MENJELANG peringatan tahunan Hari Pendidikan Nasional yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, saya teringat kembali pada nasihat kecil dari Herbert Feith (alm), indonesianis tersohor dari Australia, yang pernah menjadi guru kami di Universitas Gadjah Mada. Wacana hangat tentang konsep merdeka belajar dalam tiga tahun terakhir, turut mendorong ingatan saya pada nasihat-nasihat sederhana Pak Herb tentang menjadi seorang pendidik. Pendidik–guru dan dosen–adalah elemen terpenting dari pendidikan nasional kita.

Pak Herb telah menulis beberapa buku studi Indonesia, dua yang sangat dikenal, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), dan, Indonesian Political Thinking (1975, ditulis bersama Lance Castle). Barangkali, tidak banyak yang tahu bahwa beliau juga seorang pemerhati pendidikan untuk Indonesia. Nasihat beliau yang ditulis dalam Bahasa Indonesia di tahun 1997, saya kira mendapatkan relevansi dan amplifikasi pada program merdeka belajar, yang keberhasil­annya (terlepas dari banyak aspek lain), bertumpu pada guru, di sekolah, dan dosen, di pendidikan tinggi. Memberdayakan Mendidik, demikian Pak Herb, harus memerdekakan dan memberdayakan siswa, dan mahasiswa mengenali potensi yang dimilikinya.

Pendidikan harus mendorong siswa dan maha­siswa mengembangkan tujuan-tujuan yang baik bagi masyarakatnya. Selain itu juga untuk mema­hami pengetahuan baru untuk keperluan-keper­luan profesional dan praktis lainnya. Berbeda dengan beberapa pakar pendidikan yang menem­patkan murid ibarat kertas kosong, Pak Herb menulis, bahwa murid “bukanlah sebuah botol kosong yang perlu diisi”. Melainkan, pribadi yang sudah terisi dan memiliki kemampuan menilai. Pendidikan, karena itu,  harus membuat siswa dan mahasiswa mampu menambahkan catatan baru dan merevisi catatan lama yang salah.  Pak Herb menekankan, pendidikan sebagai menam­bah pengertian siswa dan mahasiswa mengenai dunianya dan memberdayakan. Mendidik, dengan demikian, harus sekaligus mendorong siswa dan mahasiswa mengembangkan kaitan, antara pemahaman dan belas kasih (insight and compassion), dan, antara renungan dan tindakan (reflection and action). Pendidikan yang berhasil, demikian Pak Herb, adalah yang membuat siswa, dan mahasiswa, mampu menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berbobot, tentang persoalan yang dihadapi.

Menjawab perta­nyaan yang belum pernah disusun siswa, dan mahasiswa, tidak banyak gunanya. Mengajukan pertanyaan sendiri, mendorong kreativitas dan memberdayakan. Pak Herb juga mengadvokasikan metode pengajaran plork (play and work) yang  bukan hanya cocok untuk siswa TK dan SD melainkan juga siswa sekolah menengah dan mahasiswa di pendidikan tinggi. Ini sejalan dengan seruan Mendikbud Nadiem Makarim yang kerap di­ulang, agar para guru mulai ‘meng­ajak murid keluar kelas untuk belajar dari alam sekitarnya’ dan ‘mencetuskan proyek sosial yang melibatkan kelas’. Metode plork, sesungguhnya telah lama diterapkan di TK, dan kita masih sangat ingat pada metode peng­ajaran oleh Pak Kasur, Bu Kasur, dan Kak Seto yang disiarkan TVRI, yang memadukan belajar, bernyanyi, menari, dan bermain. Sayangnya, metode plork ditinggalkan pada sekolah menengah, digantikan serious learning yang kemudian menjadi dominan.

