Suatu ketika penulis dikirimi sebuah status oleh salah seorang anggota keluarga berupa sebuah status dalam Whats App  yang berisi tentang sebuah adegan seorang anak yang ditanyai oleh seorang pria dewasa. Dialog yang terjadi adalah sbb : Pria menunjukkan sebuah gambar tentang ibu Kita Kartini dan Ibu mantan Presiden Megawati. Sang anak ditanya siapakah mereka, anak menjawab tidak tahu. Tetapi ketika ditunjukkan lambang Tik Tok ( yang seperti lambang sebuah nada), anak tsb langsung menjawab dengan sigap yaitu Tik Tok.

Ternyata Tik Tok sangat terkenal di kalangan anak anak, kaum muda, dewasa, bahkan sampai lansia. Tik Tok lebih terkenal daripada mengenal sejarah bangsa sendiri. Sampai dikatakan anak anak jaman now kondisi mereka sangatlah minim untuk menguasai pengetahuan umum, tetapi untuk hal hal yang berhubungan dengan media sosial, semuanya serba tahu.  Kondisi ini adalah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Kondisi ini dibuktikan dengan sikap para oang tua di jaman Covid ini yang kurang memperhatikan kondisi masa belajar anak anak mereka. Dari pagi sampai bahkan larut malam, sebagian besar anak di kota ini banyak memegang handphone tidak sebagai media belajar on–line, tetapi sebaliknya untuk bermain game, nonton you tube, bergoyang Tik Tok. Kalau anak anak kita memegang handphone yang android, maka dia bisa mengakses semua hal yang lagi trend. Termasuk tentang budaya Tik Tok yang lagi ngetop. Anak anak dibiarkan bebas sekitar 10–15 jam per harinya bermain handphone.

Lebih parahnya lagi, para orang tua kurang mem­perhatikan apakah anak anak mereka sudah mengikuti pelajaran sekolah dengan menggunakan media handphone sebagai sarana sekolah dengan sistem daring ? Apakah memegang handphone berarti mereka mengikuti pelajaran sekolah ? Bisa jadi ketika mereka memegang handphone, head set dipasang di telinga, faktanya layar handphone menunjukkan bukan materi pelajaran yang diikuti tetapi you tube yang terpampang, walaupun suara Ibu / Bapak guru terdengar melalui head set. Apakah hal ini merupakan fakta yang dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar secara daring ?

Semua kondisi ini dapat menjadi suatu bahan penelitian di lapangan yang cukup memprihatinkan kita semua khususnya dunia pendidikan ? Fakta menunjukkan sering kali anak anak kita berlaku seperti itu. Ada hal lain yang terjadi, yaitu para guru hanya menyuruh anak mengerjakan LKS halaman sekian sampai halaman ini, tanpa menerangkan materinya seperti apa. Kemudian tugas tsb dikumpulkan secara on line atau di bawa ke sekolah. Hal ini menjadi suatu pertanyaan besar. Apakah anak anak kita menguasai materi pelajaran ? Atau sebagian mengerjakannya dengan bantuan dari kakak, saudara, ibu bahkan you tube !! Apakah ini menjadi suatu bentuk pembodohan dunia pendidikan / kepraktisan sistem sekolah  selama masa covid terjadi ?

Baca Juga: Jalan Pilihan The Straits Times

Hal ini terbukti pada anak penulis yang kebetulan bersekolah pada salah satu sekolah swasta di kota ini, ketika guru hanya mengirim materi terus menerus pada beberapa minggu dalam sebulan, maka pihak sekolah akan memotong gajinya. Hal ini membuat para guru rajin mengajar secara on line dan meminta anak mengaktifkan kamera. Supaya kegiatan belajar mengajar dapat benar benar terlaksana dengan baik.                                                       Fakta lain membuktikan, para orang tua yang bersikap acuh, merasa bahwa itu tugas para guru. Sebaliknya para guru menganggap itu tugas orang tua di rumah, karena sekarang “Study from home” selama pandemi ini masih terjadi !!! Akhirnya, inilah yang terjadi. Ketika sebagian orang tua yang masih peduli dengan pendidikan anak mereka, maka anak anak itu akan belajar dari rumah dengan baik. Sebaliknya para orang tua yang acuh, maka anak kita tidak belajar dengan baik tetapi hanya bermain petak umpet, lompat karet, bermain game dengan handphone bagi sebagian anak cowok, dan bagi sebagian anak cewek goyang Tik Tok jauh lebih asyik dan menarik bahkan keren, Cool man !!!    Karena nonton goyang Tik Tok, mudah kan !! Tinggal lihat dan meniru tanpa banyak diharapkan suatu kreativitas di bidang tarian. Goyang kanan goyang kiri, pantat dan pinggul di senggol ke kanan dan ke kiri. Bahkan maaf, payudara ditampilkan lebih menonjol. Sampai pada kasus yang lebih ekstrim, terlihat unsur erotisme !!! Lebih mudah dan terkenal membuat kontent goyang Tik Tok, daripada menampilkan proses belajar secara on line.

