AMBON, Siwalimanews – Pengadilan Negeri Ambon Rabu (7/4), mulai menyidangkan kasus penjualan senjata api (senpi) ke kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Sidang perdana dengan agenda mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum itu mengha­dirkan enam terdakwa.

Enam Terdakwa penjualan sen­jata api dan amunisi ke KKB yakni dua oknum polisi Sam Herma Palijama (34) dan Muham­mad Romi Arwanpitu (38). Kemu­dian empat warga sipil diantaranya Sahrul Nurdin (39), Ridwan Moh­sen Tahalua (44), Handri Morsalim (43) dan Andi Tanan (50).

Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan. Jaksa Penuntut Umum Eko Nugroho, dalam dakwaannya menjelaskan transaksi penjualan senpi serta peranan para terdakwa.

Disebutkan, transaksi senjata api, dilakukan oleh para terdakwa di sejumlah lokasi. Dimana awal transaksi atas permintaan Atto Murib (DPO) pemilik tambang emas di kilometer 54 Kabupaten Nabire Papua kepada Welem Ta­ruk  warga Ambon (terdakwa dalam berkas perkara tersendiri yang diajukan penuntutan secara terpisah) untuk mencarikan senpi dan amunisi untuk dibeli.

Dari permintaan tersebut, Welem Taruk kemudian berkenalan de­ngan Sam Herma Palijama yang merupakan anggota Polresta Ambon. Taruk kemudian meminta di­carikan senjata rakitan untuk dijual kembali.

Baca Juga: Saksi OJK Sebut Transaksi Repo Obligasi Bank Maluku Malut Fiktif

Sam selanjutnya mengiyakan permintaan tersebut dan meng­hubungi warga Rumahkay Iwan Touhuns (DPO) untuk mencarikan senjata rakitan seperti yang diminta. Sekitar bulan Oktober 2020, Iwan kemudian menghu­bungi Sam dan memberitahukan bahwa  ada senjata api rakitan jenis SS1 yang siap dijual.

“Sam selanjutnya menuju Desa Rumahkay untuk melihat senjata yang dijual dengan harga Rp.8 juta tersebut,”ujar JPU saat membacakan dakwaan.

Senjata rakitan yang didapatkan terdakwa tersebut kemudian ditawarkan kepada Welem Taruk dengan harga Rp.20 juta. Setelah ada persetujuan dengan harga yang ditawarkan keesokan harinya Taruk menuju desa Rumahkay untuk lakukan transaksi.

“Taruk datang dengan mobil Avansa Veloz hitam dan menunggu terdakwa Sam di ujung Desa Rumah Kai selanjutnya Taruk memberikan uang Rp.20 juta kepada terdakwa Sam dan mengambil senjata api rakitan tersebut,”pungkasnya.

Transaksi berlanjut pada Desember 2020, dimana Iwan Touhuns (DPO) kembali menghubungi Terdakwa Sam bahwa ada senjata rakitan yang mau dijual dengan harga Rp.6 juta. Terdakwa sam selanjutnya menghubungi Welem Taruk bahwa terdapat senjata yang akan dijual dengan harga Rp.20 juta.

Setelah ada persetujuan Willem Taruk kemudian melakukan pembayaran secara transfer kerekening terdakwa Sam.

Selanjutnya terdakwa sam menuju desa Rumahkay membayar uang Iwan dan mengambil yang kemudian disimpan rumahnya di Desa Pia, Saparua. Januari 2021 Welem Taruk datang mengambil senjata tersebut dan membawa senjata itu ke Papua melalui lewat jalur laut Seram.

Selanjutnya, di bulan Agustus 2020 tepatnya dipangkalan Ojek Lorong Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon, terdakwa Muhammad Romi Arwanpitu yang juga oknum anggota Polri, mendapatkan senjata api jenis pistol dari saksi Amirudin Lessy, oknum anggota TNI Angkata Udara (diproses pidana militer) dan menawarkan senpi yang disimpan dipinggangnya itu kepada terdakwa Ridwan Mohsen Tahalua dengan harga Rp.5 juta. Pistol tersebut kemudian di bawa ke Pasar Arumbai untuk ditawarkan ke terdakwa Sahrul Nurdin.

Transaksi berlanjut lagi diawal tahun 2020, dimana terdakwa Handri Morsalim menawarkan senjata api laras pendek rakitan beserta 1 amunisi kepada terdakwa Sahrul di Pasar Mardika yang dibeli seharga Rp.1 juta.

Pada bulan November 2020 terdakwa Andi Tanan kemudian mencari Milton Sialeky, oknum anggota TNI Angkatan Darat yang diproses pidana militer untuk membeli amunisi.

Transaksi jual beli butir peluru terjadi sebanyak tiga kali  yakni seratus butir peluru kaliber 5,56 dbeli dibawa Jembatan Merah Putih dengan harga RP. 500.000, kedua di November 100 butir peluru kaliber 5,56 dengan RP. 500.000 dan ketiga 400 butir kaliber 5,56 di Januari 2021 bertempat di depan gereja Pantekosta, Lampu Lima  dengan harga Rp. 1 juta.

Atas perbuatannya , para terdakwa diancam pidana pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Undang-Undang RI dahulu No.8 tahun 1948 jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP.

Usai jaksa membacakan dakwaanya, hakim langsung menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. (S-45)