AMBON, Siwalimanews – Rekayasa kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk pembangu­nan proyek PLTMG Namlea sema­kin nyata, tatkala Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Maluku meng­hadirkan Ahli BPKP pada sidang lanjutan kasus tersebut dengan terdakwa Fery Tanaya.

Dalam keterangan ahli BPKP, Erwahyudi disebutkan kalau per­hitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP terhadap dugaan korupsi pengadaan lahan untuk proyek PLTMG berdasarkan ke­terangan ahli dari Fakultas Hukum Unpatti, Jane Matuankotta yang menyatakan lahan milik Fery Tanaya adalah milik negara alias bekas hak barat atau erpack.

“Majelis hakim, saya meng­hitung kerugian negara berda­sarkan keterangan ahli hukum  Unpatti, Jane Matuankotta bah­wa lahan Fery Tanaya itu milik negara,” beber Erwahyudi ke­pada hakim di Pengadilan Tipikor Ambon, Jumat (2/7)..

Erwahyudi juga mengakui  diajak penyidik Kejati Maluku ke BPN Maluku untuk melakukan verfikasi data-data, padahal seharusnya se­bagai ahli BPKP Erwahyudi mesti­nya  klarfikasi juga bersama-sama dengan pihak Fery Tanaya.

Akibat keterangan Erwahyudi ini hakim murka.  Tak hanya hakim tim penasehat hukum terdakwa Abdul Gafur Laitupa juga naik pitam sehingga terjadi perdebatan sengit antara tim pengacara  Laitupa de­ngan JPU.

Baca Juga: Mangkrak, Proyek Air Bersih Haruku Harus Diusut

Untuk tidak terjadi perdebatan yang panjang, ketua majelis hakim, Pasti Tarigan langsung menegur jaksa karena menghadirkan ahli BP­KP yang tidak menguasai persoalan.

“Ini soal nasib orang yang sau­dara dakwa,” pinta Tarigan.

Ahli BPKP Erwahyudi tidak bisa berbuat banyak di ruang sidang, sebab keterangannya sebagai ahli perhitungan kerugian.negara hanya berdasarkan keterangan dosen Fa­kultas Hukum Unpatti kalau lahan Fery itu lahan milik negara.

Sementara itu sidang tidak hanya mendengarkan keterangan ahli BP­KP, melainkan keterangan terdakwa Fery Tanaya dan Abdul Gafur Lai­tupa.

Dalam keterangannya diketahui  saat penyidik kejaksaan memanggil Fery Tanaya untuk diperiksa di Kantor Kejati, bukannya jaksa yang memeriksa Fery melaimkan Erwah­yudi dari BPKP.

Saat diperiksa, Erwahyudi mena­kut-nakuti Fery dengan mengatakan kalau Fery Tanaya akan masuk pen­jara karena lahannya itu milik negara.

Mendengarkan keterangan Fery, hakim Pasti Tarigan lagi-lagi meng­konfirmasikan ke JPU.

“Saudara jaksa ya, itu kenapa saudara memanggil terdakwa untuk diperiksa di kantor saudara, kok yang memeriksa ahli BPKP. Jangan begitu ya, apakah ini bagian dari upa­ya menakut-nakuti terdakwa. Kasus Fery Tanaya ini aneh ini ya. Panggil terdakwa untuk diperiksa, kok malah BPKP yang periksa yang bersangkutan,” tandas hakim.

Usai mendengar keterangam Fery Tanaya dan Ahli BPKP, Erwahyudi, hakim kemudian menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda tuntutan JPU.

Hakim Cecar Matuankotta

Sebelumnya diberitakan, Kejati Maluku akhirnya harus gigit jari. Ahli Jane  Matuankotta dari Fakultas Hukum Unpatti yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum menegaskan, lahan yang diperuntukan bagi pem­bangunan proyek strategis nasional yakni pembangunan PLTMG di Namlea bukan tanah milik negara.

Meski begitu Matuankotta saat menjawab pertanyaan JPU berpen­dapat lain kalau lahan itu status lahan bekas erpacht.