Kalau mau viral, cukup membuat goyang Tik Tok yang heboh dan wah, maka kau terkenal seantero nusantara !! Bahkan belakangan ini banyak muncul kasus emak emak yang heboh dengan goyang Tik Tok !! Bahkan kasus yang lebih ekstrim sampai goyang Tik Tok di pinggiran jalan tol, akhirnya hal ini berujung pada urusan kepolisian. Ada juga konten yang menjadi permasalahan, yaitu seorang istri pemimpin melakukan goyang Tik Tok dan menjadi viral.                                 Apakah goyang Tik Tok itu sebegitu penting dan membuang sekian menit waktu kita per hari untuk menontonnya bahkan menjadi lebih lama 2—3 jam per harinya ?? Sampai budaya Tik Tok menjadi suatu trend baru bahkan suatu fenomena sosial yang baru. Lebih parahnya lagi, sebagian balita dan batita “dibiasakan” goyang untuk menjadi suatu bahan lelucon yang menyegarkan !! Semua hal ini mengacu pada proses  peng­abaian / santai dalam dunia pendidikan kita. Karena anak anak kita tidak diajak untuk berpikir kritis, tetapi hanya dunia imitatif yaitu meniru apa yang terlihat. Akhirnya suatu hal yang lumrah kalau anak kita melakukan goyang Tik Tok sebagai suatu hiburan yang menyenangkan. Anak kita kurang di dorong untuk rajin belajar, bagi yang balita mengenal huruf, kita mendongeng untuk mereka. Anak anak kita dari usia yang masih dini (bahkan di bawah usia 1 tahun) dibiasakan menonton film kartun dari handphone supaya dia lancar disuapi makanan, dalam arti tidak banyak berlari dan bergerak, bisa duduk diam.                                                                                                      Banyak para orang tua memilih anaknya diberi handphone, supaya tenang duduk bermain dengan handphone, dan para ibu dapat menyelesaikan urusan pekerjaan domestik dengan baik. Hal ini terjadi tanpa disadari bahwa anak anak sekarang akhirnya tidak suka melihat buku bergambar lagi, karena tidak menarik. Gambar tsb tidak bergerak, lebih menarik layar handphone yang menyajikan gambar bergerak dan bersuara. Sampai sekarang ini adalah sulit ditemukan seorang ibu yang mendongeng dan membacakan cerita sebelum putra putri mereka  terlelap tidur. Padahal proses mendongeng itu sangatlah efektif untuk mengembangkan dunia fantasi imajinasi bagi alam pikir anak anak kita terutama bagi balita dan batita. Bukan hanya itu, ketika proses mendongeng terjadi maka terciptalah suatu relasi emosional yang lebih dekat antara seorang ibu dengan anaknya lewat usapan, sentuhan,dan belaian maka terbentuklah juga suatu komunikasi tanya jawab di antara mereka. Disinilah awal proses pendidikan dari seorang ibu yang menjadi seorang guru yang pertama bagi putra putri mereka. Kondisi ini dianggap sudah bukan jaman lagi bagi anak anak kita yang lahir pada abad milenial untuk membaca dan melihat cerita dari buku yang bergambar. Lebih parahnya lagi hal ini akan terus berdampak bagi anak anak kita ketika mereka bertumbuh besar menjadi seorang siswa dan mahasiswa. Budaya imitatif / meniru terbawa ketika mereka menjadi seorang mahasiswa yaitu budaya Copy dan Paste. Yaitu meng-copi tugas teman dan di Paste kemudian diprint menjadi tugas mereka. Apakah hal ini termasuk dalam suatu proses pembodohan dunia pendidikan         kita ?? . Semua kondisi yang memprihatinkan ini menjadi suatu homework yang besar bagi kita semua para guru dan orang tua. Kondisi keprihatinan dalam dunia pendidikan sudah menjadi benang ruwet yang tak berujung pangkal. Tidak dapat menyalahkan para orang tua yang sudah berpendapat bahwa dunia pendidikan itu urusan para pendidik yaitu para guru di sekolah. Kalau sebelum pandemi, mereka sudah terbiasa seperti itu, tetapi di masa pandemi, proses pendidikan sudah harus kembali terpusatkan dari para orang tua dan dilaksanakan dari dalam rumah.                                         