KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata merdeka sebagai bebas atau tidak bergantung. Indonesia telah 77 tahun merdeka. Walaupun masih terdapat keku­ra­ngan, namun harus diakui negeri ini telah mengalami banyak kemajuan, utamanya dalam peningkatan pembangunan kualitas hidup manusia.

Menurut United Nations Development Program (UNDP) melalui laporan Human Development Report (HDR), angka pembangunan manusia Indonesia mencapai 71,94 pada 2020, atau tumbuh 0,1 dari tahun sebelumnya. Standar hidup layak setiap warga negara sebagai tolok ukur. Hal yang patut disyukuri, namun tidak untuk berpuas diri.

Pada dokumen Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur (Visi Emas 2045), Presiden Joko Widodo bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi. Salah satu upayanya dengan berfokus pada peningkatan investasi dan perdagangan, yang ditargetkan tumbuh sebesar 3,4% per tahun  sampai 2045.

Apabila ke depan hal tersebut benar-benar terwu­jud, di titik itulah bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang merdeka secara ekonomi. Seketika teringat kalimat yang pernah diucapkan Presiden Soekarno, sang proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, “Gantungkan cita-citamu se­tinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika Engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Menjadi negara berpendapatan tinggi tidaklah mudah, namun bukan hal yang mustahil untuk diwu­judkan. Semoga cita-cita itu benar-benar tergantung di langit, dan anak cucu kita pun dapat merasakan kemerdekaan ekonomi itu kelak.

Baca Juga: Tantangan Komunikasi Publik Membumikan Presidensi G-20 Indonesia

Menurut Scott Burchill dalam bukunya Theories of International Relations, berjalannya perekonomian dengan baik dan sistematis dapat mendorong individu di dalam sebuah negara untuk terus melakukan aktifitas ekonomi dan perdagangan.

Mencermati kondisi dalam negeri, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia mencatat pada 2021, volume perdagangan menembus nilai US$427,799 juta. Hingga Juni 2022 nilainya telah mencapai angka US$257,309 juta atau naik 36% dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Sinyal positif bagi perekonomian kita.

Mitra dagang utama

Namun jika dilihat dari sisi penggunaan mata uang dalam penyelesaian transaksi antar negara, harus diakui para agen ekonomi masih bergantung pada penggunaan mata uang global yaitu USD (dolar Amerika Serikat). Tanpa disadari hal ini secara tidak langsung menjadikan para pelaku ekonomi sangat bergantung pada mata uang tersebut, dan dapat berpotensi menjadi rentan terhadap global shock apabila terjadi volatility di Amerika Serikat.

Menurut Data Statistik dan Keuangan Indonesia 2021 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI), penggu­naan mata uang USD dalam pembayaran perdaga­ngan Indonesia sangat dominan mencapai 94% untuk ekspor, dan 93% untuk impor. Menjadi tantangan tersendiri mengingat mitra dagang utama Indonesia tenyata bukanlah Amerika, melainkan Tiongkok. Di sisi lain, dalam skala regional nilai transaksi perdagangan Indonesia dengan negara-negara kawasan seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia setiap tahun juga tumbuh cukup pesat.

Mata uang

Penulis mencoba mengilustrasikan, ketika seorang importir Tanah Air melakukan pembelian barang kepada eksportir asal negeri tirai bambu, dengan penyelesaian transaksinya menggunakan mata uang USD. Maka alur penukaran mata uang dari sisi importir terbagi beberapa tahapan, rupiah harus ditukarkan ke USD terlebih dahulu kemudian baru dikonversikan ke renminbi (RNB). Begitu juga sebaliknya jika eksportir luar ingin membeli barang dari Indonesia.

Hal inilah yang mendasari bank sentral untuk terus berupaya agar dapat mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang USD bagi para pelaku usaha, salah satunya dengan mendorong penyelesaian transaksi antar negara menggunakan local currency settlement (LCS) sejak 2018. Penggunaan mata uang lokal juga merupakan bagian dari mandat Presiden Jokowi dalam Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional terkait Covid-19.

LCS dapat diartikan sebagai sebuah metode penyelesaian transaksi dengan menggunakan dua mata uang antar negara yang terlibat dalam transaksi tersebut. Sejauh ini, BI sudah bekerja sama dengan empat negara mitra yang telah mencapai kesepakatan dalam penggunaan LCS pada setiap transaksi perdagangannya, yakni  Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok dengan bank appointed cross currency dealer (ACCD) sebagai perantaranya.

Pada prinsipnya sasaran dari LCS selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap USD, dan menekan biaya konversi akibat ketimpangan nilai tukar, juga berperan menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan di Tanah Air sekaligus mendorong pendalaman pasar keuangan, sehingga transaksi lebih efektif dan efisien. Dari sisi pelaku usaha, penggunaan LCS jelas lebih menguntungkan.

Namun sepertinya masih banyak agen ekonomi dalam negeri yang belum memanfaatkan LCS pada transaksi inter­na­sionalnya. Hal ter­sebut tecermin da­lam laporan yang dikeluarkan BI bah­wa penggu­naan LCS di 2021 hanya sebesar US$2,53 miliar atau 0,59% dari total transaksi per­da­gangan nasio­nal di tahun ter­sebut. Persentase minim tersebut ber­imbas pada be­lum cukup terasa­nya manfaat LCS sebagai instrumen stabilisasi nilai tukar rupiah.

Patut diper­tim­bangkan, selain kurangnya sosiali­sasi dari pihak pe­merintah serta be­lum adanya skema insentif bagi para pelaku usaha yang menggunakan LCS, fasilitas ini juga masih terbatas pada empat negara. Ditambah permasalahan threshold underlying (jumlah tertentu dalam kegiatan yang mendasari transaksi valuta asing terhadap rupiah maka diperlukan dokumen pendukung) yang dirasa cukup ketat sehingga tidak fleksibel.

Selanjutnya pemerintah, kementrian dan lembaga (K/L), pemerintah daerah dan dunia usaha dituntut untuk bersinergi lebih kuat dalam mengoptimalkan transaksi LCS. Sembari berupaya memperluas pengimplementasian LCS ke negara-negara mitra, sehingga para pelaku usaha dapat benar-benar merasakan kebebasan dan kemudahan membayar transaksi di negeri orang. Merdeka! Oleh: Yogo Prasetyo Pegawai Bank Indonesia Provinsi Gorontalo (*)