AMBON, Siwalimanews –  Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia, Paman Nurlette mengatakan, menilai kritikan Ketua DPRD Maluku Benhur Watubun terhadap Ketidakhadiran Gubernur Murad Ismail dalam sidang paripurna, sebagai suatu kewajaran.

Hal itu disampaikan Nurlette dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Jumat (8/12) merespon soal polemik pernyataan Watubun terkait ketidakhadiran gubernur saat paripurna pemberhentian beberapa waktu lalu.

Nurlete menejelaskan, pernyataan Ketua DPRD yang mengkritik gubernur malas hadiri paripurna, baik secara hukum maupun etika, bukan sebuah larangan sehingga hal itu diperbolehkan. Sementara sikap Gubernur Maluku yang malas hadiri Paripurna, juga bukan pelanggaran hukum, tetapi secara etika adalah sebuah pelanggaran, apalagi rapat paripurna terkait dengan pemberhentiannya.

DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah, dimana sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah gubernur dan DPRD memiliki kedudukan yang sejajar.

“Pernyataan Ketua DPRD mengkritik sikap gubernur yang malas hadiri paripurna merupakan hak menyatakan pendapat, dan harus dipahami sebagai bagian dari melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan,” tandas Nurlete.

Baca Juga: Sambangi Polresta Ambon, Ini yang Dilakukan Tim Was OMB Itwasum  Polri

Sebagai mitra kerja yang sejajar jelas Nurlete, kehadiran gubernur sangat penting di setiap rapat paripurna, walaupun secara normatif tidak diwajibkan, karena bisa memberikan mandat kepada wagub atau sekda untuk mewakili.

Tetapi, secara etika pemerintahan, ketidakhadiran gubernur pada setiap paripurna, mengindikasikan tidak menghargai dan mendegradasi forum DPRD.

“Seandainya selama 5 tahun sidang paripurna maksimal 3 kali pernah hadir, lalu kemudian ketua DPRD Provinsi melontarkan kritikan tersebut, maka, pernyataan itu bisa dinilai tendensius dan tidak bisa dibenarkan, karena gubernur dianggap sudah pernah hadir untuk menghargai undangan DPRD dalam hubungan mitra kerja,” jelasnya.

Namun jika faktanya lanjut Nurlette, selama ini gubernur selaku kepala daerah hampir tidak pernah hadir dalam sidang paripurna, maka sebagai bentuk autokritik, Ketua DPRD berhak menyatakan demikian kepada publik saat ditanya oleh media.

Kehadiran gubernur di sidang paripurna menjadi penting, karena DPRD ingin mempertanyakan problematika dalam urusan pemerintahan, apalagi pembahasan APBD sangat penting didengar langsung demi kemaslahatan rakyat Maluku.

Oleh karena itu, perlu memaknai pernyataan yang dilontarkan oleh Ketua DPRD sebagai hak menyatakan pendapat bukan penghinaan atau pelecehan, sehingga tidak ada pelanggaran maupun kesalahan dalam pernyataan, sebab merupakan sebuah kenyataan atau fakta empiris di lapangan.

“Pernyataan Ketua DPRD bisa dipahami sebagai bentuk akumulasi kekesalan lembaga terhadap sikap Gubernur Maluku selama ini. Misalnya, gubernur pernah mengomentari Ketua DPRD Maluku tidak layak, dan memilih absen pada sidang paripurna karena menghadiri acara pernikahan di Jakarta waktu itu. Ucapan dan sikap yang demikian, memicu terjadi keretakan dengan mitra kerja dalam urusan pemerintahan. Buktinya banyak OPD yang bandel tidak mau hadiri paripurna, karena mencontohkan sikap gubernur,” ujar Nurlete.

Nurlete menegaskan, lazimnya seorang gubernur meninggalkan urusan pemerintahan dan tidak menghadiri sidang paripurna DPRD, karena sedang menjalankan tugas yang lebih penting diluar tanggung jawab yang ada, misalnya menghadiri undangan resmi dari presiden, wapres atau para menteri untuk membahas agenda strategis demi kepentingan nasional dan Maluku.

“Bukan sebaliknya lebih memilih menghadiri acara ramah tamah pernikahan atau agenda yang tidak terlalu penting,” tandasnya.

Nurlete menambahkan, gubernur selaku kepala daerah harus menaati norma hukum maupun norma etika sesuai amanat Pasal 67 huruf b dan d UU Pemerintahan Daerah. Untuk itu ia berharap gubernur dan DPRD dapat bersama-sama merawat integritas, moralitas dan kapabilitas serta etika sebagai pejabat publik menjelang tahun politik pemilu 2024.(S-20)