Kilikily, calon bupati Partai Gerindra agar mau berpasangan dengan dirinya.
Manuver politik Bastian justru menimbulkan kisruh di Golkar MBD. Banyak kader dan pengurus yang kecewa karena Bastian bermain sendiri. Tak hanya itu, mereka juga marah karena Odie Orno dibuang begitu saja.
Baca Juga: Jangan Anggap Enteng Kisruh di Beringin MBDPetinggi Golkar Maluku juga cuek dengan gejolak yang terjadi di MBD. Yang dipikirkan hanya bagaimana Golkar bisa masuk arena pilkada. Malu, kalau menjadi “jomblo”. Kalah atau menang, urusan belakangan. Aspirasi para kader juga tak menjadi penting.
Gejolak juga melilit Golkar Kabupaten Buru Selatan. Terjadi kubu-kubuan. Kondisi panas itu dipicu munculnya nama mantan Rektor Universitas Iqra Buru, Muhammad Mukaddar dalam bursa pencalonan bupati. Mukaddar dijagokan oleh Ketua Golkar Maluku, Ramly Umasugi. Sementara aras bawah menginginkan Zainudin Boy, Ketua Golkar Buru Selatan.
Tarik menarik pun terjadi hingga ke para elit di DPP. Mereka pusing, mau putuskan yang mana sebagai calon bupati, Muhammad Mukaddar ataukah Zainudin Booy? Alhasil, hingga kini DPP belum mengeluarkan rekomendasi. Untuk meredam potensi konflik berkepanjangan, DPP beralasan, survei masih dilakukan.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, DPP merekomendasikan Timotius alias Timo Kaidel. Keputusan DPP juga memicu gejolak di Golkar Aru. Sebab, mayoritas kader dan pengurus menginginkan Golkar mendukung petahana Johan Gonga. Tetapi elit partai memutuskan berbeda. Golkar yang hanya memiliki satu kursi bakal tak bisa ikut pilkada dan menjadi penonton.
Gejolak yang terjadi di internal Golkar Kabupaten MBD, Aru dan Kabupaten Buru Selatan sangat menguntungkan calon petahana. Peluang mereka untuk kembali menduduki kursi bupati terbuka lebar. Walaupun Safitri Malik Soulisa bukan petahana, namun suaminya Tago Sudarsono Soulisa yang saat ini menjabat bupati akan bekerja habis-habisan untuk memenangkan istrinya.
Akademisi Sosiologi Politik IAIN Ambon, Saidin Ernas juga memastikan, tarik menarik politik di internal Golkar akan menguntungkan calon petahana.
“Dalam dinamika seperti yang terjadi saat ini justru incumbent yang diuntungkan,” kata Saidin, kepada Siwalima, Rabu (29/7).
Saidin mengatakan, gesekan diantara elit yang turut melibatkan kader partai akan merugikan partai sendiri.”Sudah pasti itu,” ujarnya.
Menurut Saidin, hampir di semua pilkada petahana selalu memiliki peluang untuk memenangkan kontestasi politik, karena beberapa alasan, diantaranya sudah sangat populer di masyarakat karena lima tahun berkuasa. Sementara yang lain, baru mempromosikan diri.
Kemudian secara sistemik, petahana menguasai sistem birokrasi, sehingga akan dimanfaatkan menggerakan sistem politik untuk kepentingan pemenangan.
“Banyak yang mengatakan jika incumbent memiliki peluang kemenangan di atas 60 persen, karena sudah menguasai sistem politik lokal ditambah cukup populer dimata masyarakat. yang artinya incumbent sejak awal telah diuntungkan karena star lebih awal,” terangnya.
Khusus di Kabupaten Buru Selatan, kata Saidin, walaupun yang maju istri bupati, tetapi tetap memiliki keuntungan secara politik.
“Kan dia masih menguasai sistem birokrasi lokal, dengan demikian semua instrumen sudah pasti akan bekerja untuk memenangkan istri bupati yang maju, kecuali ada variabel lain yang bisa memberikan peluang kontestan oposisi untuk melakukan kampanye hitam,” ujarnya.
Soal pemberian rekomendasi, menurut Saidin, rekomendasi partai biasanya diberikan melalui proses penjaringan. Namun, terkadang tidak berdasarkan prinsip rekruitmen organisasi, karena kuatnya oligarki dalam sistem politik. Partai diurus berdasarkan kepentingan orang perorangan dalam partai, bukan kepentingan masyarakat.
“Partai modern dalam menentukan rekomendasi biasanya memperhitungkan dua aspek yaitu proses kaderisasi dalam partai dan merekam aspirasi publik,” ujarnya.
Jika pemberian rekomendasi kepada calon kepala daerah melalui sistem rekruitmen yang baik, kata Saidin, tidak akan memberikan ekses ke internal partai. “Kalau tidak berdasarkan prinsip rekruitmen organisasi, maka hal ini yang mesti diantisipasi,” ujarnya.
Sementara Akademisi Fisip UKIM, Densy Wattimena mengatakan, pro kontra dalam pencalonan kepala daerah dalam internal partai hal yang biasa terjadi. “Kalau sudah ada keputusan partai, maka seluruh kader dan pengurus pasti akan patuh,” ujarnya.
Masing-masing partai, kata dia, punya strategi untuk mengelola dan menyelesaikan dinamika yang terjadi. (Cr-2)
Tinggalkan Balasan