Pekerja Rumah Tangga Migran Menunggu UU PPRT
PARA pekerja rumah tangga migran (PRTM) Indonesia punya daftar panjang berbagai bentuk kekerasan terus berulang akibat perlakuan sewenang-wenang majikan karena mereka dianggap babu, bukan pekerja. “Tidak cukup UU PPMI, kami butuh UU PPRT juga untuk melindungi kami,” ujar Wati, PRT migran Taiwan.
Jeritan PRT Wati dari Taiwan tersebut disuarakan saat webinar antarjaringan buruh migran untuk mendukung RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), 26 Februari 2023. Wati mewakili suara 9 juta pekerja migran Indonesia (World Bank 2021) yang membutuhkan perlindungan berlapis dari negara agar aman bekerja.
Para PRTM Indonesia telah meneliti penyebab kondisi PRTM Indonesia yang tidak sebaik kondisi PRTM Filipina. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa faktor pembeda utama nasib di antara mereka adanya UU Batas Kasambahay, yaitu ‘UU PPRT’ di negara Filipina, sesuatu yang Indonesia belum punya.
PRTMI, tapi diperlakukan sebagai babu
Realitas para PRTMI dilaporkan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) di Malaysia. Sepanjang 2021, mereka mencatat ada 60 kasus pelanggaran, dari kekerasan fisik (3,9%), korban perdagangan manusia (5,9%), pelecehan seksual (7,8%), eksploitasi (31,4%), dan pelanggaran yang tertinggi ialah gaji tidak dibayar (45,1%).
Baca Juga: Membangun Sinergi Komunitas Gerakan Islam WasatiahLebih jauh, Pertimig memaparkan bahwa nilai gaji PRTMI yang tidak dibayarkan mencapai Rp1 miliar pada 2021. Sama dengan di Indonesia, ditemukan juga kasus PRT migran yang sudah bekerja 5-6 tahun tanpa digaji. Intinya, fenomena praktik perbudakan modern masih dialami semua PRT kita, baik di dalam maupun luar negeri.
Selama pandemi, eksploitasi kerja dan tindak kekerasan yang dialami PRTMI ditemukan meroket. Kebijakan work from home oleh berbagai negara selama pandemi telah menyebabkan beban kerja PRTMI juga berlipat beserta risiko-risikonya.
Minimnya perlindungan dari pemerintah asal dan lemahnya penegakan hukum di negara tujuan ditengarai menjadi sebab situasi buruk yang dialami PRT migran. Menariknya, ditemukan korelasi linier di antara dua faktor tersebut, jika pemerintah (yaitu Filipina) meningkatkan perlindungan di dalam negerinya, penegakan hukum di negara tujuan juga meningkat. Dengan begitu, posisi tawar PRT akan ikut meningkat terutama terhadap majikan mereka.
Artinya, komitmen politik yang lebih serius dari negara pengirim akan bisa memperbaiki perspektif majikan terhadap PRTM mereka di negara tujuan. Komitmen politik negara bisa mengikis diskriminasi akibat strata sosial.
Riset dari Titik Rahmawati (2021) menguatkan bahwa beragam diskriminasi yang dialami PRTM ialah akibat perbedaan kelas sosial. Sebagaimana di Indonesia, PRT tidak dipandang sebagai mitra yang ikut membantu meringankan pekerjaan di dalam keluarganya. Sebaliknya, PRT dipandang sebagai orang yang stratanya lebih rendah dari diri mereka sebagai pihak yang mempekerjakan.
Pertimig (2021) memberikan bukti situasi PRTM Filipina yang jauh lebih baik ketimbang PRTM Indonesia. Gaji PRTM Filipina lebih tinggi daripada rata-rata PRTM asal negara mana pun di Malaysia. Sebagai perbandingan PRTM Filipina bergaji minimum 1.648 RM, sedangkan upah untuk PRTM kita hanya separuhnya, yaitu 900 RM per bulan.
