AMBON,Siwalimanews – Pemerintah Kota Ambon harus beritikad baik menyelesaikan persoalan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) milik ahli waris yang sah.

Batas waktu satu minggu yang diberikan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perjanjian kerja sama harus serius disikapi Pemkot Ambon. Hal itu disampaikan anggota Fraksi Perindo DPRD Kota Ambon, Hary Far Far kepada Siwalima melalui  telepon selulernya Minggu (11/10).

“Dengan deadline waktu yang di­tentukan, maka Pemkot harus sikapi hal ini sebagai prioritas dan hal yang urgen dengan mengambil langkah selesaikan dengan ahli waris,” tandasnya.

Far-Far menekankan, pemerintah kota tidak bisa beralasan lahan ter­sebut hutan lindung atau apapun. “Yang jadi persoalan kenapa sudah DP Rp 600 juta bulan yang lalu baru di sampaikan seperti itu. Saya tetap akan mendukung dan ini menjadi perhatian kita dari Fraksi Perindo ka­rena masalah sampah ini kan sangat urgen. Jika tidak ditindak lanjut dengan bijak jangan sampai Kota Ambon banjir sampah,” ujar Far Far.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkot Ambon diberikan deadline satu minggu oleh pemilik lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST), Enne Yosephine Kailuhu untuk menyelesaikan isi perjanjian perdamaian.

Baca Juga: DPRD Tetapkan APBD-P Malteng Rp 1,6 Triliun Lebih

Jika tidak ada itikad baik dari Pemkot Ambon, maka IPST dan TPA akan ditutup kembali.

“Deadline kami berikan selama satu minggu, Pemkot harus punya itikad baik untuk menyelesaikan pasal-pasal perdamaian sesuai Akta Perdamaian 269,” tandas Daniel Manuhutu, Kuasa Hukum  Enne Yosephine Kailuhu, kepada Siwa­lima, Kamis (8/10), usai melakukan pertemuan dengan Pemkot Ambon.

Jika dalam waktu satu minggu, Pemkot Ambon tidak menunjukkan itikad baik, maka TPA dan IPST akan kembali ditutup. “Kalau memang dalam waktu satu minggu, kami berikan kepada walikota untuk tidak melaksanakan itu maka kami akan menutup kembali,” tandasnya.

Manuhutu menjelaskan, berda­sar­kan Akta Putusan Perdamaian Nomor 269/Pdt.G/2019/PN.Amb, da­lam pasal 1-7 disebutkan, kewajiban Pemkot Ambon adalah melakukan appraisal  lahan seluas 10 hektar, setelah appraisal harus dilakukan pembayaran kepada ahli waris selaku pemilik tanah.

“Jadi pasal-pasal dalam Akta Putusan Perdamaian Nomor 269 itu harus dilakukan karena itu su­dah berkekuatan hukum,” ujarnya.

Ia mengaku, kecewa dengan pernyataan walikota yang menye­but­kan bahwa kawasan TPA masuk kawasan hutan lindung.

“Jadi kami tidak pernah tahu bah­wa kawasan tersebut sudah dialih­fungsikan menjadi kawasan hutan lin­dung, karena sampai saat ini be­lum ada pemberitahuan kepada pe­milik lahan bahkan dari raja maupun camat setempat juga tidak menge­tahui tentang hal tersebut,” ujarnya.

Kata Manuhutu, kalau benar pe­me­rintah akan menetapkan lahan itu menjadi kawasan hutan lindung, maka pemilih lahan harus menda­patkan kompensasi. “Yang pertama ketika pemerintah sudah memploting masuk hutan lindung dan begitu kawasan hutan lindungnya dipakai maka tuan tanah juga harus mendapatkan kompen­sasi,” katanya.

Manuhutu mengaku, akses TPA sudah dibuka lagi, agar aktivitas pembuangan sampah dapat dilaku­kan. Tetapi pemkot diingatkan un­tuk memiliki itikad baik menjalankan perjanjian perdamaian.

“Sudah dibuka gembok tadi pukul 18.00 WIT, karena sebagai warga kita juga mendukung upaya pemerintah kota, namun lagi-lagi kami minta pemkot harus punya itikad baik. Kita tetap akan berikan deadline hingga satu minggu kedepan, jika tidak ada itikad dari pemkot lagi maka kita akan kembali menggembok palang di pin­tu masuk TPA dan IPST,” tegasnya.

Pasca penutupan TPA IPST di Toisapu, Negeri Hutumuri, Keca­matan Leitimur Selatan, Rabu (7/10), mengakibatkan belasan mobil truk sampah parkir berjejer di depan pintu masuk TPA dan IPST.

Pantauan Siwalima, Kamis (8/10), sejak pukul 07.40 WIT, satu per satu mobil truk sampah mulai berdata­ngan untuk membuang sampah di TPA, namun mobil-mobil tersebut ha­nya bisa parkir di depan pintu ma­suk, karena jalan masuk TPA dipa­lang oleh pemilik lahan, Enne Yosephine Kailuhu.

Hingga pukul 10.00 WIT, nampak belasan truk sampah hanya bisa berjejer dengan tumpukan sampah­nya.

Jadi Hutan Lindung

Walikota Ambon Richard Louhe­na­­pessy mengungkapkan, pada ta­hun 2006 pemkot sudah membe­bas­kan lahan seluas 5 hektar. 3,1 hektar dibayar kepada keluarga Lesiasel dan 1,9 hektar kepada keluarga Sarimanella.

“Untuk lokasi itu sudah ada sertifikat hak milik Pemerintah Kota Ambon,” kata walikota kepada wartawan, Kamis (9/10).

Lanjut walikota, karena adanya kebutuhan lahan direncanakan akan membebaskan 10 hektar.

“Kita sudah memberikan 1 hektar tanda komitmen. Itu sebagai panjar dari pemerintah untuk mereka dan 9 hektar akan diselesaikan, mereka mau kalau boleh langsung disele­saikan,” jelasnya.

Namun kata walikota, sejak 2014 kawasan itu sudah ditetapkan Ke­menterian Kehutanan sebagai hutan lindung. “Hutan lindung tidak boleh ada transaksi jual beli, namun ada kepentingan untuk bisa dimanfaat­kan untuk kepentingan umum,” ujarnya

Pemkot Ambon mengupayakan untuk dua kemungkinan. Pertama, bisa mendapatkan izin pakai dari Kementerian Kehutanan. Kedua, merubah status hutan lindung menjadi hutan pemanfaatan lain.

“Jadi harus merubah perda ten­tang tata ruang,  ini yang  diproses oleh pemerintah kota, sehingga da­pat diselesaikan oleh ahli waris. Jika kita ambil langkah tanpa ada dasar bisa masuk penjara,” tandasnya. (Mg-5)