Terdapat berbagai alasan, mengapa para orang tua enggan mengontrol anak anak untuk belajar ? Pertama sebagian orang tua yang bekerja, para suami istri sudah cukup lelah ketika sore hari pulang dari kantor.  Kedua, bagi orang tua yang  suaminya pergi bekerja, sedangkan ibu bertugas sebagai ibu rumah tangga, mereka sudah cukup lelah mengerjakan pekerjaan dan urusan domestik (rumah tangga). Ketiga, keluarga yang hidup bersama kakek dan nenek, apakah mungkin proses pembelajaran di serahkan kepada para lansia. Daya ingat dan ketahanan fisik mereka menurun, sepertinya tidaklah mungkin hal ini di serahkan kepada para lansia tsb. Lalu kepada siapakah proses pembelajaran di serahkan ? Bagi sebagian orang tua yang berpenghasilan lebih dari cukup, mereka memanggil keponakan, kerabat untuk menemani anak anak mereka belajar, bahkan memanggil guru les untuk melakukan hal itu.                                                                                        Lalu bagaimana dengan kemampuan mereka yang ekonominya pas pasan. Lebih menyenangkan bagi sebagian ibu ibu untuk duduk, mengobrol sambil menjaga sang adik, daripada menemani atau mengarahkan para kakak untuk belajar. Akhirnya, masa setahun selama pandemi masih berlangsung sampai saat ini. Tetapi situasi dunia pendidikan tidak berubah dari awal Maret  tahun ini sampai saat sekarang. Ujian kenaikan kelas dan kenaikan tingkat dapat dilaksanakan tanpa meminta anak anak tsb belajar. Kemudian kelulusan dinyatakan 100 % berhasil lulus tanpa belajar. Akhirnya, anak anak kita pun berpikir, tanpa belajar, saya bisa naik kelas dan lulus. Jadi untuk apa belajar ?? Lebih baik bermain sepanjang hari, goyang Tik Tok aja. Karena menjadi keren itu gampang. Bukan juara kelas yang menjadi keren, bukan menjadi anak yang pintar yang keren,  tetapi siapa yang membuat konten bagus ditonton banyak orang mendapatkan subscribe sampai ratusan follower. Itu jelas yang lebih keren, dan cool man !!!. Budaya Tik Tok bukan hanya menjadi suatu trending topik baru dalam media sosial, bahkan sampai pada iklan games dalam handphone terdapat goyang Tik Tok. Lebih jauh lagi Tik Tok menjadi suatu budaya baru di abad milenial. Akhirnya, semua hal ini bermuara pada azas kemudahan daripada jerih lelah perjuangan, karena goyang Tik Tok tidak dituntut proses belajar yang memakan waktu dan energi, sebaliknya melalui goyang Tik Tok hanya membutuhkan sedikit belajar meniru gerakan goyang pantat, pinggul ke kanan dan ke kiri, tangan, kepala dan leher bergerak ke sana ke mari. Selesai latihan goyang Tik Tok, direkam dan dikirim. Menjadi viral sudah. Maka terkenal kita karena sudah menjadi artis dadakan dan bersifat lokal. Semudah itukah proses menjadi terkenal.    Begitu praktis kah proses seseorang untuk menjadi keren dan top. Kalau ada jalan yang lebih praktis dan mudah. Mengapa kita harus berjerih lelah belajar dengan tekun untuk menjadi juara kelas, menguasai ilmu, dsb. Mentalitas yang terbentuk adalah suatu mentalitas gampangan alias mudah aja, slow, woles dan santai bro !!!! Bukan hanya sekedar terbentuknya mentalitas baru tetapi tercipta suatu budaya baru yaitu budaya Tik Tok. Apakah anda para pembaca setuju dengan pendapat saya yang tertuang lewat judul : Budaya Tik Tok, kerenkah ? Kalau anda tidak setuju, marilah hai basudara, kita sisingkan lengan baju dan bergandengan tangan untuk “menyelamatkan” generasi muda kita. Supaya mereka tidak menjadi generasi Tik Tok, tetapi menjadi generasi  muda Indonesia yang berhati nurani, berbudi luhur, berotak cerdas, berperilaku dan bertutur kata yang santun. Amin.( Debora Harsono Loppies. M.Pd. Dosen FAKES—UKIM–. Alumni Univ. Negri Malang Jatim dan  Univ. Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogya.)