AMBON, Siwalimanews – Oknum anggota DPRD, ang­gota BPK dan oknum inspek­torat Kabupaten Kepulauan Tanimbar, disebut ikut menik­mati uang hasil korupai SPPD fiktif.

Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (20/11), kembali menggelar sidang dugaan korupsi surat perintah per­jalanan dinas fiktif di Badan Penge­lolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Kabupaten Kepulauan Tanimbar tahun 2020.

Dalam sidang beragendakan peme­rik­saan saksi yang dipimpin Harris Tewa,  jaksa penuntut umum Achamd Atamimi menghadirkan 20 saksi yang berasal dari ASN pada BPKAD KKT.

Dalam persidangan itu, para saksi selain mengaku ada tindakan mark up perjalanan dinas yang dibikin fiktif, tetapi juga ada oknum-oknum DPRD KKT, inspektorat hingga BPK Per­wakilan Maluku yang juga menerima uang SPPD tersebut.

Saksi Friska Magdalena Siman­juntak mengaku, dirinya hanya melaksanakan perjalanan dinas tiga kali, tetapi dibuat fiktif sebanyak 23 kali sehingga totalnya menjadi 26 perjalanan dinas.

Baca Juga: 1,5 M Raib, OJK Periksa Bank Maluku

Selain itu, uang perjalanan dinas yang diterimanya bervariasi dari kecamatan yang terdekat misalnya Tanimbar Selatan sebesar Rp1 juta, sedangkan kecamatan terjauh Molu-Moru Rp4 juta lebih.

“Saya hanya tiga kali melakukan perjalanan dinas, untuk 23 lainnya saya hanya tanda tangan tetapi tidak pernah menerima uang dari ke-23 perjalanan tersebut,” katanya.

Saksi menegaskan, jika tanda tangan yang dilakukannya atas perintah Klementina Oratmangun yang juga diperintahkan langsung oleh Kepala BPKAD Jonas Batla­yeri.

Sementara itu, saksi Albian Touwelly mengakui, ada sejumlah pejabat yang terima uang hasil kebijakan dari SPPD fiktif,  bahkan BPK disebut terima 350 juta melalui Kepala Inspektorat Tanimbar, JH.

“Dapat saya jelaskan bahwa saya pernah mengantarkan uang di tahun 2020 itu kepada sejumlah anggota DPRD Seperti NL, WL, IZ, dan MA. Untuk nilainya saya tidak tahu sebab saya hanya disuruh antar,” ujarnya.

Dia kembali ungkap, Mantan Ketua DPRD, juga pernah diantar tetapi bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk barang yakni, satu Pick Up berisikan Semen.

Dikatakan, selain anggota DPRD, Kepala Inspektorat juga sebagai perantara menerima uang untuk diberikan kepada BPK Wilayah Maluku.

“Sama halnya dengan anggota DPRD, Kepala Inspektorat, JH juga menerima uang untuk diberikan kepada BPK, tetapi saya tidak tahu jumlahnya,” ujarnya.

Sementara itu, Mantan Kepala BPKAD, Jonas Batlayeri mengaku memberikan uang 350 juta kepada Kepala Inspektorat JH.

“Izin, dapat saya jelaskan melengkapi keterangan Touwelly bahwa benar, saya yang menyuruh saksi untuk menyerahkan uang kepada Kepala BPK melalui Kepala Inspektorat Tanimbar JH senilai 350 juta, karena waktu itu perwakilan BPK bersama pak Kepala Inspek­torat bertemu di ruangan saya, dan meminta uang itu dan hari itu juga saya cairkan, dan menyuruh saksi Albian Touwelly untuk mengan­tarkan nya. Semua uang ini berkat kebijakan dari SPPD ini, “ kata Batlayeri.

Sama halnya dengan Jonas, Mantan Sekretaris BPKAD Maria Goretti Batla­yeri juga mengaku, memberikan se­jumlah uang kepada Ketua Komisi B, AL

“Dapat saya jelaskan bahwa saya pernah mengantarkan sejumlah uang kepada anggota DPRD yaitu AL, di rumahnya di Olilit. Ketika antar, saya, Ibu Atua, Pa Albian Touwelly, Mantan Kabid Almarhum Rico Bwariat dan sopirnya,” Kata Maria Goretti namun tak menying­gung soal nilai uang yang dian­taranya.

Dia juga memperkuat pernyataan Albian Touwelly bahwa mereka bersama mengantarkan semen kepada mantan Ketua DPRD KKT.

“Iya benar kami bersama yang mengantarkan semen itu kepada mantan Ketua DPRD, JB,” Tandas­nya

Usai mendengarkan keterangan saksi-saksi, Harris Tewa sebelum menutup persidangan meminta terima kasih kepada para saksi dan terdakwa yang sudah buka bukaan di ruang sidang.

Dirinya juga memerintahkan pihak JPU untuk menghadirkan para pejabat yang menerima uang dari kebijakan SPPD Fiktif BPKAD KKT ini. “Hadirkan mereka dalam persidangan pekan depan,” perintah hakim.

Beberkan Peran

Diberitakan sebelumnya, JPU Kejari Tanimbar, Stendo B Sitania, mengungkapkan peran enam terdakwa yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi anggaran perjalan dinas pada BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (11/10).

Enam pejabat BPKAD Kabupaten Kepulauan Tanimbar  tersebut yaitu, Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malirmasele Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang,Bendahara BPKAD tahun 2020.

Persidangan tersebut dipimpin majelis hakim yang diketuai Harris Tewa didampingi dua hakim ang­gota, Wilson Shriver dan Antonius Sampe Samine. Sementara para terdakwa didampingi kuasa hukum­nya Anthony Hatane Cs.

Jaksa Penuntut Umum Kejari Tanimbar Stendo B. Sitania dalam dakwaannya menjelaskan, tindak pidana yang dilakukan para ter­dakwa terjadi pada awal Januari sampai Desember 2020.

Saat itu anggaran perjalanan dinas sebesar Rp9 miliar lebih dikelola para terdakwa untuk membiayai  perja­lanan dinas dalam daerah maupun di  luar daerah.

Namun, atas perintah pimpinan anggaran itu digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya atas perbuatan 6 terdakwa itu, negara mengalami kerugian keuang­an negara sebesar Rp.6.682.072.402.

Dari nilai kerugian tersebut ternyata ada nama anggota Komisi B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang menerima uang sebesar 450 juta, dan beberapa anggota DPRD yang tak disebutkan namanya menerima sejumlah uang dan pihak lainnya.

Kata JPU, saat dilakukan pem­bahasan APBD Perubahan 2020 di bulan November 2020, terjadi deadlock belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Perubahan yang diajukan oleh pemerintah daerah.

Beberapa hari kemudian, Saksi AL, salah satu anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar datang menemui terdakwa Jonas Batlayeri di Kantor BPKAD dan saat itu saksi menjelaskan bahwa kapasitas sebagai perwakilan anggota DPRD Kabupaten Kepu­lauan Tanimbar menyampaikan “Jika ingin APBD Perubahan 2020 segera ditetapkan maka diminta untuk menyiapkan uang sejumlah Rp400.000.000 dan saat itu karena dana yang tersedia hanya Rp200.000.000.”

Terdakwa kemudian menyampai­kan kalau permintaannya sebesar itu tidak mampu dipenuhi, akhirnya saksi mau dan sepakat dengan Rp200.000.000 tersebut.

Selanjutnya, terdakwa berkon­sultasi dengan sekda dan setelah mendapat persetujuan untuk me­nyerahkan dana tersebut, kemudian terdakwa mengarahkan sekretaris untuk menyerahkan uang Rp200.000.­000 tersebut kepada saksi AL dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediamanan saksi di Desa Olilit Saumlaki.

Kemudian sekitar bulan Desember 2020, saat itu terjadi deadlock/belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Induk 2021 yang diajukan oleh Pemkab KKT, beberapa hari kemudian, saksi menemui terdakwa kembali di Kantor BPKAD dan menjelaskan bahwa kapasitas sebagai perwakilan anggota DPRD KKT.

Saksi menyampaikan jika ingin APBD Induk 2021 segera ditetapkan maka saksi meminta untuk menyiap­kan uang sejumlah Rp250.000.000 dan atas permintaan tersebut terdakwa menyetujuinya.

Selanjutnya, terdakwa meng­arahkan sekretaris yakni Maria Gorety Batlayeri untuk menye­rahkan uang Rp250.000.000 tersebut kepada saksi dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediaman saksi di Desa Olilit Saumlaki.

Uang sejumlah Rp450.000.000 tersebut seluruhnya diambil dari anggaran kegiatan perjalanan dinas pada BPKAD Tahun Anggaran 2020 yang bersumber dari anggaran perjalanan dinas yang dikelola oleh sekretaris dan masing-masing bidang, yang dalam teknik pengumpulannya dikoordinir langsung oleh Saksi Maria Goretty selaku sekretaris dan saksi Kristina Sermatang selaku bendahara pengeluaran berdasarkan arahan terdakwa selaku Kepala Badan.

Selain itu sebagian anggota DPRD yang tak disebutkan nama nama mereka juga menerima sejumlah uang sekitar 195 juta dan pihak lainya.

Terhadap hal itu, JPU menjerat para terdakwa dengan  dakwaan primair, pasal  2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Serta dakwaan subsider, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Usai membacakan dakwaan, hakim ketua dengan tegas dan lantang meminta para  terdakwa agar buka-bukaan menyangkut soal aliran dana kepada pihak-pihak yang diduga  terlibat dalam menikmati anggaran tersebut.

“Saya ingatkan kepada para terdakwa ya, kalian harus buka-bukaan. Ada anggota DPRD terima Rp200 juta ya. Saya minta kalian harus buka di sini, kalau tidak kalian salah orang. Saya ingatkan itu. Kalian ini sudah tergelincir sebenarnya. Tapi tidak apa-apa, buka saja lah. Mau bupati terima atau sapa terima uang, buka saja, kalau kalian tidak buka kalian salah orang,” tandas ketua majelis hakim.

Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim kemudian menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda eksepsi/keberatan dakwaan JPU dari kuasa hukum terdakwa. (S-26)