Selain itu, pemerintah Filipina membuat program yang disebut PAOS (Post-Arrival Orientations) bagi para PRTM mereka di negara tujuan. Program itu di bawah pengawasan langsung Kedutaan Besar Filipina setempat. Pendeknya, Kedutaan Besar Filipina terlibat langsung sejak kedatangan hingga kepulangan PRTM, termasuk memberikan pendampingan saat PRTM mengalami sengketa.
Kedubes Filipina juga membuka hotline yang setiap saat bisa dihubungi para PRTM mereka, terutama di tengah situasi kritis. Kebijakan itu nyatanya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan karena bisa mengatasi berbagai ancaman yang ditujukan ke PRTM. Angka kekerasan yang dialami para PRTM Filipina ialah terendah ketimbang para PRTM lainnya.
Kawasan Asia masih ditetapkan sebagai wilayah yang PRT-nya paling rentan terhadap kekerasan (perbudakan) di dunia, kecuali di Filipina, karena mereka telah meratifikasi Konvensi ILO No 189. Mereka kemudian membuat UU Pekerja Rumah Tangga atau lebih dikenal sebagai Batas Kasambahay pada 2013 yang ternyata efektif melindungi PRTM Filipina di negara mana pun.
UU Batas Kasambahay berisi perlindungan bagi pekerja rumah tangga dari pelecehan, jeratan utang, dan bentuk-bentuk terburuk dari pekerja anak sebagai PRT. Ada pula penetapan standar minimum untuk upah, jam dan hari istirahat, serta tunjangan lainnya untuk untuk para PRT.
Selain itu, UU PRT Filipina tersebut memperluas jaminan sosial, asuransi kesehatan masyarakat, dan reksa dana pembangunan rumah serta menyediakan mekanisme untuk penanganan sengketa. Bantuan sosial terbaru bagi para PRT ialah pembebasan biaya melahirkan dan jaminan untuk uang pensiun.
UU PPRT tersebut menyempurnakan ketentuan UU Perburuhan Filipina yang tidak menyertakan PRT sekaligus memperbaiki pencapaian target dari undang-undang sosial terkait lainnya. UU Batas Kasambahay juga diharapkan dapat memfasilitasi transisi bertahap pekerja rumah tangga dari bentuk pekerjaan informal ke formal.
Jika RUU PPRT disandingkan dengan UU PRT Filipina tersebut, RUU PPRT terlihat amat minimalis walau masih mungkin diperbaiki saat panja dengan pemerintah. Meski minimalis, sudah bersifat transformatif karena merupakan pembentukan regulasi baru yang signifikan bagi keadilan sosial karena terkait dengan ekonomi kerakyatan yang melibatkan 10 jutaan PRT.
UU PPRT untuk perbaikan kebijakan migrasi
“Gimana mau menuntut perlindungan di sini? Wong di negerimu saja kamu gak diakui.” Itu pendapat majikan yang disuarakan Yatini dari Serikat Buruh Migran (Sebumi) di acara Webinar Open Mike pada 26 Februari 2023 tersebut.
Sebenarnya sikap demikian sering disindirkan pula oleh pejabat-pejabat beberapa negara tujuan saat para politisi Kaukus Buruh Migran DPR RI di masa lalu melobi akan perlunya UU Perlindungan PMI di negara mereka.
Memang aneh jika kita meminta kepada negara lain untuk menghormati dan melindungi PRTM Indonesia, tetapi kita sendiri tidak melakukannya terhadap PRT dalam negeri. Pengesahan UU PPRT akan menguatkan posisi Indonesia dalam berdiplomasi untuk menuntut perlindungan negara lain bagi PRTM Indonesia.
Pemerintah Indonesia yang ditetapkan sebagai negara champion dari Global Compact for Migration (GCM) di Asia Pasifik memang dituntut melakukan banyak perbaikan kebijakan di dalam negeri. Salah satu perbaikan yang sudah dilakukan ialah revisi UU PPTKLN (No 39 Tahun 2004) menjadi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia-UU Nomor 18 Tahun 2017 yang orientasi perlindungan terhadap PMI diperkuat.
