AMBON, Siwalimanews – Penjabat Bupati Maluku Tengah Muhmat Marasabessy diminta tidak melakukan pergantian saniri negeri dan Kepela Pemerintahan Negeri atau raja pada negeri-negeri di Kabupaten Maluku Tengah.

Hal itu disebabkan karena, dalam kedudukan selaku penjabat, yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk melakukannya, kecuali dalam hal mengisi kekosongan jabatan.

Hal ini, disampaikan Praktisi Hukum Helmy J Sulilatu kepada wartawan di ruang kerjanya  Kamis, (26/1) menyikapi adanya pergantian saniri negeri dan sejumlah KPN di Kabupaten Maluku Tengah.

Menurutnya, keberadan Penjabat Kepala Daerah, termasuk Penjabat Bupati Maluku Tengah adalah konsekuensi dari pelaksanaan pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Sejatinya sesuai aturan, kedudukan penjabat bupati adalah, mengisi kekosongan jabatan bupati selama 1 tahun dan dapat diperpanjang  selama 1 tahun lagi, bisa dengan orang yang sama, tetapi bisa pula dengan orang yang berbeda.

Baca Juga: Bersama Warga, Presonel Polsek Wermaktian Laksanakan Kerja Bakti

“Penjabat bupati ini kan ditunjuk, bukan dipilih oleh rakyat, sehingga secara filosofi jauh berbeda keberadaannya dengan bupati hasil pemilihan oleh rakyat, jangan untuk kepentingan sesaat lantas menyakiti hati rakyat, mengabaikan aturan  perundang-undangan,” ucap Helmy, yang sering bersidang di Mahkamah Konstitusi.

Helmy mencontohkan, Penjabat Bupati Maluku Tengah melakukan pemberhentian dan pergantian antar waktu  11 anggota Saniri Negeri Wahai, padahal mereka (Saniri) punya masa tugas sampai dengan tahun 2025, masih ada tersisa 3 tahun masa jabatan, secara prinsip, masa jabatan itu tidak bisa ditambah dan tidak bisa dikurangi,  ini namanya perbuatan yang melanggar hukum.

Ironisnya, pergantian ini dilakukan dengan menabrak aturan hukum dan tanpa alasan yang dapat dipertangungjawabkan. Padahal secara jelas didalam Perda 04 tahun 2006, telah mengatur pemberhentian dan pergantian saniri hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana diatur dalam pasal 24 Perda 04 tahun 2006 .

Pergantian antar waktu anggota atau pimpinan saniri, i hanya boleh dilakukan apabila (a), meninggal dunia, (b) permintaan sendiri dan  (c) tidak lagi memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

“Dari semua syarat tersebut, tidak ada satupun yang terpenuhi atau tidak terdapat alasan hukum bagi Penjabat Bupati Maluku Tengah untuk melakukan PAW Saniri Negeri Wahai tersebut,” tandas Helmy.

Mengenai syarat pada huruf (c) kata Helmy, tidak dapat diterjemahkan sendiri oleh penjabat bupati, harus dapat dibuktikan dengan satu penetapan tertulis sesuai hukum adat yang berlaku, atau setidaknya terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang putusanya bermaksud untuk  mengakomodir persyaratatan PAW tersebut.

“Masa tugas Penjabat Bupati Maluku Tengah inikan hanya tersisa 8 bulan, mari lakukan yang terbaik, jangan menabrak aturan dan jangan pula bertindak melampaui kewenangan, setidaknya  rakyat akan menilai kebaikan dan kecerdasan pemimpinnya,” tutur Helmy.

Sementara menyangkut mutasi pegawai saja, oleh Undang-Undang itu dilarang, jadi seorang Penjabat Kepala Daerah tidak mempunyai kewenagan melakukan mutasi pegawai. Kalaupun saat ini ada Surat Edaran Mendagri, maka hal pertama yang harus diingat adalah kedudukan SE itu tidak sederajat dengan Undang-Undang.

Lagi pula, SE Mendagari itu  tidak memberikan kewenangan untuk menerbitkan keputusan (Beschikking), namun sebatas izin persetujuan. Sekali lagi bukan untuk menerbitkan KTUN tetapi  memberikan izin persetujuan saja, dengan kata lain, mekanismenya tetap wajib mendapatkan persetujuan dari Mendagri.

“Penjabat kepala daerah tidak memiliki kewenangan mengambil atau menetapkan keputusan yang memiliki akibat hukum (civil  effect) pada aspek kepegawaian untuk melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam/dari jabatan ASN,” jelas Helmy.

Apabila berpatokan pada aturan hukum yang berlaku kata Hlmy, maka sudah jelas, dalam kedudukan selaku penjabat kewenanganya terbatas. Untuk itu ia menyarankan kepada para penjabat di Lingkup Pemkab Malteng, para raja, saniri negeri, apabila ada keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan hukum, maka harus dilawan secara hukum pula, jangan asal ikut saja.

Dalam SE Mendagari Nomor 821/5492/SJ tentang Persetujuan Mendagri kepada pelaksana tugas/penjabat/penjabat sementara kepala daerah dalam aspek kepegawaian perangkat daerah menyebutkan, berkenaan dengan ketentuan tersebut di atas, dengan ini Mendagri memberikan persetujuan tertulis kepada Plt, Pj dan Pjs gubernur/bupati/walikota untuk melakukan: (a) pemberhentian, pemberhentian sementara,penjatuhan sanksi dan/atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat/ASN di lingkup pemda provinsi/kabupaten/kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan/atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

(b) Persetujuan mutasi antardaerah dan/atau antarinstansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Jika kita berpatokan pada surat edaran dimaksud, khususnya pada huruf (b) maka sudah jelas tidak ada kewenangan untuk melakukan mutasi PNS. Apalagi dalam kedudukan penjabat tersebut memberhentikan saniri negeri atau raja, sama sekali hal itu bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku,” cetus Helmy.

 

Namun demikian Helmy percaya, Penjabat Bupati Maluku Tengah Muhamat  Marasabessy tidak akan lagi mengambil keputusan yang salah sebagaimana yang  telah dilakukan terhadap pergantian Saniri Negeri Wahai.

“ini suatu pembelajaran bagi kita semua, tidak boleh menggunakan kewenangan yang bertentangan dengan hukum” tegas Helmy. (S-25)