PENYALAHGUNAAN senjata api (senpi) diberbagai negara, termasuk di Indonesia, sesungguhnya merupakan fenomena gunung es yang sangat membahayakan kesela­matan warga masyarakat secara keseluruhan. Jika dikaitkan dengan HAM, hal itu akan berdampak ter­hadap perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak atas keamanan orang (the right to security of person). Lebih jauh lagi, karena senpi berpotensi dapat mengancam nyawa dan mematikan, hal itu akan terkait pula dengan HAM yang paling fundamental yaitu hak untuk hidup (the right to life).

Mencuatnya kasus pembunuhan terhadap anggota Polri Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J (8/7/2022) menjadi salah satu pertanda adanya masalah serius dalam penggunaan senjata api. Bahkan di lingkungan internal Polri sendiri, baik pada kasus tersebut, maupun pada kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Belum lagi pereda­ran gelap senpi di tengah-tengah masyarakat yang ditengarai berkorelasi dengan sejumlah kejahatan dengan kekerasan yang seringkali disertai dengan penggunaan senpi, seperti pembegalan, perampo­kan, hingga pembunuhan.

Mengutip antaranews.com, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meneliti tentang kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri di 34 polda, dan hasilnya ditemukan peningkatan kasus penya­lahgunaan. Berdasarkan hasil penelitian Tim Kompolnas terhadap 34 polda dan 10 polda yang dlakukan pendalaman (Riau, Kepri, Metro Jaya, Sul­teng, Jogja, Jateng, Jambi, Lampung, Kalbar, Sumut) terdapat perubahan data, di mana diketahui kasus penyalahgunaan senjata api 2010-2021 mengalami peningkatan, yaitu terdapat 784 kasus (22/11/2021).

Data lebih baru menyangkut penyalahgunaan senjata, mengutip suara.com, yang dihimpun oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tercatat bahwa sepanjang periode Juli 2021-Juni 2022 telah terjadi 36 kasus penembakan di luar hukum yang dilakukan oleh polisi. Para terduga pelaku didominasi anggota kepolisian di tingkat polres (30/6/2022).

Terkait dengan soal penyalahgunaan senjata di atas, tulisan ini akan membahas secara ringkas tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum menurut standar PBB dalam perspektif hukum HAM.

Baca Juga: Optimisme di Tengah Ketidakpastian

Standar internasional

Ada instrumen hukum HAM internasional yang mengatur tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum. Hal itu diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 tentang Kode Etik Aparat Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials), disahkan pada 17 Desember 1979– selanjutnya disingkat Kode Etik dan Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Penggu­naan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) yang disahkan pada 7 September 1990 oleh Kongres ke-8 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar, di Havana, Kuba, 27 Agustus-7 September 1990 selanjutnya disingkat Prinsip-prinsip Dasar PBB. Kedua instrumen hukum tersebut walaupun secara teknis yuridis hanya bersifat soft law, namun telah dipraktikkan dan dijadikan standar/acuan oleh aparat penegak hukum kepolisian di berbagai negara.

Pasal 1 Kode Etik mengatur bahwa aparat penegak hukum harus setiap saat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan mela­yani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari tindakan ilegal, sesuai dengan tanggung jawab yang tinggi yang dituntut oleh profesi mereka. Lalu, bagian penjelasan (commentary) dari pasal itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘aparat penegak hukum’, adalah termasuk semua aparat hukum, baik yang diangkat/dipilih, yang menjalankan kekuasaan kepolisian, terutama kekuasaan penang­kapan atau penahanan.

Bagian penjelasan pasal di atas menyatakan bahwa bagi negara-negara yang mana kekuasaan polisi dijalankan oleh otoritas militer, baik berseragam atau tidak, atau oleh pasukan keamanan negara. Defi­nisi aparat penegak hukum harus dianggap termasuk petugas dinas tersebut. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencakup tidak hanya semua tindakan kekerasan, kejam dan berbahaya, tetapi meluas ke berbagai larangan di bawah undang-undang pidana.

Di Indonesia, secara singkat dapat dijelaskan bahwa aparat penegak hukum dalam arti sempit dapat meliputi; advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Lalu, dalam arti luas termasuk institusi penegak hukum dapat meliputi; Kepolisian, Mahkamah Agung, Komisi Pem­berantasan Korupsi/KPK, Kejaksaan, Imigrasi. Mengenai aparat penegak hukum dan institusi penegak hukum tersebut masing-masing telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 2 Kode Etik mengatur pula bahwa dalam melaksanakan tugasnya, aparat penegak hukum harus menghormati dan melindungi harkat dan martabat manusia serta memelihara dan menjunjung tinggi HAM semua orang. Bagian penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah sebagaimana yang dikenal dan dilindungi oleh hukum nasional, seperti dalam aturan hukum Indonesia, antara lain UUD 1945, KUHP, UU No. 39/1999 tentang HAM, Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Aturan hukum tersebut termasuk pula instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain Kovenan Internasional tentang Hak-hal Sipil dan Politik 1966 (diratifikasi melalui UU No. 12/2005), dan Konvensi Anti Penyiksaan 1984 (diratifikasi melalui UU No. 5/1998), dan Konvensi tentang Hak-hak Anak 1989 (diratifikasi melalui Keppres No. 36/1990) .

Lalu, Pasal 8 Kode Etik mengatur bahwa aparat penegak hukum harus menghormati hukum dan Kode Etik ini. Mereka juga harus, dengan kemampuan terbaik mereka, mencegah dan secara tegas me­nentang setiap pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, harus melaporkan masalah tersebut kepada otoritas atasan mereka dan, bila perlu, kepada otoritas atau organ lain yang sesuai yang diberi wewenang untuk meninjau atau memperbaiki.

Hal di atas juga sejalan dengan materi yang dimuat dalam Prinsip-prinsip Dasar PBB No. 24. Sesuatu yang mengatur bahwa pemerintah dan institusi penegak hukum harus memastikan bahwa perwira yang lebih tinggi bertanggung jawab jika mereka mengetahui, atau seharusnya mengetahui, bahwa aparat penegak hukum di bawah komando mereka menggunakan, atau telah menggunakan, penggu­naan kekerasan dan senjata api secara tidak sah, dan mereka tidak mengambil semua tindakan dalam kekuasaan mereka untuk mencegah, menekan atau melaporkan penggunaan tersebut.

Terkait dengan kasus tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang diduga melibatkan atasan­nya, Irjen Ferdy Sanbo dan terdapat penggunaan kekerasan senjata api secara tidak sah, ia sebagai seharusnya segera melaporkan kepada atasannya (yaitu Kapolri) sebagai bentuk tanggung jawabnya. Bukan sebaliknya, malah menyembunyikan atau me­nutupi tindak pidana yang terjadi untuk menghalang-halangi upaya pengungkapan kasus tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice.

Prinsip-prinsip Dasar PBB ke-1 menyatakan bahwa pemerintah dan institusi penegak hukum harus menetapkan dan menerap­kan aturan dan peraturan tentang penggunaan kekuatan dan sen­jata api terhadap orang oleh aparat penegak hukum. Dalam mengembangkan aturan dan peraturan tersebut, Pemerintah dan institusi penegak hukum harus terus meninjau masalah etika yang terkait dengan penggunaan kekuatan dan senjata api.

Secara normatif, Indonesia sesungguhnya telah melaksanakan Prinsip-prinsip Dasar PBB tersebut melalui Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Terdapat tiga prinsip dasar penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian- termasuk juga penggunaan senjata api- yang harus diperhatikan oleh setiap anggota kepolisian, yaitu prinsip legalitas (legality), keperluan/kebutuhan (necessity) dan proporsional (proportionality) seperti yang diatur dalam Pasal 3 Perkap No. 1/2009.

Legalitas, artinya semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Nesesitas, artinya penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi. Proporsionalitas, artinya penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.

Pasal 8 ayat (1) Perkap No. 1/2009 telah mengatur bahwa penggunaan senjata api dilakukan apabila; tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat; anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Aturan mengenai penggunaan senjata api juga diatur dalam Pasal 47 Perkap No. 8/2009, yaitu penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia; senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk: a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Kasus yang menimpa Brigadir J tentunya harus menjadi momentum bagi institusi Polri untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh, transparan, serta akuntabel dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik yang telah turun ke titik nadir akibat dari kasus tersebut. Publik masih menunggu bukti atas hal itu dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk realiasi dari slogan Korps Bhayangkara yang telah dicetuskannya, yaitu Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi serta berkeadilan).Oleh: Andrey Sujatmoko

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/518077/penggunaan-senjata-api