Penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi SPPD fiktif Pemkot Ambon tahun 2011 oleh Reskrimsus Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease berlangsung sudah cukup lama.

Hampir dua tahun kasus ini ditangani penyidik kepolisian, bukti-bukti dugaan korupsi kasus SPPD fiktif sudah dikantongi. Polresta Ambon tidak perlu ragu untuk menjerat siapapun pejabat Pemkot Ambon yang terlibat.

Hasil audit kerugian negara dari BPK sudah dipegang. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) sudah dikirim ke Kejari Ambon sejak Agustus 2018. Lalu mengapa, belum ada tersangka yang ditetapkan?

Dua tahun lebih Kejari Ambon menunggu berkas kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon pasca SPDP dikirim penyidik, namun hingga kini tak kunjung dilimpahkan.  Mirisnya, penyidik sangat tertutup dalam penanganan kasus ini. mereka  mengklaim masih butuh klarifikasi dari BPK sebagai ahli yang mengaudit kasus ini.

Alasan ini dinilai mengada-ada dan tidak rasional, karena seharusnya penyerahan hasil audit oleh lembaga auditor bersamaan dengan pengambilan keterangan yang dibubuhkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dan bukan sebaliknya membiarkan penanganan kasus tersebut berlarut-larut.

Baca Juga: Pembelaan Gubernur

Mestinya penanganan kasus dugaan korupsi yang diusut penyidik Reskrimsus Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease sudah naik statusnya dari penyidikan ke penetapan tersangka. Namun anehnya sampai saat ini polisi belum menetapkan tersangka.

Dalam proses penegakan hukum penyidik kepolisian tidak boleh ragu, siapapun yang terlibat harus dijerat, sebab semua orang sama dimata hukum. equality before the law harus dijunjung tinggi sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum.

Kesamaan didalam hukum berarti, setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum. Hal inilah yang seharusnya menjadi dasar berpikir dari aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus korupsi.

Komitmen untuk menuntaskan kasus korupsi harus serius dan sungguh-sungguh dilakukan oleh penyidik. Komitmen itu tidak boleh luntur karena adanya berbagai upaya dan intervensi yang dilakukan oknum-oknum tertentu untuk melemahkan proses penegakan hukum.

Langkah berani untuk menuntaskan kasus korupsi SPPD fiktif dengan menetapan tersangka sangat ditunggu-tunggu publik. Desakan publik bukan tanpa alasan dan mencari-cari kesalahan oknum tertentu, Tetapi bukti-bukti yang sudah dikantongi polisi menjadi pintu masuk bagi untuk segera menetapkan tersangka.

Penanganan kasus korupsi yang sudah sampai dua tahun tentu saja tidak wajar, tindakan penyidik akan menimbulkan beragam perta­nyaan publik. Karena itu, penyidik harus berupaya keras menuntaskan kasus ini tentu saja dengan makenisme dan prosedur hukum.

Jika memang sudah kantongi calon tersangka, maka secepatnya dipublikasikan, tetapi kalau belum maka seharusnya penyidik juga transparan dan jangan ditutupi. Sikap tertutup polisi justru akan semakin melemahkan penegakan hukum dalam menuntaskan kasus korupsi. Padahal kita tahun bersama korupsi adalah musuh bersama dan karena itu korupsi harus dilawan, melawan korupsi butuh komitmen dan keberanian yang sungguh dari penyidik.

Kita tentu saja berharap, upaya penyidik untuk membuka kembali kasus ini tidak terhenti ditengah jalan, tetapi bisa tuntas dan sampai ke pengadilan. Semoga (*)