KETENTRAMAN dan perdamaian hidup merupakan tujuan serta harapan manusia di belahan dunia di manapun. Pada 2015, dalam The 17 Sustainable Development Goals, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan perdamaian sebagai fokus utama dalam mentransformasikan dunia baru dengan tujuan mendorong budaya masyarakat damai, adil, dan inklusif yang bebas dari rasa takut, intimidasi, dan kekerasan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa kedamaian dan tidak ada perdamaian tanpa pembangunan berkelanjutan (The United Nations Summit, 2015). Ini menjadi isu yang sangat penting. Hal itu mengingat masih adanya konfl ik di beberapa negara di dunia sampai saat ini: konflik perebutan wilayah, konflik sosial politik, keadilan sosial, dan konfl ik dalam satu negara yang melibatkan kelompok masyarakat serta akses layanan pemenuhan hak dasar manusia lainnya. Pendidikan perdamaian dipandang sebagai sarana dalam mencapai dan menciptakan budaya damai (Ki-moon, 2013) yang menjadi kepentingan mendasar dan misi UNESCO, dan PBB (Matsuura, 2008) dan sebagai hak (Reardon, dalam Ragland, 2015).

\Pendidikan perdamaian memiliki potensi dalam memberdayakan masyarakat dalam menganalisis masalah secara kritis sehingga mampu menumbuhkan harmoni dan kerja sama di antara mereka. Melalui pendidikan damai juga masyarakat diberikan alat untuk memahami lingkungan sekitar mereka dan dunia pada umumnya secara lebih peka (Caireta, 2013).

Pendidikan damai di Indonesia Dalam konteks perdamaian di Indonesia, krisis multidimensi masih enggan hengkang dari bumi pertiwi, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Negara Indonesia dengan masyarakat yang heterogen perlu dimaknai sebagai kekayaan bangsa sehingga bukan sebagai alasan perpecahan. Namun, saat ini banyak isu yang bermunculan yang dapat memecah persatuan bangsa, merusak tatanan kehidupan dengan isu-isu suku, ras dan golongan serta benturan antar golongan agama. Lembaga pendidikan sebagai agen perubahan perlu melakukan perubahan yang radikal. Perubahan kognitif sebagai tujuan pendidikan yang selama ini berlangsung tidaklah cukup. Kecerdasan kognitif harus diimbangi dengan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.

Dua kecerdasan inilah yang belum diaplikasikan secara maksimal dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tidak jarang terlihat berbagai bentuk kekerasan terjadi dan menjadi konsumsi publik. Kita ingin siswa kita mempunyai karakter yang baik, tidak suka kekerasan, tidak suka merundung, tidak suka mencontek. Namun, faktanya di lapangan sering kita melihat dan mendengar berita tentang tawuran antar pelajar, sekelompok siswa merundung temannya, menyontek dalam ulangan, dan masih banyak lagi. Kita ingin orang memiliki karakter toleran, tapi pada kenyataannya masih ada praktik intoleransi, persekusi atas nama agama dan berbeda keyakinan masih terjadi. Kita ingin orang punya karakter cinta lingkungan, tapi pada kenyataannya masih banyak yang buang sampah sembarangan sehingga aliran sungai penuh dengan sampah. Belum lagi masalah banjir yang disebabkan oleh sampah dan gundulnya hutan-hutan.