Pak Herb secara khusus menganjurkan kami (para dosen) belajar dari kawan-kawan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk menjadi ‘fasilitator’ pada kelas perkuliahan, bukan menghagemoni pikiran mahasiswa. Ini penting, terutama pada pengajaran bidang humaniora. Nasihat selengkapnya Nasihat Pak Herb, yang beliau beri judul Beberapa Catatan tentang Tugas Seorang Pendidik, pertama, getting head and heart together, menambah pengertian seseorang mengenai dunianya, demi memberdayakan budi pekertinya. Perlu menciptakan kaitan antara pemahaman, dan belas kasih, seperti menjadi ajaran agama Buddha, antara renungan dan tindakan menurut pendidik Brasil, Paolo Freire. Kedua, seorang murid, atau di dalam program S-3 atau di TK, bukanlah sebuah botol yang kosong yang perlu diisi. Di TK pun, dia sudah berpengalaman banyak, di antaranya dalam hal menilai. Pengalaman­nya perlu dihormati, dihiraukan, dan dijadikan bahan peng­olahan. A good teacher is not a sage on a stage but a guide by your side. Seorang dosen, sebaiknya melihat diri sebagai seorang fasilitator.

Baca Juga: Persepsi dan Sikap Generasi Muda akan Intoleransi dan Ekstremisme

Dosen bisa belajar banyak dari aktivis LSM, khususnya dalam hal pemberdayaan. Ketiga, pelajar sebaiknya dirangsang mengajukan perta­nyaan daripada diminta menjawab pertanyaan si pengajar. Menjawab pertanyaan, yang belum pernah disusun murid-muridnya tidak banyak gunanya. Mengajukan pertanyaan sendiri, sering kali kreatif dan member­dayakan. Keempat, efektivitas belajar kita, sering kali bergantung pada suasana. Yang introvert-pun condong belajar efektif di dalam suasana yang convival, yang demokratis, yang enak. Di mana, semua peserta turut aktif. Humor membantu banyak. Begitu juga makanan/minuman dan nyanyian bersama. Pekerjaan dan permainan jangan dianggap bertentangan. Istilah plork (campuran play dan work) barangkali perlu dicarikan Indonesianya. Kelima, bahan visual penting sekali one good picture is worth a thousand words. Video bisa berguna sekali, begitupun overhead pro­jector, begitu juga gambar, badan dan angka yang ditulis di papan. Memilih/mengumpulkan karikatur tepat dijadikan tugasnya baik pengajar maupun pelajar. Keenam, tugas seorang pengajar di bidang-bidang sosial dan humaniora ada dua yang sama penting, yaitu mengumpulkan pengetahuan dan menilai pengetahuan.

Selain menambah pengertian muridnya mengenai “apa yang terjadi di dunia?”, dia perlu membantu muridnya menangani pertanyaan “yang terjadi di dunia itu, apa kaitan yang tepat dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan saya?”. Hampir semua pengajar universitas, terlalu menitikberatkan tugas pertama (barangkali karena universitas condong mempriori­taskan penelitian, dan publikasi daripada menjadi pendidik yang baik). Ketujuh, daftar-daftar faktor, gejala, eksplanasi dan sebagainya berguna sekali, asal cukup komprehensif. dan mewakili berbagai sikap. Tetapi, janganlah disusun secara sistematis. Sebagai peneliti dan penulis, kita dibiasakan mendaftarkan gejala, faktor dan kategori penafsiran menurut pentingnya. Tetapi, sebagai pendidik kita sebaiknya mengocar-kacirkannya–demi merang­sang pikiran si pelajar. Dan kedelapan, menggerakkan ima­jinasi si pelajar, tidak kalah penting dengan meng­ajaknya berpikir sistematis dan kritis. Mendikbud Nadiem Makarim, pernah menuliskan tentang tugas seorang pendidik pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2019: “Tugas Anda (para guru) adalah termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan pertolongan.

Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi, waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.

Zaman berubah dan kebijakan pendidikan berubah. Kendati demikian, pendidikan yang ‘memberdaya­kan, memerdekakan, dan mengasah belas kasih’ perlu dipertahankan. Di tengah kusutnya persoalan pendidikan di Indonesia, perubahan dan perbaikan harus dan dapat dimulai dari guru atau pendidik.( Endi Haryono, Dekan Fakultas Humaniora, President University, Cikarang)