Penetapan Tersangka Lahan PLTG Namlea Dipertanyakan
AMBON, Siwalimanews – Penetapan tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru dipertanyakan.
Penyidik Kejati Maluku sudah mengantongi hasil audit kerugian negara, namun hingga ini tersangka belum juga ditetapkan.
Akademisi Hukum Unidar Ambon, Rauf Pelu mengatakan, semakin cepat penetapan tersangka, semakin lebih baik. Ia meminta siapapun yang terlibat dijerat.
“Saya minta siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus diseret untuk bertanggung jawab. Kejaksaan jangan tebang pilih,” tandas Pelu kepada Siwalima, melalui telepon, Minggu, (29/3).
Pelu meminta penyidik Kejati Maluku segera menetapkan tersangka. Hasil audit dari BPKP sudah dikantongi, lalu mengapa tersangka belum juga ditetapkan?
Baca Juga: Berbuat Mesum, Plt Kepala Satpol PP Jalani Pemeriksaan“Kan sudah ada hasil audit, kenapa belum menetapkan tersangka. Kalau sudah ada audit, artinya sudah punya dasar hukum yang kuat. Berarti harus secepatnya menetapkan tersangka. Kalau lama, bisa jadi tersangkanya lari dan prosesnya masuk angin,” ujar Pelu.
Hal senada disampaikan Praktisi Hukum, Muhammad Nur Nukuhehe yang meminta jaksa segera mengumumkan tersangka dugaan kasus korupsi pembelian lahan PLTG Namlea yang merugikan negara Rp 6 Miliar.
Setelah menerima hasil audit BPKP, kata Nukuhehe, tidak ada lagi alasan menunda penetapan tersangka.
“Arus keluarnya uang itu kan sudah diketahui siapa yang berperan. Tersangka sudah terang benderang. Kalau sudah ada hasil audit harus segera menetapkan tersangka,” ujarnya.
Hasil audit diterima sejak Selasa (17/3). Namun hingga kini, penyidik belum menetapkan tersangka. Padahal, sebelumnya penyidik menyebut, penetapan tersangka menunggu hasil audit.
Dukung Proses Hukum
Pihak PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku mendukung proses hukum dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea.
Asisten Manajer Komunikasi dan Pertanahan PLN UIP Maluku, Afiandi Amin mengakui, pembelian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru Tahun 2016 menggunakan harga pasar, bukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Soal temuan BPKP merugikan negara Rp 6 miliar lebih, ia mengaku pihaknya belum tahu.
“Terkait masalah audit BPKP, itu kan permintaan dari kejaksaan untuk mencari tahu. Kami dari PLN mengikuti pelaksanaan saja. Informasi terkait hasilnya pun kita saat ini belum tahu dan belum disampaikan kepada kami. Kami cuma mengikuti prosedur yang dilakukan kejaksaan untuk proses penyidikan,” ujar Afiandi kepada Siwalima, di Ambon, Jumat (20/3).
Afiandi mengatakan, pembelian lahan untuk pembangunan PLTG 10 megawatt di Namlea menggunakan harga pasar yang wajar, dan hal itu sesuai dengan prosedur perundang-undangan.
“Terkait masalah selisih, masalah tanah itu kan bukan lagi menggunakan NJOP. Sekarang kita menggunakan nilai pasar wajar. Kami juga belum tahu apa itu masuk dalam bentuk kerugian negara atau apa,” tandasnya.
Ia juga mempertanyakan temuan BPKP termasuk kerugian negara atau bukan. Pasalnya, pihak UIP PLN Maluku sudah melakukan sesuai prosedur. “Yang kita belum tahu itu hasil dari audit BPKP itu bentuk kerugian negara atau bukan. Sampai sekarang belum ada informasi apa itu betul-betul kerugian negara atau sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Itu yang kita belum tahu sampai sekarang,” ujarnya.
Soal langkah yang akan dilakukan PLN, Afiandi mengatakaan, pihak PLN akan mematuhi dan mengikuti proses hukum yang dilakukan oleh jaksa. “Kedepannya gimana-gimana, kita prinsipnya mendukung. Kami mengikuti prosedur hukum,” ujarnya lagi.
Negara Dirugikan 6 Miliar
Seperti diberitakan, hasil audit BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih dalam pembelian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
Lahan itu dibeli dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette mengaku, hasil audit dari BPKP telah diterima pada Selasa 17 Maret.
“Benar laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara terkait perkara dugaan Tipikor dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea sudah diterima oleh penyidik,” kata Sapulette, kepada wartawan, di Kantor Kejati Maluku, Selasa (17/3).
Hasil audit itu, kata Sapulette, sementara diteliti dan dikaji oleh tim jaksa penyidik. Langkah selanjutnya akan ditentukan tim penyidik. “Belum penetapan tersangka. Hasil audit baru diterima tadi,” jelasnya.
Untuk diketahui, status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyidikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan buktibukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.
Lahan seluas 48.645, 50 hektar itu, dibeli oleh PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Sesuai NJOP, lahan milik Ferry Tanaya itu hanya sebesar Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa menemukan bukti, dugaan kongkalikong dengan pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi, sehingga harganya dimark up menjadi Rp 131.600 meter2.
“Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, nilai lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238. 000. Namun NJOP diabaikan,” kata sumber di Kejati Maluku.
PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya. (Mg-2)
Tinggalkan Balasan