F KATA ‘belajar’ acap kali diasosiasikan atau diarahkan kepada anak/murid dan seakan menjadi kosakata yang hanya berlaku untuk mereka. Padahal, belajar seharusnya menjadi bagian dari kehidupan murid dan guru. Bagi guru-pendidik belajar semestinya merupakan ‘roh’ dari ‘mengajar’. Dalam kajian tentang pengembangan sekolah, teori reformasi pendidikan atau teori perubahan dalam pendidikan dikenal istilah teachers as learners (Dalin: 1994; Hopkins: 2004; Persson: 2004) dan educators as learners (Wald, Castleberry: 2000), yang secara konseptual memiliki makna esensial. Apa makna esensial guru-pendidik pembelajar? Bagaimana menjadi seorang guru-pendidik pembelajar?   Makna esensial Guru pembelajar memiliki makna esensial yang terkait dengan dua hal. Pertama, peran substantif guru-dalam pendidikan dan kedua, terkait dengan bagaimana guru menghadapi tantangan global (menjadi globally competent teacher). Peran substantif guru merujuk pada peran guru/pendidik pada tataran makro dan mikro.

Pada tataran makro, karya-karya keilmuan pendidikan pendidikan menyebutkan guru-pendidik ialah pembawa obor pendidikan (Pushpanadham: 2020). Guru merupakan faktor penentu keberhasilan setiap upaya reformasi atau implementasi kebijakan, usaha-usaha inovatif, atau demokratisasi pendidikan. Kesediaan guru untuk melakukan perubahan (will-to change) dan mutu guru menjadi penentu keberhasilannya (Villega-Reimer: 2004; Hopkins: 2004; Pushpanadham, 2020), sedangkan pada tataran mikro (belajar), guru-pendidik merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan belajar (students’achive­ment)(Sean: 2002; Creemers: 1994; Hanushek dan Kain: 2005). Tulisan tentang kajian pengembangan sekolah atau reformasi pendidikan menunjukan fasilitas material atau fisik yang baik (seperti gedung, laboratorium, dan perpustakaan) ialah penting, tetapi tidak cukup mencerminkan mutu yang dihasilkan. Faktor penentunya ialah guru (Hopkins: 2004) atau teacher mastery dalam istilah Fullan (Fullan: 2007). Pembelajaran bermutu mempunyai hubungan dengan belajar guru-pendidik dan komitmen seluruh pemangku kepentingan sekolah terhadap peningkatkan mutu pembelajaran atau membangun budaya belajar (Louis dan Marks: 1998; McLaughlin dan Talbert: 2002; Moore: 1996). Oleh sebab itu, pengetahuan dan kereampilan guru-pendidik harus selalu dikembangkan melalui proses pembelajaran sistematik di sekolah, yang mampu mendorong refleksi melalui in-service training, supervisi, dan coaching dalam atmosfer kologial. Beberapa hal tersebut merupakan penentu peningkatan mutu (Hopkins: 2004; Wald, Castleberry: 2000).   Tantangan global Tak dapat disangkal, globalisasi memberi pengaruh terhadap tatanan kehidupan, seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi, dan pendidikan (Sholte, 2000; Cohen &Kennedy, 2000; Steger, 2001). Dalam ranah pendidikan, globalisasi memberi pengaruh kuat terhadap kebijakan, praktik, dan kelembagaan pendidikan.

Pendidikan dihadapkan kepada tuntutan seperti fleksibilitas dan adaptasi, misalnya, untuk merespons tuntutan dan kesempatan dunia kerja. Dengan kata lain, pendidikan harus memenuhi kebutuhan masa kini sembari mengantisipasi tren dan tantangan mendatang. Sekolah perlu menggunakan paradigma belajar yang berbeda. Guru sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam meyiapkan murid perlu dibekali dengan kompetensi baru dan mindset yang diperlukan untuk menjadi fasilitator dalam konteks mengajar-belajar. Seorang guru global kini dan ke depan diharapkan dapat menggabungkan isu-isu global, seperti multikulturalisme, isu ekonomi, lingkungan, dan sosial (Pushpanadham: 2020). Karenanya, guru memerlukan kemampuan cara berfikir ganda (multiple thinking), memecahkan masalah secara inovatif, dan bekerja sama. Guru perlu mengembangkan tidak hanya materi belajar dan menguasai pedagogi, tetapi juga memahami para murid dan memfasilitasi mereka belajar (learn to learn). Penguasaan ilmu-ilmu pokok (fondasi) untuk profesi diperlukan bagi guru pemula untuk membantu mereka merespons tugas (mengajar) yang cenderung kompleks dan menantang (Tan, Liu, Low: 2017). Bagaimana perwujudan konsep ‘guru pembelajar’? Pedagogi yang berpusat pada pemberdayaan murid dan menciptakan budaya belajar akan memberi dampak positif terhadap seluruh peserta didik dalam belajar dan mengantarkan mereka menjadi kontributor dan pemimpin masyarakat ke depan (Moore: 1996; Castleberry: 2000). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya belajar (culture of learning). Budaya belajar ialah perilaku yang mendukung seorang dan atau kelompok menjadi pembelajar.

Ada beberapa nilai atau perilaku yang dibutuhkan seseorang atau kelompok untuk menjadi pembelajar, berpikir terbuka, ketertarikan akan minat dan cara pandang baru, rasa ingin tahu, penggalian dan pencarian makna dalam setting kelas, keberanian, percaya diri, dan perhatian. Perilaku tersebut harus teranam pada guru-pendidik karena guru ialah contoh role model. Dengannya, akan terlahir banyak kegiatan belajar yang dilakukan tiap-tiap guru untuk meningkatkan kapasitasnya dan komitmen terhadap profesi. Kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas profesional tidak langsung (indirect model of professional development) yang berkesinambungan, dilakukan dengan menumbuhkan situasi yang kondusif dalam mewujudkan kesadaran diri untuk selalu belajar sebagai tuntutan dari era global. Selanjutnya, sikap-sikap tersebut ditanamkan di kelas untuk menumbuhkan budaya belajar kelas/sekolah. Guru sebagai role model bagi muridnya mencarikan pendekatan dan cara yang inovatif dalam menumbuhkan sikap-sikap yang diperlukan untuk menjadi pembelajar di kalangan peserta didiknya, mengadakan hari membaca, belajar bersama dengan tutor sejawat, dan menetapkan satu hari wajib membaca dalam sepekan merupakan contoh-contoh untuk menciptakan keadaan mendorong budaya belajar di kelas dan sekolah. Pengembangan budaya belajar dalam kelas/sekolah, menurut Week (2012), dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi ‘dunia yang berubah cepat’ dan menyiapkan generasi ke depan dalam menghadapi tantangan. Oleh karena itu, menciptakan budaya belajar dan mengajar yang kuat menjadi penting. Selain itu, diperlukan kerja sama, semangat berbagi, interaksi, dan komunikasi dengan pihak lain yang tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan profesional dirinya dan memberdayakan pihak lain (Persson: 2004). Pada abad ke-21, pembelajaran bermutu memerlukan kerja sama antara guru, manajemen sekolah, dan masyatakat yang secara bersama-sama menjadikan sekolah sebagai organisasi belajar (learning organization) dan guru sebagai pembelajar. Masyarakat belajar yang profesional mempunyai potensi sebagai katalis utama dalam mentransformasi proses belajar-mengajar.

Guru sebagai anggota masyarakat belajar (community of learning) akan mengalami belajar sebagaimana peserta didiknya. Guru akan mendapatkan pemahaman baru secara langsung tentang cooperative learning dalam kelompok yang heterogen, pengajaran berpusat pada murid, dan the inquiry-based approach to learning sebagai bagian dari masyarakat belajar (Wald; Castleberry: 2000). Sebagai anggota masyarakat belajar, guru memberi kontribusi terhadap keberhasilan sekolah melalui kerja sama dengan kaum profesional lainnya tentang kebijakan pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan staf. Mereka dapat meng­evaluasi kemajuan dan alokasi sumber sekolah dengan mengacu kepada tujuan nasional dan setempat (sekolah). Mereka mengetahui betul sumber-sumber yang ada dalam sekolah dan dari masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peserta didik dan terampil dalam menggunakan sumber yang dibutuhkan. Para guru yang kompeten menemukan cara-cara untuk membangun kerja sama dengan orangtua secara kreatif dan terlibat secara produktif dalam kerangka kerja sekolah (Fullan: 2007).

Baca Juga: Persepsi dan Sikap Generasi Muda akan Intoleransi dan Ekstremisme

Masyarakat sekolah adalah sebuah masyarakat yang syarat terpenting dari keanggota­annya adalah menjadi a learner—apakah ia peserta didik, guru, kepala sekolah, orangtua, staf pendukung, atau staf ahli. Sekolah hadir untuk mempromosikan belajar mendalam (deep learning) bagi seluruh warga. Peran sekolah ialah menemukan dan menyiapkan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan pembelajaran mendalam. Guru sebagai pembelajar tidak sekadar memberikan/menawarkan sebuah lesson plan kepada anak didiknya, tetapi mewujudkan: masyarakat belajar (Wald; Castleberry: 2000). (fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma)