Pandemi: Kebudayaan Senjata Pamungkasnya!
KETIKA seruan memerangi Covid-19 menjadi begitu merasuk ke dalam benak para penguasa, sepertinya gambaran perang yang dikomandoi oleh seorang panglima tempur merupakan imaji yang berkembang dalam pikiran mereka. Maka seorang pensiunan jenderal yang sudah kenyang bertugas di medan tempur pun, ditunjuk untuk melaksanakan tugas ini. Pilihan jatuh kepada Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).
Dengan sigap sang Panglima ‘tempur’ pun mengatur barisan dan mendesain pola dan gerak pertempuran dalam konteks tugas memerangi Covid-19 sebagai musuh yang harus dibasmi. Beberapa aturan yang memberlakukan pengamanan wilayah agar ruang gerak ‘musuh’ dibatasi, diterapkan dengan ketat. Sangsi bagi para pelanggar aturan pun ditegakkan. Rakyat serta merta diposisikan sebagai ‘para prajurit’ yang harus tunduk pada aturan. Semua wajib terlibat aktif di medan pertempuran perang melawan Covid-19 berikut turunan hasil mutasinya.
Rakyat Indonesia yang super baik dan selalu taat pada penguasa, dengan ‘sukarela’ setengah terpaksa menaatinya dan cukup aktif berpartisipasi melakukan tindakan pengamanan wilayah. Tentunya sesuai anjuran agar duduk manis di rumah dan berhenti kelayapan tanpa tujuan dan keperluan yang mendesak. Hal ini dilakukan masyarakat dengan penuh kepatuhan pada dua minggu pertama diturunkannya perintah oleh panglima tempur agar mematuhi mengikuti aturan dan tatalaksana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Namun, ketika pada minggu berikut diperpanjang dan PPKM diulur setiap minggu hingga kurun waktu tak menentu? Rakyat yang disulap menjadi ‘tentara partikelir’’ pun mulai gelisah. Mereka yang diperintah untuk ‘maju perang’ tanpa bekal senjata dan logistik yang memadai, mulai resah dan menggerutu berjamaah. Sementara sang Panglima perang yang tidak secara langsung merasakan penderitaan para pengais rejeki harian untuk menghidupi keluarga hari perhari lewat jual tenaga atau dagangannya, tampak entengsaja mengeluarkan perintah. Luar biasanya, rakyat tetap bertahan patuh dalam kesabaran yang luar biasa tingginya, sekalipun tanpa adanya kepastian dan jaminan bahwa hari esok mereka akan melihat hadirnya titik terang.
Nah, pertanyaan yang muncul; sampai kapan mereka mampu patuh dan turut perintah ketika suatu saat panggilan perut menjadi tuntutan paling utama. Tentunya situasi yang demikian ini sangat ditunggu oleh kelompok yang sudah jenuh terhadap kepemimpinan Jokowi.
Baca Juga: Kebangsaan di Masa PandemiSituasi kritis ini pun sangat kondusif untuk dimainkan sebagai amunisi politik. Memanaskan situasi dan meninggikan gelombang kebencian pada pemerintah, dengan sendirinya akan semakin membesar dan melebar peluangnya.
Celakanya bila di kalangan penguasa masih mempercayai bahwa pemberlakuan PPKM adalah solusi untuk mengakhiri penyebaran virus Covid-19. Pengetatan larangan fisik yang ruang dan waktu keberhasilannya akan sangat terbatas, sangat delusional bila pemberlakuan PPKM diposisikan sebagai jalan keluar utama yang bakal berdampak panjang apalagi permanen terhadap upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Mencegah kerusakan lebih meluas (containing the damage programme) secara fisik memang merupakan wilayahnya permainan para petinggi militer. Karenanya pembatasan gerak fisik dan larangan memasuki wilayah rawan, merupakan hal yang tertanam dalam benak mereka sebagai hal yang pertama harus dilakukan.
Celakanya pola pikir demikian ini tetap diberlakukan ketika musuh yang dihadapi adalah musuh yang tak berwujud, tak kasat mata, dan tak berbau. Tak mungkin dibidik dan dibunuh dengan senjata berkaliber apapun. Walaupun sejuta tentara disiapkan untuk maju menumpas, akan percuma dan sia-sia. Karena penyebaran virus ini sangat erat hubungannya dengan perilaku, gaya, cara, dan budaya manusia menjalankan hidup kesehariannya. Dalam kaitan ini, peran dan posisi kualitas kebudayaan masyarakat menempati posisi yang super strategis. Oleh karenanya, pendekatan yang serba militer minded, merupakan pendekatan yang keliru dan gagal paham terhadap inti permasalahan.
Dalam kaitan ini seorang Menteri Kebudayaan yang paham akan fungsi jabatannya, akan super aktif melakukan tindakan pencegahan dan perlawanan terhadap serbuan virus Covid-19. Minimal dengan menggelar berbagai program yang bisa meningkatkan kualitas kebudayaan masyarakat. Tentunya tingkat kualitas yang berkaitan dengan pola pikir dan perilaku masyarakat yang lebih rasional dan sadar akan ancaman bahaya yang serius (Virus Covid-19). Salah satunya dengan upaya mendorong kesadaran akan betapa kaya peninggalan ramuan para leluhur sebagai produk temuan lokal jenius yang berabad digunakan para nenek moyang kita dalam meningkatkan daya tahan tubuh dan sejenisnya.
Hendaklah dipahami bahwa yang kita hadapi (bahaya pandemi) sangat terkait erat dengan masalah kualitas kebudayaan kita sebagai masyarakat bangsa. Seperti bagaimana menjelaskan bahwa dalam situasi pandemi yang memprihatinkan ini masih banyak manusia Indonesia yang saling serang, saling caci maki, giat menebar kebencian, dan menutup mata bahwa virus Covid-19 adalah realita. Dalam keadaan yang memprihatinkan ini, bukannya bersatu padu bergotong royong membentengi diri secara bersama saling jaga dan saling bantu, tapi yang diperlebar justru otak segregatif, dengan memperlebar garis demarkasi antara ‘KAMI’ dan ‘MEREKA’ sambil secara intens meniadakan ruang bagi kata ‘KITA’!.
Nah gambaran semua ini hendaknya dipahami oleh para penguasa penyelenggara negara bahwa KEBUDAYAAN merupakan benteng sangat strategis dan menjadi yang utama (senjata pamungkas) ketika hubungan pandemi dan kualitas manusia sangat erat dan kait mengait secara kuat dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19 secara terarah, tertata, berketahanan, dan berkelanjutan.
Jadi kesimpulannya, dalam perang melawan virus Covid-19 tidak diperlukan turunnya seorang Jenderal perang (fisik) ke medan laga. Tapi seorang Menteri Kebudayaan yang tahu akan fungsi dan tugasnya lebih diperlukan untuk menyudahi pertempuran yang digelar sia-sia lewat kebijakan PPKM seperti yang diberlakukan belakangan ini. Bukan berarti PPKM sama sekali tak berguna. Dampak positif sesaat yang dihasilkan pastilah terasa. Tapi bermimpi mengharap dapat membuahkan hasil yang berketahanan dan berkelanjutan. Hanya layak terjadi dalam pemikiran seseorang yang tenggelam dalam dunia fantasi terlalu jauh.
Tapi yah… lain halnya bila KEBUDAYAAN dipahami hanya sebatas tari menari, bernyanyi’, bermusik dan berbusana ria, yah monggo saja. Saya pun menjadi hanya bisa memberi ucapan… selamat kerja keras Pak Jenderal LBP! Sebaliknya, selamat ‘bobo’ pemikiran dan pemahaman Bapak Menteri Kebudayaan!
Akhirul kata yang mampu saya ucapkan; terserah Pak Presidenlah! Semoga apa yang telah saya tulis ini, semuanya salah. amin! (Oleh Erros Djarot)
Tinggalkan Balasan