Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, menampilkan “wajah” baru dalam berbagai kebijakan, terutama pembatasan pada politik praktis dan politik identitas. NU secara jelas membatasi diri dengan partai politik yang selama ini menggunakan identitas NU sebagai “manhaj politiknya”.

Adanya era baru dalam organisasi sudah mulai terlihat sejak pergantian pucuk pimpinan organisasi tersebut. Yahya Cholil Staquf, Ketua Tanfidziyah NU, dalam banyak kesempatan mengatakan bahwa NU siap berubah dan menyambut tradisi baru. Untuk menunjukkan gagasan perubahan tersebut, Gus Yahya mengubah “wajah” interior dari kantor PBNU.

Perubahan juga terlihat dari komposisi pengurus NU. Pengurus sekarang mengakomodasi berbagai afiliasi pengurusnya.

Hal menarik lainnya dari “kebaruan NU” adalah hasil Muktamar Internasional Fiqih Peradaban. Muk­tamar yang dihadiri banyak ulama dari luar negeri ini adalah puncak dari rangkaian halaqah fikih perada­ban yang dilaksanakan di pesantren-pesantren.

Hasil rekomendasi tersebut berupa penolakan terhadap ide penyatuan umat Islam dalam satu sistem politik, yakni khilafah. Menurut NU, fatwa-fatwa politik terkait khilafah lahir dari situasi politik yang represif pada era tertentu. Selain itu, ide khilafah juga tidak sesuai dengan kondisi aktual saat ini.

Baca Juga: Meraih Kembali Kejayaan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Rumusan tersebut sangat menarik, hanya saja masih ada kesan seakan problem jagat raya dan peradaban adalah persoalan fiqih. Bahwa fikih sangat penting dalam kehidupan umat Islam tidak ada yang membantah, namun hal tersebut merupa­kan bagian dari ajaran dan kehidupan Islam itu sendiri.

Masih banyak aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan. Perubahan iklim, ilmu pengetahuan dan teknologi, pangan, energi dan lain sebagainya yang akan sulit diselesaikan melalui jalur fikih.

Namun, rumusan fikih peradaban yang dibacakan saat resepsi 1 Abad tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa tradisi fiqih sebagai norma aturan masih cukup kuat di NU.

Perbedaannya dengan kelompok yang menye­barkan paham khilafah dan Wahabi adalah orang-orang NU membaca literatur fiqih yang memenuhi kualifikasi kitab mu’tabar dan dibaca secara kritis, sedangkan penganut paham khilafah dan Wahabi membaca kitab yang tidak mu’tabar dan tidak kritis.

Pengertian mu’tabar adalah kitab-kitab yang dikarang oleh ulama dengan rangkaian sanad yang ketat dengan argumentasi yang kuat. Argumen tersebut disusun melalui berbagai perspektif, seperti ilmu bahasa dan literatur pembanding, dan praktek-praktek yang dilakukan oleh guru maupun ulama lainnya.

Sedangkan kitab-kitab dari ulama yang menjadi rujukan paham khilafah dan juga Wahabi tidak mendasarkan pada argumentasi fiqih yang kokoh. Mereka “hanya” mengambil dari Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa ada perbandingan dengan cara ulama terdahulu dalam membaca teks Al-Qur’an dan Hadits.

Kedua yang ingin ditunjukkan adalah NU mendek­larasikan sebagai representasi dari Islam. Hal ini didasarkan pada porak porandanya dunia Arab.

Mesir yang memiliki tradisi keilmuwan dan keulamaan yang cukup kuat tidak ‘berdaya’ dalam menghadapi gerakan-gerakan paham khilafah dan Wahabi. Irak dan Iran, dua negara yang berada dalam satu kawasan pun serupa.

Irak sudah hancur akibat berbagai embargo, sedangkan Iran potensi ditolak oleh negara-negara pemeluk Islam karena perbedaan paham teologi. Iran menganut paham Syi’ah. Deklarasi representasi juga bisa dibaca dari penentuan satu abad yang menggunakan kalender hijriyah, bukan masehi.

Abad perjuangan dalam mempertahankan argumentasi agama tampaknya sudah tidak menjadi narasi atau program besar dari Nahdlatul Ulama lagi. Di abad kedua ini, seperti yang tercermin dari berbagai statement dan indikasi menunjukkan bahwa perjuangan bukan lagi terhadap khilafah dan paham yang sering menuduh sesat.

Biarlah itu menjadi urusan negara-negara bangsanya. Kini, di era baru ada banyak problem kemanusiaan yang juga butuh pemikiran, dukungan dan kerja sama dari NU.

Abad Ilmu Pengetahuan?

Perkembangan dunia, terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat dan masif. Dua kekuatan besar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China berlomba untuk menemukan teori-teori dan teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari genetika, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya.

Tiga persoalan utama kehidupan yang terus menghantui keberlanjutan, yakni kebutuhan obat-obatan baru, kebutuhan bahan pangan baru, dan kebutuhan energi baru. Ketika kebutuhan dasar tersebut yang menggerakkan negara-negara maju mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengeksplorasi sumber daya alam yang ada di pelosok-pelosok dunia.

Memperhatikan gerak langkah NU saat ini, ada hal yang luput dari upaya merawat jagat dan peradaban yang digagas NU, yakni aspek ilmu pengetahuan. Padahal aspek ini adalah aspek penting bahkan menjadi ‘ruh’ bagi gerak bangsa.

