AMBON, Siwalimanews – Sejumlah warga yang menjalani karantina karena divonis positif terpapar Virus Corona mengeluh, karena tidak ada perhatian Pemkot Ambon terhadap keluarga mereka.

Mereka harus menjalani karan­tina, namun anak-anak mereka tak terurus. Ironis, tak ada bantuan yang diberikan oleh Pemkot Ambon.

Selain itu, ada juga pasien yang mengeluh soal bukti hasil pemerik­saan swab dari laboratorium yang tidak diberikan oleh Dinas Kese­hatan.

Rosiana, warga Kota Ambon yang saat ini menjalani karantina di LPMP mengatakan, Pemkot Ambon lepas tangan dari anak-anaknya yang ditinggalkan di rumah.

“Pada 28 September saat saya ditracking oleh Dinkes Kota Ambon, dan diminta untuk dikarantina oleh gugus Kota Ambon, namun karena kuota hotel yang dipakai pemkot untuk tempat karantina terpusat penuh, maka saya dipindahkan ke pusat karantina LPMP dan sejauh ini saya lihat kita terkesan dianak­tirikan oleh pemkot padahal saya warga kota,” tandas Rosina, kepada Siwalima, Sabtu (24/10).

Baca Juga: Pasien Covid Asal Malteng Meninggal di RSUD Haulussy

Pasca divonis positif Covid-19 dan harus menjalani karantina, kata Rosina, dua anaknya terpaksa di­urus oleh keluarga, karena dirinya tidak mempunyai uang lagi.

“Dua hari yang lalu, anak-anak minta uang, tapi seng ada uang lagi, Untuk sementara waktu kedua anak saya diurus oleh keluarga saya, tapi mau sampai kapan hal ini terjadi,” tandasnya.

Rosiana yang adalah pegawai honor di salah satu dinas di Pem­prov Maluku ini meminta walikota untuk bersikap bijaksana.

“Semoga Pak Walikota Ambon bisa dengar jeritan suara hati se­orang ibu ketika anak-anaknya dalam kon­disi kelaparan saat ibunya terpaksa di­karantina akibat Covid-19,” ujarnya.

Pasien lainnya Patrick Papilaya juga mengungkapkan hal yang sama. Selama dirinya menjalani karantina di LPMP, tak ada perhatian sedi­kitpun dari Pemkot Ambon terhadap keluarganya.

“Selaku warga Kota Ambon saya justru heran dengan proses pena­nganan pemkot, padahal pak Wali­kota pernah menyatakan di berita-berita pada media massa, bahwa keluarga pasien Covid-19 pasti akan diberikan bantuan, ternyata itu hanya pemanis kata-kata saja,” ujar Papilaya.

Papilaya menegaskan, apa yang disampaikan Walikota ternyata cuma isapan jempol semata, bahkan pemkot lepas tangan karena berpikir Pemprov Maluku melakukan pena­nga­nan kepada pasien di lokasi karantina terpadu bahkan keluarga pasien di rumah.

“Yang terhormat tuan besar Richard Louhenapessy, jangan cuma bicara retorika belaka, namun tidak nampak bukti nyata di lapangan, kami yang ditangani Pemprov Ma­luku itu ber-KTP Ambon, keluarga kami ber-KTP Ambon pak,” tegasnya.

Menurutnya, penanganan pasien Covid-19 oleh Pemprov Maluku patut diacungi jempol, namun ka­rena diba­tasi oleh dana covid-19 yang bersum­ber dari APBD maka Pemprov Maluku tidak menangani keluarga pasien.

Sementara Kota Ambon menda­pat kucuran dana dari APBD mau­pun APBN sehingga selain mena­ngani pasien Covid-19, juga keluar­ga pasien yang ditinggalkan.

“Saya ini tulang punggung ke­luar­ga dan bukan ASN, namun selama hampir tiga minggu di lokasi karantina terpadu, Pemkot Ambon tidak pernah melihat keluarga saya yang ada di rumah,” urainya.

Dirinya juga mengaku sudah mela­kukan pengambilan swab sebanyak 4 kali, namun masih dinyatakan positif oleh tim medis.

Bukti pemeriksaan hasil swab yang menyatakan dirnya positif itupun diberikan, kata Papilaya, karena terus didesak.

“Itu pun tulisannya sangat buram dan susah untuk dibaca, tolong di­perjelas pelayanan karena hasil swab adalah wajib diberikan kepada pasien,” tegasnya.

Ia mengatakan, akibat penanga­nan yang tidak optimal, menye­babkan masyarakat tidak memper­cayai adanya Covid-19.

“Saya minta perhatian dari Wali­kota Ambon yang terhormat bapak Richard Louhenapessy dan pak Ketua Satgas Covid-19 Kota Ambon, bapak Syarif Hadler menyikapi persoalan ini, jangan lepas tangan karena kami adalah warga ber-KTP Ambon, ingat­lah siapa buat baik akan menuai hasil yang baik pula,” tandasnya.

Pasien lainnya juga kecewa ter­hadap Pemkot Ambon, karena tidak diberikan bukti hasil pemeriksaan swab. “Kita dinyatakan terpapar dan dikarantina, namun tidak tahu benar, atau tidak kita terpapar, karena tidak ada bukti hasil swab,” ujarnya, yang meminta namanya tak dikorankan.

Ia mengaku, dinyatakan positif oleh Satgas Covid-19 Kota Ambon awal bulan September,  dan sembuh pada awal Oktober.

“Saya sudah sembuh, tapi  tidak ada bukti yang diberikan kalau saya terpapar corona,” tandasnya.

Ia meminta Pemkot Ambon dan satgas memperbaiki pola penanga­nan Covid-19, sehingga masyarakat percaya.

Tanggung Jawab Pemerintah

Akademisi Hukum IAIN, Nasa­ruddin Umar mengatakan, pemerin­tah bertanggung jawab untuk me­menuhi kebutuhan dasar masyara­kat yang terdampak Covid-19.

“Jika kembali kepada tanggung jawab negara dalam konteks pena­nga­nan Covid-19 maka melekat pada aspek pmerintah suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak dalam hal ini keluarga pasien,” kata Umar, kepada Siwalima, Minggu (25/10).

Dikatakan, UU Nomor 1 tahun 2020 tentang Perpu anggaran covid itu memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan refocusing anggaran dalam rangka pe­nanganan Covid-19. Artinya secara regulasi negara memberikan kewe­nangan kepada setiap daerah untuk mengalokasikan anggaran.

“Salah satunya memberikan jami­nan terhadap kebutuhan dasar bagi masyarakat yang terdampak seperti keluarga pasien,” jelas Umar.

Dalam konteks penanganan Covid-19, kata Umar, Pemkot Ambon hadir. Sebab pemerintah memiliki sumber daya, termasuk anggaran sehingga sudah sepatutnya turun tangan me­me­nuhi kebutuhan dasar masyarakat.

“Esensi pemerintahan itu untuk melindungi rakyat, jadi kalau hal itu dibiarkan tentu dimana letak per­tanggungjawaban pemerintah kota dalam melindungi masyarakat dan sangat disayangkan, kalau ada seperti itu,” ujarnya.

Sementara Direktur Maluku Crisis Center, Ikhlas Tualeka mengatakan, dalam situasi seperti ini anggaran yang ada harus dialokasikan secara proporsional dan objektif. Jika ada warga yang akhirnya harus dikaran­tina maka seharusnya ada kebijakan untuk meringankan beban ekonomi keluarganya. Apalagi keluarga pra­se­jahtera dengan pendapatan yang sangat minim.

“Seharusnya ada kebijaksanaan dari pemkot untuk meringankan be­ban ekonomi keluarga yang ber­sang­kutan,” ujarnya.

Ia mengakui, selama ini pemkot memiliki niat baik untuk memutus mata rantai Covid-19, tetapi disisi lain ada warga yang terzalimi, karena harus meminggalkan keluarga untuk menjalani karantina.

“Jadi harusnya didata dan dilihat latar belakang ekonomi keluarga yang dikarantina dan mestinya pe­merin­tahan juga mengalokasikan anggaran untuk membantu. Setidak­nya ini ke­pentingan pangan,” ujar Tualeka.

Tualeka menambahkan, jika per­soa­lan tidak terselesaikan, maka pasti  kepercayaan publik akan terus menu­run dan semakin mendegradasi ting­kat kepercayaan publik terutama ter­hadap  upaya penanganan Covid-19.

Sekretaris Komisi I DPRD Kota Ambon, Saidna Azhar mengatakan, keluarga pasien juga menjadi tanggung jawab pemkot.

“Misalnya yang terpapar covid merupakan tulang punggung ke­luar­ga, maka pemkot harus bertang­gung jawab untuk memperhatikan keluarga pasien,” tandasnya.

Ia meminta pemkot melihat per­soalan ini secara serius, sehingga tidak menjadi polemik di masyarakat.

Ketua Cabang HMI Kota Ambon Mizwar Tomagola meminta walikota meninjau langsung warga kota yang dikarantina, sehingga bisa mende­ngar keluhan mereka.

“Walikota harus turun langsung di lokasi karantina, biar mendengar langsung keluhan masyarakat. Ka­sihan kan, sampai ada keluhan seperti ini, kita juga prihatin,” ujarnya.

Tomagola menilai Walikota dan tim gugus tugas hanya pencitraan di media massa dengan mengatakan akan menangani keluarga pasien Covid-19 dengan baik. “Walikota dan tim gustu jangan hanya omong, tapi tidak ada buktinya,” tandasnya.

Walikota Ambon, Richard Louhe­napessy yang dihubungi, namun te­leponnya tidak aktif. Pesan whats­app juga tak dibalas. Sementara, Wakil Walikota, Syarif Hadler eng­gan meng­angkat telepon. (S-39/Cr-2/Cr-1)