Di saat yang sama, sebagai Ketua ASEAN maka pemerintah juga harus menunjukkan keseriusannya dalam melaksanakan ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Presiden tentu sudah pula menyadari keharusan menata migrasi tenaga kerja internal wilayah Indonesia sebelum menata ASEAN.
Wajar juga jika Presiden Jokowi kemudian setuju mendorong pengesahan UU PPRT demi misi pemerintah untuk mengatasi perdagangan orang secara global pada 18 Januari 2023. Apalagi, RUU PPRT ialah termasuk janji kampanye presiden pada 2014 dan 2019.
Data-data kekerasan terhadap PRT dalam negri (Jala PRT 2019) ialah sama buruknya dengan yang dialami PRTM di luar negeri. Permasalahan yang dihadapi keduanya sama, yaitu perdagangan orang, eksploitasi ekonomi, kekerasan macam-macam, diskriminasi, dan lain-lain yang intinya ialah rentan menjadi korban praktik perbudakan modern.
Kebutuhan PRT di dalam dan migran juga sama, yaitu pengakuan profesi sebagai pekerja (bukan babu) sehingga bisa mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Negara, tentu kemudian berkewajiban memberikan perlindungan agar hak-hak tersebut bisa dinikmati warga negara yang berprofesi sebagai PRT di mana pun mereka bekerja.
Untuk menjamin hak-hak konstitusional para PRT atas pekerjaan dan upah yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 28 UUD 1945) tersebut, negara harus hadir dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka. Bentuk tersebut ialah pengaturan terkait dengan posisi PRT sebagai pekerja mulai rekrutmen, pencatatan, pembekalan, upah dan kondisi kerja yang layak, asuransi ketenagakerjaan, hak libur dan istirahat, hingga pengaturan saat ada sengketa.
Sementara itu, PRTMI kita sangat berharap RUU PPRT segera disahkan agar kondisi PRTM kita membaik seperti yang dinikmati kolega mereka dari Filipina. Mereka ingin aman bekerja agar terhindar dari status korban kekerasan. Berurusan hukum di negeri orang sangat dihindari karena sistem hukum setempat dapat dipastikan tidak akan memihak para PRTM kita.
Bank Indonesia (BI) melaporkan pekerja migran Indonesia menyumbangkan devisa sebesar US$9,71 miliar pada 2022. Jumlah remitansi tersebut naik 6,01% ketimbang tahun sebelumnya yang sebanyak US$9,16 miliar. Sepatutnya perlindungan kepada PMI terutama yang perempuan juga ditingkatkan.
Hal itu sejalan dengan data World Bank (2021) yang menyatakan bahwa 70% PMI terdiri atas perempuan. Profesi terbesar PMI kita ialah PRT, sedangkan 30% PMI bekerja di transportasi, sopir RT, konstruksi, dan operator.
Sepanjang 2016-2022, Komnas Perempuan mencatat ada 813 kasus kekerasan terhadap perempuan PMI. Persentase perempuan PMI juga meningkat drastis selama pandemi, yaitu naik sebesar 88%, tetapi mereka tetap bekerja di sektor informal dengan kenaikan 77% dari sebelumnya.
Peningkatan jumlah perempuan PMI ini sayangnya diiringi dengan meningkatnya tindak kekerasan berbasis gender. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah (2022) bahkan ikut menegaskan bahwa bentuk kekerasan tertinggi yang dialami PMI ialah kekerasan seksual.
Catatan Komnas Perempuan di atas harus menjadi peringatan bahwa Pengesahan RUU PPRT tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Jutaan perempuan PRT penghasil devisa dan yang di dalam negeri sangat membutuhkan pengakuan profesi dan perlindungan dari negara sebagaimana di RUU PPRT. Oleh: Eva K Sundari Institut Sarinah.(*)
Tinggalkan Balasan