TELAH dilakukan sebuah penelitian yang membandingkan efek beberapa jenis pengobatan untuk penyakit Coronavirus disease 2019 (covid-19). Penelitian yang dipimpin Dr Reed Siemieniuk dari McMaster University Canada tersebut menggunakan sumber data dari database covid-19 WHO dan sumber lain dalam berbagai bahasa yang komprehensif terkait covid-19. Apa yang menarik? Penelitian yang berjudul Drug treatments for covid-19: living systematic review and network meta-analysis version dapat diakses pada link: https://www.who.int/publications/i/item/therapeutics- and-covid-19-living-guideline, yang diterbitkan pada 20 November 2020. Meskipun upaya global untuk mengidentifikasi intervensi yang efektif untuk pencegahan dan pengobatan covid-19 yang telah dihasilkan dari 2.400 uji klinis telah selesai atau sedang berlangsung, tetapi bukti untuk pengobatan yang efektif masih terbatas.

Para dokter di seluruh dunia sering kali terpaksa meresepkan obat di luar kemanfaatan utama (prescribing drugs off-label), yang hanya memiliki bukti dengan kualitas sangat rendah. Para dokter juga menghadapi tantangan untuk menafsirkan hasil uji klinis yang sedang dilakukan atau telah dipublikasikan pada tingkat yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini perlu untuk menghasilkan ringkasan sementara yang mampu untuk membedakan bukti yang dapat dipercaya dengan bukti lain yang kurang dapat dipercaya.

Data diambil sampai Senin, 27 Oktober 2020, termasuk enam basis data penelitian berbahasa Tiongkok. Dalam uji klinis yang menggunakan subjek pasien terduga (suspek) dan covid-19 yang telah dikonfirmasi, kemudian diacak untuk dibedakan dalam kelompok pengobatan baru atau plasebo, dengan mendapatkan perawatan standar. Dalam metaanalisis, dengan menggunakan modifikasi risiko Cochrane bias 2.0 dan kekuatan bukti klinis, dinilai menggunakan the grading of recommendations assessment, development and evaluatio (GRADE).

Untuk setiap hasil, intervensi medis diklasifikasikan dalam kelompok dari yang paling bermanfaat hingga yang paling tidak menguntungkan atau berbahaya, mengikuti GRADE. Dari 85 uji klinis yang dihimpun, terdapat 41.669 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Dari 50 (58,8%) uji klinis diperoleh 25.081 (60,2%) pasien. Sebanyak 75 uji klinis terkontrol secara acak memenuhi syarat untuk dilakukan analisis pada 21 Oktober 2020 dan 43 (50,6%) uji klinis ini memenuhi ambang batas minimal untuk dianalisis.

Jika dibandingkan dengan pengobatan standar, pemberian obat dexamethasone, sebuah kortikosteroid, mungkin mengurangi kematian (perbedaan risiko 17 lebih sedikit per 1.000 pasien dengan interval kepercayaan 95%), menurunkan penggunaan alat ventilasi mekanis (29 lebih sedikit per 1.000 pasien), dan, memotong hari bebas dari bantuan alat bantu napas mekanis (2,6 lebih sedikit). Tidak pasti Dampak penggunaan obat antivirus remdesivir pada tingkat kematian, penggunaan alat ventilasi mekanis, lama rawat inap, dan durasi gejala klinis ialah tidak pasti (uncertain) lebih baik. Namun demikian, sedikit meningkatkan (it probably does not substantially increase) efek samping obat yang berat, yang menyebabkan penghentian obat. Obat lainnya, seperti azitromisin, hydroxychloroquine, lopinavir dan ritonavir, interferon beta, dan tocilizumab, semuanya mungkin tidak mengurangi risiko kematian atau berpengaruh pada hasil klinis yang penting lainnya.

Baca Juga: Vaksin Covid-19 Aman dan Efektif Untuk Masyarakat

Efek buruk untuk semua intervensi lainnya rendah atau sangat rendah. Obat dexamethasone mengurangi mortalitas dan penggunaan alat ventilasi mekanis pada pasien covid-19 jika dibandingkan dengan pengobatan standar. Namun demikian, obat lainnya, yaitu azitromisin, hydroxychloroquine, interferon beta, dan tocilizumab, mungkin tidak mampu mengurangi keduanya (may not reduce either). Sementara itu, manfaat obat antivirus remdesivir untuk memberi atau tidak manfaat penting bagi pasien, tetaplah tidak pasti (remains uncertain). “Dexamethasone ialah pengobatan pertama yang menunjukkan manfaat untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.   AFP/Arman SOLDIN Dexamethasone di jual di sebuah toko obat di London, Inggris. Reaksi Dexamethasone pertama kali dibuat pada 1957 dan telah digunakan di Inggris pada awal 1960-an. Karena obat ini sudah lama ada, tidak ada lagi hak patennya.

Dexamethasone ialah salah satu jenis steroid, yaitu obat untuk mengurangi peradangan dengan meniru hormon antiinflamasi yang diproduksi tubuh. Dexamethasone ini bekerja untuk meredam sistem imun tubuh. Infeksi virus korona memicu inflamasi saat tubuh mencoba melawan virus. Inflamasi adalah peradangan efek dari mekanisme tubuh dalam melindungi diri dari infeksi mikroorganisme asing, seperti virus, bakteri, dan jamur. Namun, terkadang sistem imun bekerja berlebihan dan reaksi dapat berbahaya karena reaksi yang semestinya dirancang untuk menyerang infeksi, pada berakhirnya juga menyerang sel-sel tubuh, sebagaimana diduga terjadi pada pasien covid-19.

Sudahkah kita bijak menggunakan obat dexamethason dan menghindari penggunaan obat azitromisin, hydroxychloroquine, interferon beta, dan tocilizumab, pada saat pandemi covid-19 ini?( FX Wikan Indrarto, Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S-3 UGM)