HARI-HARI ini, Indonesia dan dunia internasional dihadapkan pada situasi krisis yang luar biasa. Ketidakpastian dalam berbagai bidang selain memercikkan apatisme juga memunculkan semangat avonturisme: berpetualang dan mencoba-coba di pihak yang lain. Tentu, kita tidak alergi dengan berbagai upaya kebaruan yang hendak diterapkan dalam ikhtiar mencari jalan keluar atas semua problem yang ada saat ini.

Perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara boleh dikatakan melelahkan. Akan tetapi, yang selalu harus diingat dan dipegang dengan erat ialah deklarasi kita sebagai bangsa dan negara harus dipertahankan. Itu ialah jihad kebangsaan, yang akan memisahkan mana yang baik dan buruk bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengutip Bung Hatta, “Indonesia merdeka haruslah suatu republik, yang bersendi kepada pemerintahan rakyat, yang dilakukan dengan perantaraan wakil-wakil rakyat, atau badan-badan perwakilan rakyat.”

Janji suci yang diikrarkan para pendiri bangsa tentang negara ini ialah republik: semangat mengatur diri sendiri dan semangat berpemerintahan sendiri. Maka dari itu, sendi-sendi dalam apa yang disebut republik itu haruslah senantiasa dijaga. Sendi-sendi itu ialah bahwa dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat utamanya ialah egalitarianisme, yang diterjemahkan dengan cukup piawai oleh pendiri bangsa sebagai semangat gotong royong.

Harus merujuk kedaulatan rakyat dan pembatasan kekuasaan

Atas semangat itu, republikanisme Indonesia tidak menempatkan hak individu atau golongan di atas kewajiban konstitusional. Dalam tahap lebih lanjut, hak-hak individu selalu harus berada dalam koridor menjaga terwujudnya keberlanjutan konstitusional lainnya. Maka dalam ide bernegara, republikanisme Indonesia selalu harus merujuk pada ide kedaulatan rakyat, konstitusionalisme, representasi, dan pembatasan kekuasaan.

Baca Juga: Logical Fallacy Seorang Menteri: Berbahaya karena Melahirkan Kebijakan yang Salah

Tentu kita sadar betul bahwa politik melibatkan game of power, permainan kekuasaan. Siapa yang tak ingin menang dan berkuasa? Sebagai makhluk politik, kita semua menginginkan kemenangan dalam setiap kontestasi kekuasaan. Akan tetapi, lebih dari itu, hidup kita tidak layak dipersembahkan hanya sebagai politikus belaka. Kita menginginkan hidup mulia sebagai negarawan, seorang patriot sejati.

Bagi seorang negarawan, politik ialah alat transaksi kepentingan yang seharusnya membawa derajat kemartabatan pada diri kita sendiri dan pada bangsa dan negara. Maka setiap pikiran dan tindakan kita seharusnya membawa manfaat bagi tercapainya kesejahteraan negara dan rakyat. Itulah kehormatan bagi seorang yang menggunakan politik sebagai alat perjuangan kebangsaan.

Pemilu sebagai game of power sekali lagi kita letakkan sebagai ikhtiar untuk mencapai kesejahteraan umum. Sebuah jalan yang diizinkan secara absah, bukan sekadar untuk mengganti siapa yang berkuasa mengelola negara ini, melainkan juga menera ulang perjalanan kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Maka di sinilah supremasi politik dan keutamaan umum berada di atas ekonomi dan kepentingan privat apa pun. Jadi, tidak hanya memisahkan yang publik dan privat, yang umum dan pribadi, yang golongan dan rakyat, tetapi juga meletakkannya di atas semua itu.

Dalam pada itu, situasi-situasi krisis selalu melahirkan jiwa-jiwa yang rapuh dan tanpa pijakan kuat sehingga muncullah semangat oportunisme, coba-coba mencari untung di tengah merosotnya pamor dan kekuatan publik. Mereka bahkan biasanya ialah orang-orang yang terdidik dan terpelajar, dengan berbagai keistimewaan yang melekat pada dirinya. Bukannya menyodorkan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan publik, mereka malah menggadaikan kemaslahatan publik untuk keselamatan jiwa dan raganya seorang.

Kepakaran dan saluran yang dimilikinya dalam kehidupan bernegara memberikan dua pilihan, pertama, menyelamatkan, dan kedua, memanfaatkan. Sayang, pilihan pertama seringnya menjadi jalan sunyi yang jarang diambil sebagai pilihan pertama dan utama. Pilihan kedua ialah jalan gemerlap dan penuh keistimewaan karena di sinilah angan dan buaian akan kejayaan pribadi, dihelatkan. Maka, hari-hari ini kita bisa melihat betapa banyak upaya membawa negara berikut aparatusnya guna melayani kepentingan yang pribadi dan golongan itu.

Negara mengalami penurunan derajat dan kewibawaan

Upaya membawa negara berikut aparaturnya itu pada kepentingan praktis semacam itu telah melahirkan, sekurang-kurangnya hawa atau atmosfer distrust (ketidakpercayaan) rakyat pada negara. Kritik kemudian muncul dalam bentuk sinisme dan cemoohan yang sudah bahkan sudah sampai ke level kasar. Negara mengalami penurunan derajat dan kewibawaan di tingkat paling rendah. Rakyat mengalami kesulitan menempatkan kepercayaannya kepada siapa. Maka hari-hari ini akan mudah ditemui komunitas masyarakat yang merasa cukup dapat memerintah dirinya sendiri daripada diperintah oleh pemerintahan yang sah.

Orang-orang merasa cukup kuat dengan dirinya sendiri. Orang-orang juga merasa cukup jika pundi-pundi kekayaan dan kekuasaannya terus bertambah. Kita kehilangan rasa solidaritas sebagai sebuah bangsa. Kita kehilangan semangat persatuan dalam kehidupan bernegara. Kita juga kehilangan mimpi bersama sebagai sebuah kesatuan bangsa dan negara. Saat ini, kita berada di ujung tanduk kerusakan yang paling mencemaskan sepanjang sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tentu berharap semua pemimpin nasional dan rakyat tidak kehilangan kontrol (lose control) di tengah situasi semacam ini.

Belajar dari berbagai peradaban besar, kehilangan adab akan selalu melahirkan kebingungan ilmu dan pemimpin palsu. Dalam berbangsa dan bernegara, landasan kita tentu saja konstitusi. Sejauh mana konstitusi menjadi pagar-pagar dalam menjalankan tertib mencari kemaslahatan rakyat akan menjadi ukuran seberapa beradabnya kita sebagai sebuah bangsa. Dalam konteks ini, individu-individu dengan segala keutamaan sikapnya atau kebajikan dalam karakter seseorang saja tidak akan cukup. Lebih dari itu, dibutuhkan dimensi etis dalam dasar-dasar kepolitikan yang bersifat publik yang harus tecermin dalam nilai-nilai individual setiap warga. Di titik ini, moralitas politik harus tersambung dengan moralitas kewargaan.

Dengan demikian, pemimpin bukanlah dia yang dipuja saat cemerlang, dan dihujat saat redup. Pemimpin ialah autentisitas dalam kerelaannya mengorbankan diri dalam upaya mencapai keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Pemimpin, adalah mereka yang akan menggenggam konstitusi lebih erat jika dibandingkan dengan ikatan paling primer dalam dirinya. Kesejatian ini hanya akan terlihat dalam ujian menghadapi masa-masa yang menentukan. Masa-masa yang dalam bahasa Bung Karno disebut sebagai vivere veri coloso, masa-masa berbahaya sebagai bangsa.

Pertaruhan besar sedang terjadi karena satu-dua kelompok avonturir yang siap mencadangkan kepentingan rakyat untuk sekadar meraih kekuasaan. Kita sebagai bangsa tentu menginginkan yang terbaik bagi kelanjutan perjalanan kita ke depan. Meskipun masa-masa ujian pasti ada, semangat kebangsaan ialah nalar yang harus dijaga sepanjang hayat.

Compang-campingnya etika

Hari-hari ini kita bisa melihat sekian banyaknya maling teriak maling. Sekian banyak pula musang berbulu ayam. Kita tengah berada pada compang-campingnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sedang menyaksikan ciri dan gaya orang bodoh bekerja. Mereka berusaha menghindari suatu kejahatan dengan melangkah menuju kejahatan lain yang berlawanan.

Saya kutip satu pesan dari Adam Malik dalam In the Service of Republic. “Dalam permainan ini, cepat atau lambat, semua orang harus pergi.” Penguasa akan hilir mudik berganti, politisi pun demikian adanya. Namun, negarawan akan selalu berada dan hidup di tengah-tengah rakyat dan bangsanya.

Satu ujian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah apakah akan muncul tokoh-tokoh sekaliber para pendahulu kita di masa kini, melainkan apakah pemimpin politik, dan terutama partai politik saat ini, berani bertindak untuk mencegah kerusakan yang terjadi pada bangsa dan negara. Republik ini membutuhkan keberanian untuk tetap waras dalam berpolitik, untuk tetap selalu memegang prinsi-prinsip dalam konstitusi.

Meskipun anggapan bahwa konstitusi hanya bunga-bunga dari mimpi sebuah negara, harus diingat dengan sangat bahwa bunga-bunga itulah yang sampai saat ini merekatkan seluruh lapis komponen kehidupan kita saat ini sehingga ketika perekat itu hendak dicoba-coba dikurangi kerekatannya dengan berbagai cara, itulah saatnya semua tokoh dan elemen bangsa meletakkannya kembali dalam bingkai yang seharusnya. Itulah yang oleh Partai NasDem sebut sebagai jalan restorasi.

Partai NasDem, dalam hal ini, akan menjadi bagian yang terus berikhtiar dalam menjaga nalar republikanisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini juga meneguhkan semangat perubahan dalam diri Partai NasDem. Kita tentu tidak sekadar menginginkan tumpah ruahnya janji dan kata-kata. Kita juga menginginkan jalan rasional dalam upaya mewujudkannya sebagai bagian dari kerja-kerja Restorasi Indonesia. Untuk itu, Partai NasDem selalu berkomitmen untuk berada di tengah-tengah denyut perubahan; semangat dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Menjaga nalar republikanisme

Hari ini kita tengah berada dalam atmosfer kontestasi, baik pileg maupun pilpres. Di dalamnya pasti akan dipenuhi banyak gesekan kepentingan baik pribadi maupun kelompok. Gesekan kepentingan ini bisa menjauhkan kita dalam kepentingan sesaat, tetapi seharusnya semakin mendekatkan kita pada kepentingan yang jauh ke depan. Sangat manusiawi kiranya dalam persaingan tersebut sebagian pihak diwarnai kepentingan dan nafsu. Situasi pun pasti akan kerap menjadi panas. Yang harus dicamkan ialah hati boleh panas, tetapi kepala harus senantiasa dingin.

Sebagai anak-anak bangsa, tugas paling krusial kita saat ini ialah tetap teguh menjaga nalar republikanisme. Boleh saja hak-hak pribadi dan kelompok diperjuangkan, tetapi kewajiban konstitusional harus di atas semuat itu. Ingatlah selalu jejak-langkah para pendahulu kita dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Apa yang sudah tertata baik, itulah yang harus terus kita pertahankan. Apa yang kurang, itulah yang mesti ditambah. Apa yang buruk, itu yang mesti kita perbaiki. Inilah sesungguhnya salah satu tujuan pemilu. Inilah sesungguhnya nalar republikanisme itu.Oleh: Willy Aditya Politikus Partai NasDem (*)