AMBON, Siwalimanews – Setelah merampungkan audit dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea di Desa Sawa, Kabu­paten Buru, Namlea, Badan Peng­awasan Keuangan dan Pembangu­nan (BPKP) Perwakilan Maluku be­rencana pekan ini menyerahkan hasil audit tersebut kepada Kejak­saan Tinggi (Kejati) Maluku.

“Hasil audit kerugian negara akan segera diserahkan minggu ini,”  jelas Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Perwakilan Ma­luku, Affandi  kepada Siwalima di ruang kerjanya, Senin, (10/3).

Ketika ditanyakan berapa besar kerugian negara kasus korupsi pem­belian lahan PLTG Namlea tersebut, Affandy menolak berkomentar. Ia beralasan pekan ini publik sudah bisa mengetahui kerugian negara kasus tersebut.

“Jika tak ada halangan, minggu ini angka kerugian sudah dapat diketahui publik. Karena Minggu ini akan diserahkan, dan dalam mingu ini pimpinan sudah datang, sehi­ngga direncanakan Kamis atau Ju­mat sudah diserahkan,” jelas Affandi.

Affandi mengungkapkan, BPKP sudah merampungkan audit kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea. Hasil audit tersebut akan diumumkan ke publik dan di­serahkan ke tim penyidik kejaksaan.

Baca Juga: Jaksa Jerat Pemilik 22 Paket Sabu 7 Tahun

“BPKP sudah merampungkan hasil audit dugaan kasus korupsi lahan PLTG Namlea,” kata Affandi.

Rampungkan

Seperti diberitakan sebelumnya, BPKP Perwakilan Maluku telah me­rampungkan audit kasus dugaan ko­rupsi pembelian lahan PLTG di Desa Sawa, Kabupaten Buru, Namlea.

Hasil hasil audit kerugian negara dibutuhkan penyidik Kejati Maluku untuk menetapkan tersangka.

“BPKP sudah mengaudit dugaan kasus korupsi lahan PLTG Namlea, dan tahap finalisasi,”  kata Affandi, Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Perwakilan Ma­luku kepada Siwalima di ruang kerjanya, Kamis, (27/2).

Hasil audit, kata Affandi, harus ditandatangani oleh Kepala BPKP Maluku, setelah itu baru diserahkan ke penyidik Kejati Maluku.  “Fina­lisasi laporan, kalau sudah ditanda­tangani oleh pimpinan,” ujarnya.

Penyidik Kejati Maluku masih menunggu hasil audit, sehingga penetapan tersangka belum dilaku­kan.

“Sampai sekarang kami masih menunggu hasil audit dari BPKP,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette kepada Siwalima, di ruang kerjanya, Senin, (2/3).

Untuk diketahui,  status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyi­dikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan bukti­bukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar itu, dibeli oleh PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai NJOP, lahan milik Ferry Tanaya itu hanya sebesar Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa mene­mu­kan bukti, dugaan kongkalikong dengan pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi, sehingga harganya dimark up menjadi Rp 131.600 meter2.

“Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, nilai lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238. 000. Namun NJOP diabaikan,” kata sumber di Kejati Maluku.

PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya, sehingga diduga ne­gara dirugikan sebesar Rp 4. 650. 575.600. Namun pihak PT PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku mengatakan, tidak ada masalah dalam pembelian lahan pembangu­nan PLTG di Namlea. Menurut Asisten Manager Komu­nikasi PT PLN UIP Maluku, Abdul Azis Laadjila, transaksi pembelian lahan tersebut sudah sesuai dengan NJOP. (Mg-2)