Hal ini bisa ditelusuri dari kemajuan Mesir, Yunani, Islam, dan Barat sekarang ini. Umat Islam pernah menjadi pemegang tongkat estafet peradaban saat banyak ilmuwan yang lahir.

Bahkan, dapat dikatakan tanpa ‘sentuhan’ ilmuwan muslim tidak ada perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Hampir setiap disiplin ilmu pengetahuan di dalamnya ada peran ilmuwan Islam yang merintisnya. Dari ilmu kedokteran, fisika, kimia, astronomi, bahkan pada ilmu politik dan budaya.

Memang, pengurus sekarang mengakomodir ilmuwan dan NU juga memiliki beberapa kampus. Namun, jika kita lihat, kampus-kampus yang milik NU konsentrasinya pada ilmu keagamaan dan pendidikan, belum menyentuh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada harapan dengan adanya Universitas Islam Indonesia Internasional (UIII), NU akan lebih serius dan masif dalam mengembang­kan ilmu pengetahuan, sama se­perti NU menggelorakan pemikiran keagamaan seperti tawasuth, tawazun, dan i’tidal.

Keberhasilan NU dalam mem­ben­dung paham keagamaan yang berorientasi khilafah cukup gemi­lang, walaupun tentu dengan upa­ya yang cukup keras. Sejak dari awal berdirinya, NU terdepan da­lam membendung paham Wahabi sampai dengan sekarang ini. Setiap periode selalu mempunyai cara dalam membendung paham yang merusak tersebut.

Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kemampuan NU dalam membaca peta kekuatan lawan yang mendasarkan pada argumen fiqih, menggunakan media seba­gai saran, dan kekuatan politik di pemerintahan maupun di BUMN. Ketiganya dapat diatasi walaupun tentu masih ada orang-orang yang menganut paham tersebut.

Di politik, kader-kader NU ada di parlemen, partai politik, dan peme­rintahan. Di media, kader-kader NU membuat berbagai situs berita yang dapat mengimbangi derasnya penggunaan media oleh gerakan khilafah dan Wahabi.

Dengan potensi yang dimiliki NU dan pesantren, karya-karya ilmu­wan Islam bisa dibaca ulang dan dikritisi sehingga akan menemu­kan formasi dan rumusan baru terkait dengan ilmu pengetahuan.

Sebagai orang yang beraktivitas di lembaga riset, tentu saya berharap ada gerakan yang lebih masif juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Setidaknya ada tiga potensi besar yang dimiliki oleh NU tetapi tidak dimiliki oleh lembaga lain, termasuk negara.

Pertama, akses pada karya-karya ilmuwan Islam yang berhasil mengembangkan berbagai macam teori ilmu pengetahuan. Kedua, akses pada pengetahuan dan tradisi bangsa Indonesia yang masih tersimpan di naskah-naskah klasik maupun orang-orang di perkampungan.

Ketiga, memiliki orang yang mampu membaca karya-karya tersebut. Karya ilmuwan Islam berbahasa Arab dan karya ilmuwan Nusantara berbahasa Jawa, Sunda, Lombok, Bali atau bahasa daerah lainnya dengan menggunakan berbagai aksara diantaranya adalah aksara pegon.

Kajian terhadap naskah-naskah ini penting sebagai upaya estafet pengetahuan. Dengan mengkaji karya-karya ilmuwan tersebut maka pengetahuan makin berkembang.

Karya-karya ilmuwan Islam bisa dipelajari di pesantren-pesantren sebagai langkah awal untuk membangkitkan semangat ilmu pengetahuan. Setelah itu dari pesantren lahir ilmuwan-ilmuwan handal yang menguasai tidak saja ilmu agama melainkan juga ilmu pengetahuan. Bisa juga ke depan di pesantren-pesantren terdapat laboratorium-laborato­rium penelitian untuk menemu­kan dan mengembangkan riset yang andal.

Bukankah, Yunani bisa maju dan berkembang karena membaca dan menterjemahkan karya-karya ilmuwan ke dalam bahasa Yunani? Demikian juga ilmuwan Islam dapat mengembangkan pengetahuannya karena mengkaji dan menterjemahkan karya ilmuwan-ilmuwan Yunani. Barat pun mempelajari dan menyalin karya-karya ilmuwan Islam dan membuat sintesa terhadapnya sehingga berkembanglah pengetahuan seperti yang kita kenal sekarang.

Karya-karya ilmuwan Islam dan juga naskah klasik yang ada di Nusantara, sebagai sumber utama dapat dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang sebagai alat bantu. Dengan cara tersebut akan lahir sintesa baru pengetahuan. Dengan sintesa pengetahuan tersebut, kita bisa memproduksi berbagai hal terkait dengan kebutuhan umat manusia.

Tentu NU tidak bisa sendirian dalam membangkitkan abad ilmu pengetahuan. Dukungan pemerintah pun harus juga sama besarnya saat pemerintah berupaya membendung paham khilafah dan Wahabi yang berpotensi meruntuhkan bangunan kebangsaan dan kebinekaan yang ada di Indonesia. Tanpa dukungan pemerintah, NU pasti bisa bergerak seperti biasanya, tetapi akan sangat lamban.

Dengan ilmu pengetahuan yang dipegang oleh kalangan pesantren, jagad bisa dirawat dan peradaban tidak saja terbangun tetapi lahir peradaban baru, dari rahim bumi Nusantara, yakni pesantren. Peradaban yang lebih manusiawi, berkeadilan dan tentu saja memiliki aspek ke-Ilahi-an. Oleh: Mohammad Fathi Royyani Staf Peneliti di LIPI (sekarang BRIN) (*)