TIDAK ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Demikianlah, perubahan pun menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Bagaimana peran perempuan dalam pusaran perubahan kehidupan? Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Akibatnya, setiap perubahan akan saling memengaruhi di antara individu atau kelompok masyarakat. Piotr Sztompka, sosiolog Polandia yang dikenal dengan bukunya, The Sociology of Social Change, mendefinisikan perubahan sosial sebagai proses pergeseran, atau perubahan struktur, atau tatanan di dalam masyarakat, yang meliputi pola pikir, sikap, dan kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.

Menurutnya, perubahan sosial pada tingkat mikro berupa perubahan interaksi dan perilaku individual, sedangkan di tingkat mezo berupa perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Sementara itu, di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi dan politik. Selanjutnya, perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan sistem sosial dalam jangka waktu yang berlainan. Perubahan sosial pun dapat dikategorikan dalam tiga dimensi, yaitu, pertama, struktural: perubahan struktur masyarakat, perubahan peran. Kedua, kultural: perubahan kebudayaan dan ketiga, interaksional: perubahan frekuensi, jarak sosial, perubahan perantara, perubahan aturan/norma, perubahan bentuk interaksi.

Setiap dimensi perubahan sosial saling memengaruhi dan bahkan acap kali terjadi bersamaan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, mengakibatkan perubahan dalam bentuk dan frekuensi interaksi, yang selanjutnya dapat memicu perubahan kebudayaan. Silaturahim, misalnya, tidak lagi harus berbentuk kunjungan ke rumah, tetapi dapat terwakili dengan komunikasi via teks atau video. Selain itu, perubahan sosial dapat merupakan sebuah perubahan yang direncanakan, seperti perubahan sosial melalui program pembangunan ataupun dapat terjadi tanpa direncanakan, seperti perubahan sosial yang diakibatkan bencana alam.

Pandemi saat ini, misalnya, telah ‘memaksa’ manusia melakukan perubahan dalam pola interaksi dan bahkan kehidupan ekonominya. Rekayasa sosial Perubahan sosial yang direncanakan lazim disebut sebagai rekayasa sosial. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), rekayasa dapat dimaknai negatif sebagai persekongkolan jahat. Namun, juga dapat dimaknai sebagai penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam perancangan atau pembuatan konstruksi sehingga rekayasa sosial dapat juga diartikan sebagai sebuah proses perencanaan, pemetaan, dan pelaksanaan dalam konteks perubahan struktur dan kultur sebuah basis sosial masyarakat. P

ada umumnya, rekayasa sosial dilakukan karena munculnya problem-problem sosial akibat adanya perbedaan antara das sollen (yang seharusnya) dengan das sein (yang nyata). Strategi yang digunakan dalam melakukan rekayasa sosial antara lain melalui proses, pertama, program pembangunan, seperti program transmigrasi, program Keluarga Berencana. Kedua, strategi persuasif melalui pembentukan opini dan pandangan masyarakat. Ketiga, strategi normatif-reedukatif, secara bertahap dilakukan proses penanaman nilai dan edukasi berkelanjutan. Disadari atau tidak, proses rekayasa sosial tengah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Rekayasa direncanakan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan, dengan objek yang sama, yaitu manusia sebagai individu, kelompok masyarakat, dan sebagai warga negara.

Baca Juga: Ancaman Politik Uang

Perkembangan teknologi komunikasi dan industri media, arus globalisasi di berbagai bidang, dan dinamika politik, serta ideologi, mendukung terjadinya rekayasa sosial ini. Dengan kata lain, semua pihak dapat menjadi aktor pelaku rekayasa sosial sekaligus secara bersamaan menjadi objek rekayasa pihak lainnya.

Perempuan dan rekayasa sosial Sebagai individu, sekaligus bagian penting masyarakat, kehidupan perempuan pun tidak luput dari proses rekayasa sosial dalam berbagai dimensinya. Kemudahan akses informasi dan komunikasi membuka peluang perempuan untuk menambah ilmu dan wawasan, serta berinteraksi dengan berbagai konsep pemikiran. Pergaulan pun tidak dibatasi lagi oleh ruang dan waktu. Interaksi dapat terjalin dengan siapa saja, bahkan dengan orang yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Tidaklah mengherankan ketika akhirnya media sosial pun turut berperan dalam proses kehidupan pribadi perempuan, seperti terungkapnya masalah pribadi ke ruang publik, retaknya rumah tangga, penipuan, dan bahkan ada yang menjadi korban kejahatan seksual. Terlibatnya perempuan, sebagai penopang bahkan tulang punggung nafkah keluarga, turut mewarnai perubahan sosial dalam kehidupan keluarga, yang dapat berlanjut pada perubahan tatanan berkeluarga.

Sementara itu, afirmasi kuota 30% perempuan di berbagai lembaga pengambil kebijakan melahirkan perubahan sosial di ranah pemerintahan. Kondisi ini, tentunya, menuntut perempuan untuk lebih cerdas dan memiliki kesadaran tentang berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya. Perempuan harus menyadari jati dirinya, baik sebagai pribadi maupun dalam perannya sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Keseimbangan antara menjalankan peran asasi perempuan yang tidak dapat digantikan siapa pun dan peran perluasannya berkontribusi di tengah masyarakat perlu dijaga agar tidak terseret oleh arus rekayasa sosial yang bertentangan dengan tujuan hidupnya. Bahkan, alangkah baiknya jika perempuan justru menjadi aktor perencana rekayasa sosial, yang senantiasa menghadirkan kebaikan dan perbaikan serta mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Agar dapat menjadi agen perubahan yang positif, hendaknya perempuan mengambil peran dalam rekayasa sosial yang bertujuan, pertama, memperbaiki jiwa dan meluruskan akhlak, dengan cara membangun kekuatan mental, kemampuan berkorban, keluasan pengetahuan dan penghormatan terhadap ideologi. Kedua, mencegah tradisi materialistis dan peradaban yang memburu kepuasan nafsu duniawi. Ketiga, memperbaiki sistem sosial masyarakat dan negara. Jika kaum perempuan, baik di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat, bergandengan tangan berusaha mewujudkan tujuan-tujuan ini, Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, dan bermartabat.( Diah Nurwitasari, Penulis adalah Ketua Bidang DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia)