Pengurus Hena Hetu Tolak Gubernur Diberi Gelar Adat
AMBON, Siwalimanews – Pengurus Hena Hetu menolak diberikan gelar adat Upu Nunu kepada Gubernur Maluku, Murad Ismail dan pengukuhan pengurus DPP Hena Hetu versi lain.
Penyematan gelar adat ini, oleh sejumlah pihak dinilai dipaksakan dan bertolak belakang dengan tatanan adat istiadat yang ada di Maluku. Bahkan wacana ini terkesan tendensi kearah politik.
Penolakan ini disampaikan pengurus DPP Hena Hetu yang dipimpin Saleh Hurasan dalam keterangan persnya kepada sejumlah wartawan di Ambon, Senin (14/3).
Hurasan menegaskan, saat ini telah terjadi dualisme di kubu Hena Hetu. Dualisme tersebut muncul setelah adanya musyawarah besar yang berlangsung 6 Desember lalu di Batu Kuda, dimana dirinya dan Malik Selan terpilih menjadi ketua dan sekretaris menggantikan Edwin Huwae dan Ahmad Umarella.
Pelantikan dan pengukuhan dilakukan langsung oleh Karel Albert Ralahalu yang menyadang gelar Upu Nunu. Namun ternyata mubes tersebut oleh sebagian masyarakat Jazirah Leihitu tidak diakui keabsahannya.
Baca Juga: Potensi Gelombang Tinggi Diperairan MalukuMereka lalu membuat kubu baru dengan agenda pelantikan pengurus pada 16 Maret nanti, setelah sebelumnya Jaiz Eli terpilih sebagai ketua versi kubu ini.
“Legal standing kita jelas, kelengkapan administrasi juga, selain itu saat mubes ada serah terima jabatan dari ketua dan sekretaris sebelumnya. Kita juga dikukuhkan langsung oleh Upu Nunu Bapak Karel Albert Ralahalu, maka selain itu tidak ada yang punya hak melakukan Mubes. Kalau ada pelantikan dan pengukuhannya, legal standingnya perlu dipertanyakan,” tegas Hurasan.
Tak hanya wacana pelantikan dan pengukuhan, Hurasan mengaku, keganjalan juga terlihat lewat pernyataan kubu tersebut yang akan mengadakan prosesi pengukuhkan Murad Ismail sebagai Upu Nunu atau sesepuh adat Jazirah Leihitu-Salahutu, pada acara pelantikan pengurus yang mereka jadwalkan berlangsung 16 Maret 2022 di Islamic Center.
Langkah itu dinilai mencederai adat istiadat Jazirah Leihitu-Salahutu, mengingat hanya ada satu gelar Upu Nunu yang saat ini masih melekat dipundak Karel Ralahalu.
“Upu Nunu adalah gelar adat yang tidak ada periodesasinya, pengukuhan tidak struktural sehingga tidak ada masa bakti. Itu berarti jabatan itu akan berpindah ketika yang mengembannya sudah tidak ada, maka dari itu kalau ada wacana pengangkatan Upu Nunu yang baru, tidak ada alasan untuk kita menerima, yang jadi pertanyaan dasarnya apa,” tanya Hurasan.
Sementara itu Kepala Biro Hukum DPP Hena Hetu Saleman Opir mengungkapkan, masyarakat harus bisa memposisikan adat istiadat sesuai porosnya sehingga tatanan adat di Maluku tidak digiring ke kepentingan atau tujuan lain.
“Masyarakat harus tau adat, di Maluku ini Patrilineal, dimana kedudukan harus garis keturunan asli yang alur keturunan berasal dari pihak ayah. Hal ini perlu kami sampaikan agar masyarakat Jazirah Leihitu tahu kalau yang namanya aturan yang harus dijalankan, apalagi menyangkut adat istiadat,” tegasnya. (S-10)
Sebagai orang yg turut melahirkan Hena Hetu di tahun 2002 tepatnya di Aula Masariku-Ambon…. MIRIS melihat duslisme di Hena Hetu. Dulu kalau yg jadi Ketua… Muslim lalu Sekretaris… Kristen. Sekarang tidak lagi. Dulu kalau yg Ketua dari Kecamatan Leihitu…. Sekretaris dari Salahutu atau Leihitu Barat (setelah pemekaran kecamatan). SU ANCOR paskali eee…. Mari semua duduk sama2 lalu satukan organisasi paguyuban ini. Kalau semua mau racik kuah lalu masyarakat Jazirah Leihitu dapat apa ??? Ingat Tujuan awal berdirinya organisasi ini apa ???? Beta tahu persis prosesnya karena awal berdiri dibentuk 3 Komisi yaitu, Komisi 1 AD/ART, Komisi 2 GBHPKO, Komisi 3 Rekomendasi. Berjuang dari 2022 mana akang Pemekaran Kabupaten yg tertuang dalam Komisi Rekomendasi, Sebagai Sekretaris Komisi 2 GBHPKO (Garis2 Besar Haluan Program Kerja Organisasi) beta hanya tepuk dada…. Hena Hetu su bagaimana nihh. Bravo Founding Father Hena Hetu 2002