DALAM puasa Ramadan ada tiga pelajaran penting yang patut direfleksikan bersama, yaitu pertama, puasa sebagai rahmat yang menuntun kita agar menjadi manusia yang menebar kedamaian. Kedua, puasa sebagai ampunan yang membimbing kita agar mengontrol pikiran, perasaan, dan perilaku dari keburukan. Ketiga, puasa sebagai janji pembebasan api neraka agar kita bisa menyikapi puasa dengan penuh keimanan dan hanya mengharap rida Allah. Ketiga pelajaran tersebut merupakan modalitas keberagamaan untuk mendalami esensi puasa yang setiap tahun kita laksanakan.

Di saat iklim keberagamaan kita mengalami aneka macam turbulensi yang disebabkan sekelompok orang yang menggunakan cara-cara fasisme untuk melakukan penyerangan, pembunuhan, hingga bom bunuh diri dengan mengatasnamakan jihad, menjadi penting bagi kita untuk memahami kembali makna puasa yang dijanjikan sebagai jembatan menuju ketakwaan dan kesucian. Setidaknya, puasa Ramadan yang menjadi perintah Allah bisa menjadi momentum bagi kita untuk menangkap makna penting dari setiap keistimewaan, keutamaan, dan pelipatgandaan pahala yang Allah tumpahkan. Setiap pahala yang Allah berkahi di bulan puasa berpulang pada diri kita; seberapa mampu mensyukuri setiap karunia yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia. Manusia yang diciptakan sebagai mahkluk yang paling sempurna; bisa berpikir dan merasakan, bisa mengekspresikan terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan, dan bisa mengarahkan dengan baik dan benar dari setiap ekspresi tentang sebuah perasaan dan pikiran.

Dalam kaitan ini, puasa Ramadan yang menjadi ritual ibadah tahunan sesungguhnya bermuara pada bagaimana kita memproduksi sebuah oksigen yang bisa menguatkan posisi kemanusiaan kita. Oksigen ini berfungsi untuk menyegarkan jiwa dan raga kita agar bisa menjalani kehidupan di bulan-bulan yang lain dengan penuh optimisme. Akan tetapi, bila ada sekelompok orang yang ternyata menjalani hidup dengan cara pesimisme dan keputusasaan, sesungguhnya orang tersebut ialah golongan yang dilaknat Allah. Ironisnya, sikap pesimisme dan putus asa mulai menggeliat dalam kehidupan sekelompok orang.

Hal ini bisa dicermati pada para pelaku bom bunuh diri yang sengaja memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sadis. Para pelaku bom bunuh diri yang secara sosial, mulai mengalienasikan diri dari norma sosial dan budaya yang berlaku umum di masyarakatnya, selalu mengonstruksikan alasan-alasan utopis bahwa menjemput kematian ialah bagian dari jihad akbar yang diyakini bisa masuk surga. Mereka tak segan mengorbankan segala apa yang dimiliki hanya untuk menuruti sebuah ajaran pesimisme dan keputusasaan menjalani hidup melalui cara-cara yang tak manusiawi dan bertentangan dengan sunnatullah. Dalam kaitan ini, peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan sepasang suami-istri di Gereja Katedral Makasar (28/3/2021), aksi teror lone wolf yang dilakukan seorang remaja putri di Mabes Polri Jakarta (31/3/2021), dan rentetan aksi teror yang dilakukan gerombolan orang yang berafiliasi pada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) maupun IS di berbagai tempat lainnya, ialah sebagian kecil dari gambaran orang yang terjebak dalam pesimisme dan keputusasaan tersebut. Meskipun, jargon yang dikoar-koarkan ialah jihad maupun misi atas nama Tuhan, sesungguhnya apa yang mereka lakukan bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Indonesia ialah negara damai (darr al salam) yang di dalamnya dikerangkai sebuah ikatan perjanjian berbangsa dan bernegara yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945. Lalu, ketika mereka mencoba melakukan perlawanan makar dengan ujaran naif bahwa Indonesia ialah negara tagut dan satu-satunya cara perlawanan yang dianggap lazim dilakukan ialah bom bunuh diri, mereka gagal memahami ajaran Islam yang sesungguhnya mengajarkan tentang pentingnya membangkitkan optimisme dalam menjalani kehidupan sebab dengan optimisme berarti kita bisa mensyukuri setiap karunia Allah yang diberikan dan dengan optimisme pula, kita bisa berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi semua makhluk.

Baca Juga: Pil Pahit Pengelolaan dan Perlindungan Hiu dan Pari di Indonesia

Membangkitkan optimisme Mencermati aneka macam perilaku kenaifan dan keputusasaan yang diumbar dengan cara tak manusiawi, seperti mengorbankan diri dalam aksi-aksi terorisme hanya untuk memenuhi harapan palsu, sejatinya kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran penting atas peristiwa tersebut. Sebagai orang yang masih bisa berpikir waras, bersikap normal, dan bertindak berdasarkan aturan-aturan yang berlaku menjadi keniscayaan bagi kita untuk membangkitkan optimisme dalam menjalani kehidupan. Dalam kaitan ini, ibadah puasa yang menjadi jembatan untuk mendulang dan menuai kebaikan perlu dijadikan sebagai momentum untuk membangkitkan rasa optimisme. Setidaknya, dengan optimisme kita mempunyai banyak kesempatan untuk menyegar­kan setiap oksigen yang kita hirup di bulan puasa.

Dengan oksigen tersebut, kita bisa memperbanyak amal saleh sebagai investasi kita di kemudian hari. Di sinilah pelajaran penting yang harus kita sadari bersama dalam merefleksikan ibadah puasa, bahwa setiap rahmat, ampunan, dan pembebasan api neraka ialah oksigen yang perlu kita bagi kepada sesama, agar kita benar menjadi manusia yang dinaikkan derajat takwanya.( Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga)