BARU-BARU ini Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Djarot Saiful Hidayat, menyatakan akan mengkaji sistem proporsional tertutup untuk diterapkan lagi dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Hal itu diungkapkan seusai menyerahkan hasil kajian tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serta visi-misi presiden dan kepala daerah Pemilu 2024 ke Komisi Pemilihan Umum, (21/9).

Konsekuensi proporsional tertutup ialah nama caleg tidak akan lagi muncul di surat suara. Se­lanjutnya, pemilih hanya akan memilih tanda gambar partai politik (parpol) peserta pemilu saja, sedangkan siapa yang mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai akan ditentukan berdasar nomor urut caleg yang disusun partai. Pernyataan Djarot tersebut sontak disambut perdebatan seputar proporsional terbuka versus tertutup serta dampaknya bagi praktik demokrasi Indonesia ke depan.

Tentu saja setiap pilihan varian sistem pemilu memiliki plus-minus, termasuk pula proporsional terbuka (openlist proportional representation) ataupun tertutup (closed list proportional representation). Tidak heran bila sejumlah pakar menyebut bahwa trik dalam memilih (atau memperbarui) sebuah sistem pemilu adalah dengan memprioritaskan kriteria yang paling penting dan kemudian menilai sistem pemilu, atau kombinasi berbagai sistem, mana yang dapat paling memaksimalkan pencapaian tujuan-tujuan dimaksud (Andrew Reynolds dkk, 2016).

Reynolds dkk menyebut sepuluh kriteria dalam memilih sistem pemilu, yakni; 1) menyediakan repre­sentasi, 2) menjadikan pemilu aksesibel dan ber­mak­na, 3) menyediakan insentif bagi konsiliasi, 4) memfasilitasi pemerintahan stabil dan efisien, 5) meminta pertanggungjawaban pemerintah (akuntabi­litas), 6) meminta pertanggungjawaban wakil-wakil perorangan, 7) mendorong partai politik, 8) mema­ju­kan oposisi dan pengawasan legislatif, 9) menja­di­kan proses pemilu berkelanjutan, dan 10) mem­per­timbangkan ‘standar internasional’. Dalam beberapa kesempatan Ramlan Surbakti menyebut terkadang saat memilih suatu sistem pemilu, pembuat undang-undang tak terhindarkan harus melakukan trade off antara tujuan menyediakan representasidengan akuntabilitas.

Perlu konsistensi

Baca Juga: Kesantrian yang Bersanding dengan Kebangsaan

Berkaca pada perjalanan penyelenggaraan pemilu Indonesia selama ini, terkait pilihan sistem pemilu, terdapat sejumlah hal yang mesti konsisten dipenuhi. Konsistensi dibutuhkan setidaknya atas dua hal; pertama, soal jaminan berjalannya demokratisasi di internal partai. Kedua, terkait kemudahan bagi pemilih untuk bisa memberikan suara sehingga apa yang dikehendakinya bisa dihitung dengan benar oleh petugas pemilu. Konsistensi diperlukan, baik dalam pengaturan maupun pelaksanaannya guna meng­hindari dampak buruk yang bisa terjadi dalam operasionalisasi sistem pemilu dimaksud.

Proporsional terbuka memang lebih mampu menghadirkan keterhubungan yang kuat antara pemilih dan para wakilnya. Akan tetapi, alokasi kursi yang besar di daerah pemilihan (dapil) disertai parpol yang jumlahnya juga banyak, dalam praktiknya mengakibatkan pemilih kesulitan dalam pemberian suara. Hal itu terbukti dari tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) sejak Pemilu 2004 ketika pertama kali proporsional terbuka diterapkan. Terakhir di Pemilu 2019 lalu tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pemilu DPR. Angka itu setara 11,12% total pengguna hak pilih secara keseluruhan. Sungguh distorsi besar terhadap kemurnian suara pemilih sebagai pemilik daulat rakyat.

Ditambah lagi, secara faktual pendidikan politik dan kepemiluan belum sepenuhnya berjalan baik. Akibatnya, pemilih banyak yang asal pilih karena kebingungan dengan jumlah calon anggota legislatif (caleg) yang sangat banyak. Pemilih juga rentan terpapar politik uang akibat tindakan pragmatis para caleg yang ingin memperoleh suara terbanyak dengan menyuap pemilih (vote buying). Politik biaya tinggi akhirnya menjadi tantangan dan momok tersendiri dalam sistem ini. Global Corruption Barometer Asia 2020 dari Transparency International mencatat terdapat 26% pemilih Indonesia yang ditawari suap sebagai imbalan atas suara. Angka itu menempatkan Indonesia pada peringkat tiga setelah Thailand (28%) dan Filipina (28%).

Sebaliknya, dengan proporsional tertutup, pemilih lebih mudah dalam pemberian suara, tetapi rentan terjadi kesewenang-wenangan oleh elite partai, terutama dalam penentuan nomor urut saat penempatan caleg dalam daftar calon. Hal itu bisa terjadi apabila tidak ada jaminan pengaturan mekanisme pencalonan demokratis di internal partai. Kekuasaan yang besar pimpinan partai terhadap para kadernya bisa membuat anggota legislatif lebih takut pada perintah (elite) partai ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituen mereka.

Oleh karena itu,mempertimbangkan berbagai hal di atas, jika Indonesia ingin tetap memberlakukan proporsional terbuka, terdapat sejumlah hal yang harus diperbaiki. Pertama, mengoreksi model keserentakan pemilu. Tidak lagi berupa pemilu serentak lima kotak seperti saat ini, melainkan memisahkan antara pemilu legislatif (pileg) tingkat pusat dengan pileg daerah. Hal itu dalam rangka mengurai kompleksitas yang terjadi sebagai konsekuensi penggabungan pileg nasional dan lokal yang dikombinasikan dengan proporsional terbuka.

Pemilu serentak didesain untuk diselenggarakan dua kali, berupa pemilu serentak nasional (memilih presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD) dilanjutkan dua tahun setelahnya dengan pemilu serentak lokal (memilih DPRD serta kepala daerah dan wakil kepala tingkat provinsi/kab/kota). Atau pilihan lainnya, penyelenggaraan tiga kali pemilu serentak. Meliputi pemilu serentak nasional, pemilu serentak provinsi, dan pemilu serentak kabupaten/kota.

Kedua, alokasi kursi di dapil (district magnitude) perlu disederhanakan. Penyederhanaan dibutuhkan untuk mengurangi terlalu banyaknya jumlah kontestan yang berdampak pada kompleksitas dan kerumitan dalam manajemen teknis oleh penyelenggara pemilu, juga untuk memberikan kesederhanaan dan kemudahan pemberian suara oleh pemilih dalam rangka mewujudkan pemilu yang aksesibel dan bermakna.

Ketiga, penggunaan nomor urut dalam daftar calon sebaiknya dihapus. Hal itu guna menghadirkan kompetisi yang lebih adil dan setara kepada semua caleg. Kalaupun tetap ingin dipakai, penentuan nomor urut harus dilakukan melalui pengundian oleh KPU, bukan berdasarkan pilihan partai. Selain harus diakui dalam beberapa pemilu terakhir dengan sistem proporsional terbuka juga terjadi transaksi nomor urut. Hal itu karena keterpilihan caleg DPR pada nomor kecil jumlahnya jauh lebih besar. Misalnya, tercatat 60% lebih caleg DPR yang terpilih di Pemilu 2019 ialah caleg yang berada pada nomor urut satu.

Sedangkan bila ingin beralih ke proporsional tertutup, UU Pemilu mutlak mengatur mekanisme demo­kratisasi internal partai se­cara komprehensif. Misalnya saja, penempatan nomor urut caleg dalam daftar partai harus dilakukan berdasar mekanisme kaderisasi dan rekrutmen politik yang demo­kratis. Mekanisme yang bisa dipilih antara lain melalui pemilu penda­huluan atau pemilu internal partai (primary election), yakni para anggota partai difasilitasi untuk ikut menentukan siapa saja kader partai yang mereka pilih untuk menjadi caleg di dapil mereka masing-masing.

Pengalaman pemilu Orde Baru menjadi pembelajaran sangat berharga untuk tidak mengulangi hal yang sama. Praktik berpemilu yang melatarbelakangi mengapa pada Pemilu 2004 Indonesia ber­alih ke proporsional terbuka. Jargon ‘jangan beli kucing dalam karung’ merupakan artikulasi ke­tidakpuasan pada keasingan dan keterputusan pemilih dengan para calon wakilnya. Praktik jual-beli ‘nomor urut jadi atau nomor urut kecil’ disertai perilaku elite partai yang sarat kolusi dan nepotis memmbuat kepercayaan publik terhadap partai sangatlah buruk.

Proporsional tertutup memang menawarkan kesederhanaan pili­han bagi pemilih serta kemudahan konsolidasi dan internalisasi ideo­logi bagi partai. Namun, bila tidak dikelola baik ia berpotensi menim­bulkan party dictatorship dan party oligarchy, yakni kandidat terpilih sebagian besar adalah elite atau pimpinan partai dan beberapa kandidat yang memiliki modal finansial untuk membayar posisi tertinggi dalam nomor urut daftar caleg (Edward Aspinall, 2020).

Koherensi sistem

Kesungguhan menjaga praktik pemilu demokratis dan kemam­puan mewujudkan tujuan berpe­milu menjadi aspek sangat penting dalam kerangka hukum pemilu demokratis. Baik proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama membutuhkan penegakan hukum efektif atas berbagai gang­guan, kecurangan ataupun praktik koruptif yangmungkin terjadi. Contohnya, politik uang yang bisa muncul pada kedua sistem meski fokus dan lokusnya berbeda. Poli­tik uang lebih menyasar pemilih pada proporsional terbuka, se­dang­kan dalam proporsional tertutup politik uang banyak terjadi antara caleg dan elite partai saat penentuan nomor urut calon.

Selain itu, untuk mencegah ke­hadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat, apa pun pilihan sistemnya mesti disertai syarat caleg harus berstatus kader partai selama kurun waktu tertentu. Misalnya, minimal tiga tahun sebelum pendaftaran caleg dila­kukan. Dengan begitu, kalaupun partai ingin membuka kesempatan pencalonan inklusif kepada pihak luar, tetap saja harus ada proses internalisasi ideologi melalui pemberlakuan persyaratan durasi minimal sebagai kader partai. Pilihan yang tidak sulit apalagi rumit, namun jadi amat pelik saat aktor politik yang juga pembuat undang-undang lebih mengede­pankan kepentingan pragmatis elektoral.

Lalu bagaimana dengan Pemilu 2024? Kondisi objektif saat ini jelas tidak memungkinkan untuk meng­ubah sistem pemilu, khususnya berkaitan dengan metode pembe­rian suara. Sebab tahapan pemilu sudah berjalan dan memasuki fase-fase krusial. Lebih baik semua pihak fokus pada mempersiapkan seluruh tahapan secara optimal serta mencegah dan mengantisipasi berbagai postensi masalah yang bisa muncul, terutama bila berkaca pada evaluasi dan refleksi penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

Ke depannya, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu, lakukanlah secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pastikan pilihan atas sistem pemilu juga koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat. Jika tidak, kita akan selalu terjebak pada gonta ganti sistem tanpa mampu keluar dari akar masalah sesungguhnya. Sekadar tiba masa tiba akal tiba pula kepentingan. Dampaknya buruk, rakyat antipati dan makin tak percaya pada institusi politik yang ada. Jangan biarkan terjadi. Oleh: Titi Anggraini Pembina Perludem dan pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (*)