HARI ini, 76 tahun yang lalu, 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato tentang Pancasila dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sejak tahun 2017 setiap tanggal 1 Juni menjadi hari libur nasional untuk memperingati kelahiran Pancasila. Hal ini, menyusul Keppres No 24/2016. Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, golongan, dan pemikiran memer­lukan Pancasila sebagai perekat dan titik simpul. Demikian penegasan Soekarno. Karena itu, libur 1 Juni adalah momen yang bagus untuk mere­nungkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, yang bersifat dinamis dalam membangun nasionalisme kontekstual dan humanisme integral.

Ideologi dinamis Kata dinamis dari Bahasa Yunani dynamikos yang berarti energi atau daya. Karena itu ia mengandung makna perubahan, pertumbuhan, dan ketahanan.  Pancasila, sebagai ideologi dinamis memiliki energi dalam dirinya untuk mempertahankan identitasnya, di satu pihak, dan di pihak lain, terbuka dan berdialog dengan perubahan zaman dengan segala dina­mika dan berbagai ideologi yang mengikutinya. Sebagai ideologi dinamis, Pancasila mengandung tiga arti. Pertama, ia menjadi ideologi berkelan­jutan, di tengah zaman yang berubah. Ia menjadi wasiat dan warisan pusaka yang dilestarikan sepanjang masa. Pancasila menjadi inheren dengan keberadaan Bangsa dan Negara Indonesia. Kedua, Pancasila menjadi titik chemistry yang proporsional dan harmonis secara vertikal dan horizontal, secara personal dan sosial, secara teoritis dan praksis, secara lokal, nasional, dan global, dan, secara historis antara masa lalu, kini, dan yang akan datang. Ketiga, Pancasila menjadi sebuah ideologi yang visioner dan misioner. Ia menjadi rumah bersama bagi semua ide-ide politik yang mempunyai daya ungkit, untuk mengem­bang­kan kekuatan-kekuatan internal bangsa, ia solid dalam mengatasi kelemahan-kelemahan bangsa, jeli dalam memanfaatkan peluang-peluang eksternal, serta, tangguh dan progresif dalam menghadapi ancaman-ancaman dari luar.

Pancasila sebagai ideologi dinamis dengan ketiga elemen di atas, akan membentuk nasio­nalisme Indonesia yang kontekstual. Nasiona­lisme kontekstual Kata kontekstual berasal dari Bahasa Latin contextus yang berarti jalinan, rakitan, rapat. Dalam pengertian umum, konteks berarti rangkaian teks yang memberikan arti tertentu pada elemen bahasa (kata, kalimat) yang ada di dalamnya. Konteks, juga bisa berarti keada­an atau situasi di mana kita berada, dimana fakta terjadi atau sebuah wacana ditulis atau diucap­kan. Kata konteks, berkaitan dengan kata teks yang juga dari Bahasa Latin textus yang artinya tenunan atau texere yang berarti menenun. Seja­lan dengan makna etimologis ini, memba­ngun nasionalisme Indonesia yang kontekstual berarti bagaimana membaca dan menafsir teks Panca­sila itu berdasarkan konteks internal dan ekster­nal. Artinya, sebagai teks atau tenunan kehidupan, Pancasila harus bersifat aktual dan faktual. Sehingga, mampu berdialektika dengan situasi baru dengan teks narasi hidupnya yang baru pula.

Merujuk pada Paul Smith, kita dapat menga­takan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa, dengan segala kekayaan budayanya adalah sebuah teks atau tenunan. Teks Indonesia ini, terdiri dari rangkaian lembaran teks atau tenunan budaya suku-suku Nusantara, yang tentu dibaca dalam konteks yang berbeda-beda, sesuai tempat dan zaman. Pancasila, adalah teks dengan narasi besar yang menjadi jalan emas, jembatan, dan titik labuh dari semua teks dan konteks kehidupan setiap warga dan suku Indonesia yang multikultural dan berbhinneka: antara tradisional dan modern, antara sentral dan periferik, antara nasionalis, sekuler, dan religius, antara kanan dan kiri. Antara berbagai golongan, antara satu daerah dengan daerah lain, antara kini-sini dan akhirat, dll. Di sini, Pancasila adalah sari budaya-budaya Nusantara yang menjadi pilar budaya bangsa, dan menjadi sumber hukum untuk Negara. Secara eksternal, nasionalisme Indonesia yang kontekstual harus berhadapan dengan nasionalisme bangsa lain, dan, arus gerakan globalisasi yang terus bergulir. Sebagai sebuah teks, Indonesia harus mampu mentautkan dirinya dengan teks global sebagai satu keluarga umat manusia di bumi, yang menjadi rumah bersama ini. Di sini, tentu sekali lagi, teks Pancasila menjadi kunci hermeneutik untuk membedah dunia luar dengan konteksnya, dan, mungkin membiarkan dirinya untuk dibuka oleh teks dan konteks lain, dengan kunci hermeneutiknya masing-masing. Dengan itu, terjadi perjumpaan dan saling serap nilai hakiki yang membesarkan dan memperdalam teks kehidupan bersama, sebagai payung dan kanal dalam mengatasi masalah global.

Humanisme integral Ideologi Pancasila, yang bersifat dinamis sebagai tiang untuk membangun nasionalisme Indonesia yang kontekstual, harus bermuara pada penenunan humanisme atau pembangunan manusia dan kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan, harus ditautkan dengan banyak dimensi, teks, dan konteks yang menjadi ruang hidupnya yang selalu bersifat multipolar dan multikultural. Itu yang disebut humanisme integral. Demikian tulis seorang filsfuf Perancis, Jacques Maritain dalam bukunya Humanisme intégral (1936). Pancasila yang bersifat integralistik menjamin hal ini. Ia menjamin perwujudan diri manusia ideal yang menjadi cita-cita personal dan kolektif manusia Indonesia. Karena, ia mengendus sisi terdalam jadi diri manusia dan kemanusiaan integral dan universal.

Baca Juga: Belajar OnLine atau  GOYANG TIK TOK ??

Dalam perspetif Pancasila, humanisme integral ini nyata, dalam pandangan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multirelasional: sebagai makhluk religius (sila pertama), sebagai makhluk individu dan pribadi dalam dimensi sosial dan universalnya (sila kedua dan kelima). Lalu, sebagai makhluk sosial dalam dimensi politis, geografis, budaya, dan keadilan (sila ketiga, keempat, dan kelima). Sebagai makhluk ekologis (sila ketiga dan kelima), sebagai makhluk historis dalam lingkup sosial dan kultural (sila ketiga dan keempat). Di sini jelas, kita lihat pancarelasi manusia dengan dirinya, sesama, lingkungan hidup, sejarah, dan dengan Tuhan. Manusia tidak hanya dilihat dalam perspektif teoritis, konseptual, dan abstrak (makhluk berakal budi, makhluk peziarah, ciptaan Tuhan, dll). Tetapi, juga dalam perspektif yang konkrit (makhluk yang haus, lapar, sakit, dihina, dll.). Dengan itu, manusia Indonesia yang pancasilais bisa menjadi manusia yang produktif, generatif, inovatif, eksemplaris, dan kreatif. Hemerneutik yang dinamis Perwujudan Pancasila, sebagai ideologi dinamis yang menenun nasionalis­me kontekstual dan humanisme integral, ditentukan oleh penafsiran yang dinamis, kontekstual, dan integral. Hal itu, dilakukan paling kurang dengan dua cara. Pertama, sebagai teks, setiap sila berakar dan berbuah pada keempat sila lainnya.

Setiap sila menjadi kunci hermeneutik untuk menumbuhkem­bangkan keempat sila lainnya. Artinya, sila-sila itu dimengerti dalam satu-kesatuan, lima dalam satu, satu dalam lima:

ketuhanan yang berkemanusiaan, berkesatuan, bermusyawarah, dan berkeadilan sosial. Kemanusiaan yang berketu­hanan, berkesatuan, bermusyawarah, dan berkea­dilan sosial, dst. Selanjutnya, secara bersama, sila-sila Pancasila menjadi kunci hermeneutik untuk menafsir (kembali), seluruh keberadaan Indonesia dan dunia saat ini dalam berbagai dimensinya. Kedua, sifat Pancasila yang dinamis, kontekstual, dan integral sangat ditentukan oleh metode bagai­mana menginterpretasi Pancasila itu seluas, seda­lam, sebesar, dan setinggi mungkin. Sehingga, dia bisa menampung dan menjadi titik simpul, seluruh perbedaan budaya dan aspirasi politik yang secara faktual dan aktual terungkap dalam partai politik, organisasi kemasyarakat, maupun corak dan pola kehidupan umum masyarakat. Di pihak lain, dengan keluasan dan dinamika yang sama, dia mampu merekatkan dan membuka dirinya kepada gerakan bersama dengan aspirasi universal umat manusia.( Inosensius Sutam, Rohaniwan Katolik dan Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT)