AMBON, Siwalimanews – Langkah Gubernur Maluku Murad Ismail mengajukan gugatan uji materi UU Pilkada dinilai sebagai langkah tidak tepat dan membangkang dari regulasi negara.

Murad Ismail didesak agar legowo menerima Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke­tim­bang melakukan upaya hu­kum.

Pengamat Kebijakan Pu­blik, Nataniel Elake kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (20/11) menjelaskan, gugatan yang diajukan ke Mahkamah Kons­titusi merupakan hak konstitusionalnya yang tidak bisa dibatasi oleh siapapun.

Namun dari segi etika, mestinya permohonan uji materi UU Pilkada tersebut tidak perlu lagi dilakukan Murad Ismail.

“Memang itu hak konsti­tusionalnya tidak ada yang bisa membatasi, tapi mes­tinya gubernur tidak perlu lakukan itu karena selain diatur dalam UU tapi sudah permohonan itu pernah digugat ke MK dan ditolak,” ujar Elake.

Baca Juga: Uang BI Bobol, Pengawasan Internal BPDM Lemah

Menurutnya, UU Pilkada tersebut lahir pada tahun 2016 dan mestinya digugat sejak awal pemerintahan Murad Ismail bukan dipenghujung pemerintahan Gubernur yang akan berakhir pada 31 Desember mendatang.

Apalagi, jika dilihat pengantar yang disampaikan Ketua Mah­kamah Konstitusi Suhartoyo saat sidang pendahuluan maka gu­gatan tersebut berpotensi ditolak.

Gubernur kata Elake, semes­tinya fokus untuk menyiapkan laporan pertanggungjawaban selama lima tahun ini termasuk membenahi kekurangan dan persoalan penataan birokrasi yang masih dijabat sejumlah Plt dan Plh.

“Gubernur jangan lagi berharap sampai bulan April sebab akan selesai 31 Desember sebab fakta yang ada sudah tidak mungkin, jadi energi positif itu lebih baik digunakan untuk memperbaiki kekurangan dalam kurung se bulan ini,” tegasnya.

Selain itu, dari gugatan yang diajukan menunjukkan adanya keinginan Gubernur untuk tepat berkuasa hingga April termasuk kepentingan untuk meng­amankan pileg 2024.

“Gubernur itu harus legowo dan tegakan aturan itu saja dari pada sibuk untuk mempertahankan kekuasaan karena itu tidak mungkin lagi,” cetusnya.

Argumentasi Harus Kuat

Argumentasi yang disiapkan Gubernur Maluku, Murad Ismail, harus kuat dan dapat meyakinkan hakim Mahkamah Konstitusi.

Demikian dikatakan pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada Siwalima, Minggu (19/11), menanggapi gugatan yang diajukan Murad Ismail ke MK.

Murad menempuh langkah hukum ke MK, lantaran tak terima diberhentikan 31 Desember 2023.

Selain Murad, sejumlah kepala daerah juga melakukan hal yang sama, seperti, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wali­kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dedi A Rahim Wakil Walikota Bogor, Marthen Taha Walikota Gorontalo, Hendri Septa Walikota Padang dan Walikota Tarakan Chairul.

Menurut Margorito, Murad memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke MK terkait dengan akhir masa jabatannya, namun agar gugatannya diterima, maka itu sangat tergantung ahli-ahli yang diajukan dalam persidangan.

“Ini hak gubernur, selagi orang merasa kerugian maka menjadi dasar orang mengajukan per­mohonan. Apakah dikabulkan atau tidak, itu sangat tergantung dari seberapa bagus argumentasi yang dipakai oleh permohonan. Dan seberapa bagus ahli-ahli yang diajukan oleh pemohon itu dida­lam persidangan, dan berhasil meyakinkan hakim konstitusi,” ungkap Margarito.

Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Khairun ini menilai, gugatan yang diajukan MI ke MK sudah agak terlambat, dan apakah MK akan menolak atau menerima itu juga tergantung.

Kata dia, sekarang masalahnya adalah bagaimana konstruksi hukum dari gubernur sebagai pemohon agar alasan itu layak dan diterima oleh MK. Jadi sangat tergantung dari bagaimana me­rumuskan kerugian konstitusional akibat dari pembatasan masa jabatan itu.

“Dari awal saya sudah sampai­kan permohonan itu diajukan ke MK, karena menurut saya ada, kebijakan dalam perundang-undangan itu bertentangan dengan UUD 1945.

Dan sudah dari awal saya sudah mengajukan termasuk kepada beliau untuk mengajukan permohonan itu, dan menurut saya permohonan ini masuk agak sedikit terlambat,” ujarnya.

Dia menilai, kebijakan pemba­tasan masa jabatan gubernur itu kebijakan itu bertentangan dengan UUD.

Untuk diketahui, gugatan yang diajukan Murad Cs sama seperti gugatan sebelumnya yang pernah diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara dalam perkara No 18/PPU-XX/2022.

Dalam pertimbangan hakim Konstitusi Saldi Isra pada Rabu, 20 April 2022 lalu mengatakan, kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016 tentang UU Pilkada bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.

Pemotongan masa jabatan menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi peme­nuhannya oleh negara berdasar­kan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional.

Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil  pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.

Undang-undang telah menganti­sipasi secara jelas terhadap pihak yang terkena dampak pengu­rang­an masa jabatan kepala daerah pun telah diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kepala daerah yang berkurang masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015).

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Apakah keputusan MK dalam putusan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera akan sama juga terhadap gugatan yang diajukan Gubernur Maluku, Murad Ismail Cs ataukah tidak, lanjut Marga­rito bisa MK memutuskan sama dengan keputusan sebelumnya, tetapi itu juga tergantung kons­truksi hukum yang disampaikan Gubernur Maluku.

“Ada apa reasoning/pemikiran dari transisi itu, apa konstitusinya negara mengambil kebijakan itu. Dan ini yang harus disajikan oleh pemohon dalam permohonannya dan ahlinya dalam persidangan nanti,” paparnya.

Ditanya soal kebijakan negara untuk membayarkan hak-hak gubernur sampai April 2024, me­nurutnya, justru disitu masalah­nya, karena orang menjadi bupati, orang menjadi walikota bukan soal isi materi itu.

“Ada soal lain yang diperoleh bukan dari status itu, soal inikan tidak dipertimbangkan, seolah-olah menjadi gubernur itu karena gaji. Tetapi misalnya soal repu­tasi sosial dan lain-lain,” tuturnya,

Walau demikian, lanjutnya, apakah kuasa hukum dapat menyajikan reasoning yang layak dari segi konstitusi ataukah tidak. Dan seberapa jauh argumentasi yang diajukan oleh pemohon/ahli meyakinkan hakim ataukah tidak.

Tetap ini gugatan ke MK merupakan hak gubernur yang harus dihormati, mungkin saja yang dicari bukan soal hak itu, tetapi ingin membuktikan bahwa bernegara, menggunakan kons­titusi yang benar. Dan ini mungkin motivasi agar negara ini betul-betul menjalankan hukum secara masuk akal.

Gugat ke MK

Sebagaimana diberitakan, Murad tak terima diberhentikan 31 Desember dan menempuh langkah hukum ke MK.

Tercatat sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah juga ikut beraama  Murad, seperti, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dedi A Rahim Wakil Walikota Bogor, Marthen Taha Walikota Gorontalo, Hendri Septa Walikota Padang dan Walikota Tarakan Chairul.

Sejatinya, masa jabatan Murad-Orno akan berakhir pada 24 April 2024. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018, tanggal 28 September 2018.

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, menegaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018, menjabat sampai dengan Tahun 2023. (S-20)