Pernyataan Matuankotta inilah yang membuat Pasti Tarigan selaku hakim ketua meragukan keahlian Matuankotta.

Hakim Pasti Tarigan bahkan me­nyatakan kalau ahli Jane Matuan­kotta terhadap pertanyaan JPU  jawaban lain alias berbeda dengan pertanyaan penasehat hukum ter­dak­wa Fery Tanaya.

Kalau jaksa menanyakan status lahan tersebut, Matuankotta mene­gaskan itu bekas erpacht yang di­kuasai negara.

Tapi kalau Penasehat Hukum me­nanyakan status lahan itu Matuan­kotta juga menegaskan bukan lahan milik negara.

Hal ini tentu  bertolak belakang de­ngan penetapan Fery Tanaya se­bagai tersangka dalam kasus peng­adaan lahan untuk pembangunan proyek PLTMG Namlea di Kabu­paten Buru itu

Kejati Maluku menetapkan Fery Tanaya sebagai tersangka dengan tuduhan lahan milik Fery yang dijual ke PLN itu tanah milik negara.

“Saudara ahli, pernyataan saudara soal status lahan di Namlea ini berbeda-beda. Kepada JPU saudara ngomong lain, kepada penasehat hukum saudara juga ngomong lain.

Bagaimana ini penguasaan sau­dara sebagai ahli terhadap Kepres Nomor 32 tahun 1979 tentang Po­kok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Ba­rat,” kata hakim kepada Matuan­kotta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon, Jumat (25/6).

Terhadap pemegang hak tanah yang tidak dikonversi, negara me­ngakui hak-hak keperdataan dari yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Kepres Nomor 32 Tahun 1979 itu.

Penasehat Hukum Fery Tanaya Henry Yosodiningrat mencecar Matuankotta mengenai penguasaan ahli terhadap Kepres Nomor 32 Tahun 1979, dimana pertanyaan Hen­dry apakah lahan Tanaya di Namlea itu tanah milik negara.

Mendengar pertanyaan tak ter­duga itu, Matuankotta sempat diam, namun dengan keahliannya, Ma­tuan­kotta mengaku kalau sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tanah tersebut bukan milik negara.

Sebagaimana diketahui, Keppres Nomor 32 Tahun 1979 memuat de­lapan pasal. Dimana pasal 1 me­ngatakan,  ayat (1); Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Asal Konversi Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980 sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak, yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Ayat (2) ; Tanah-tanah tersebut ayat (1) ditata kembali penggunaan penguasaan dan pemilikannya de­ngan memperhatikan a) masalah tata guna tanahnya,  b) sumber daya alam dan lingkungan hidup, c) keadaan kebun dan penduduknya, d) ren­cana pembangunan di daerah dan  e) kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah ataubpenghuni bangunan.

Pasal 2 ; kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan me­ngusahakan atau menggunakan sendiri tanah atau bangunan,  akan diberikan hak baru atas tanahnya. Kecuali tanah-tanah tersebut diper­lukan untuk proyek-proyek pemba­ngunan bagi penyelenggaraan ke­pentingan umum.

Pasal 3;  kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena  tanahnya diperlukan untuk pro­yek pembangunan, akan diberi­kan ganti rugi yang besarannya akan ditetapkan oleh suatu panitia penaksir.

Pasal 4; tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat, yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dari keselamatan lingkungan hidup, lebih tepat diperuntukan untuk per­mukiman atau kegiatan usaha per­tanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.

Pasal 5; tanah-tanah perkam­pungan bekas hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkam­pungan atau diduduki rakyat, akan dierikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipe­nuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan be­kas pemegang hak tanah.

Pasal 6; hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai asal konversi barat yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, perusahaan daerah serta badan-badan negara diberi pembaruan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperha­tikan ketentuan tersebut pasal 1.

Pasal 7; masalah-masalah yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijaksanaan yang digariskan berdasarkan Keputusan Presiden  ini, diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan mendengar menteri-menteri yang bersangkutan.

Pasal 8; Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dite­-tapkan. Ditetapkan di Jakarta: pa­-da tanggal 8 Agustus 1979. (S-32)