Penguatan dan pembangunan karakter di sekolah harus mampu dibingkai dengan semangat persatuan dalam perbedaan dengan menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian, sebagai perwujudan dari kebhinekaan di lingkungan sekolah. Upaya yang mungkin bisa dilakukan ialah dengan memasukkan kurikulum pendidikan damai dan menciptakan lingkungan sekolah yang damai.    Kurikulum pendidikan damai Sebagai negara yang multikultur, multietnik dan multiagama, potensi gesekan dan benturan seperti sebuah keniscayaan bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Meneropong Peluang Cuan Era Endemi

Tak jarang gesekan atau benturan atau konflik dapat berakhir dengan pembunuhan atau kekerasan masal. Kondisi ini semakin diperparah oleh masifnya informasi dari berbagai kanal informasi. Untuk itu pendidikan perdamaian harus menjadi fokus utama pemerintah, sekolah dan guru untuk membekali siswa kita menghadapi kekerasan maupun gesekan dengan memasukkan pendidikan perdamaian dalam kurikulum sekolah, baik kurikulum formal seperti menjadikan pendidikan perdamaian sebagai penguatan mata pelajaran seperti pendidikan agama, pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan bahkan pendidikan matematika, ilmu alam, ilmu sosial dan sebagainya. Semua mata pelajaran harus digali aspek pendidikan damainya, dari sisi nilai dan pengetahuan. Selain itu, pengembangan pendidikan damai dalam kurikulum nonformal akan memperkuat kurikulum formal. Selain itu, keterampilan mediasi dan negosisasi juga perlu diajarkan kepada siswa kita.

Proses pengajarannya jelas harus tanpa kekerasan, dialogis, mendorong pemikiran analitis, kritis, dan kreatif. Siswa dapat diajak mendiskusikan program kelas, membuat aturan dan kebijakan kelas, mempresentasikan pendapat mereka dalam kelompok dan membangun kekompakan melalui projek bersama. Siswa harus diberi kesadaran dan diajarkan bagaimana seni hidup damai. Kurikulum sekolah harus diintegrasikan dengan konsep perdamaian, sikap nilai dan keterampilan berperilaku. Selanjutnya mengembangkan kurikulum dalam menciptakan sikap disiplin yang berhubungan dengan perdamaian, seperti pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan global. Karena itu, kurikulum sekolah dapat menciptakan pendidikan perdamaian dalam mendorong pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang membantu pencegahan konflik damai, penyelesaian, atau yang menciptakan kondisi sosial yang damai. Nilai-nilai nirkekerasan dan keadilan sosial merupakan inti pendidikan perdamaian (Lubelska, 2018).

Sekolah damai bagi siswa Hadjam dan Widiarso (2003) menyatakan bahwa sekolah yang damai adalah sekolah yang mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dalam proses belajar mengajar sehingga memberikan jaminan kenyamanan dan keamanan di setiap komponen dalam menciptakan rasa kasih sayang, perhatian, kepercayaan dan kebersamaan di sekolah. Menurut Castro dan Galaze (2010), ada lima tanda yang menunjukkan suatu sekolah itu damai atau tidak, yaitu apakah ketika seseorang berbicara didengarkan, tidak mengecualikan siapa pun, hanya mengucapkan kata-kata yang baik, berbicara dengan lembut, dan menunjukkan rasa hormat satu sama lain. Sebagai tempat tumbuh kembang anak, sekolah harus menjadi sumber utama perkembangan manusia, tempat di mana dasar etika diajarkan, membangun komunikasi dan toleransi, menumbuhkan dan penanaman karakter yang menjadi dasar untuk memfasilitasi serta mengubah pola pikir siswa lebih modern.

Anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa merupakan modal bangsa yang harus betul-betul digarap kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosionalnya, mengingat di pundak merekalah nasib bangsa ditentukan di kemudian hari. Internalisasi nilai-nilai kedamaian di sekolah dalam rangka penguatan sikap saling menghargai dan menghormati dalam membentuk karaktek pendidikan damai. Hal itu dapat diupayakan dengan mewujudkan salah satu tujuan pendidikan, yaitu menciptakan individu yang mampu hidup bersama dalam perbedaan masyarakat yang damai. Selain itu juga penerapan pendidikan damai sebagai upaya mensosialisasikan pentingnya hidup aman, rukun, dan saling menghargai di tengah masyarakat majemuk.( Mudzofir, Kepala SMP Sekolah Sukma Bangsa Sigi)