Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang awalnya ditemukan di Kota Wuhan China pada akhir tahun 2019 menyebar dengan cepat dan menginfeksi jutaan penduduk di berbagai Negara termasuk didalamnya Indonesia (World Health Organization 2020). COVID-19 telah menyebar ke hamper seluruh wilayah di Indonesia dan berdampak tidak hanya kepada kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak kepada banyak aspek kehidupan yang salah satunya kepadaperekonomian masyarakat, khususnya masyarakat dari kelompok keluarga menengah ke bawah. Dampak COVID-19 kepada perekonomian secara empiris dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, akan tetapi keluarga dari kelompok menengah ke bawah merasakan dampak yang jauh lebih besar, mengingat sebagian besarnya merupakan para pekerja sektor informal yang menggantungkan hidup kepada mata pencaharian harian. Adanya kebijakan untuk beraktivitas di rumah (stay at home) mulai dari bekerja di rumah sampai dengan belajar di rumah berakibat kepada penurunan penghasilan keluarga menengah ke bawah. Adanya pemberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah yang melarang aktivitas diluar pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat untuk beroperasi berimpliksi kepada banyak sektor usaha mikro yang harus berhenti sementara, kondisi tersebut menyebabkan pekerja dan kelompok menengah ke bawah yang menguntungkan hidup di sektor informal tidak memiliki penghasilan, hal ini berkontribusi terhadap angka kemiskinan masyarakat yang meningkatkan disebabkan banyaknya keluarga dari kelompok ekonomi menengah ke bawah yang tidak dapat mencari nafkah bagi keberlangsungan hidupnya.

Kondisi tersebut direspons oleh Pemerintah yang mengeluarkan kebijakan perlindungan bagi keluarga dari kelompok menengah ke bawah yang berdampak COVID-19, baik yang berasal dari Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terdampak. Kebijakan sosial ekonomi seperti pemberian sembako, keringanan tagihan listrik serta restrukturisasi kredit merupakan respon positif pemerintah. Masalah klasik yang sering terjadi di lapangan dalam skema bantuan ialah ketidakakuratan data penerima bantuan dan kejelasan informasi terutama saluran pengaduan. Program bantuan pemerintah baik pada saat kondisi regular maupun saat bencana tidak terlepas dari pelayanan publik. Pemerintah sebagai aktor pemberi pelayanan wajib mematuhi asas-asas pelayanan publik yang diantaranya berupa kejelasan informasi dan transparans. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan masalah sosial baru di kalangan masyarakat. Intensifikasi dan ekstensifikasi saluran komunikasi merupakan skenario wajib yang harus ditempuh.Dalam menghadapi bencana nasional pandemic Covid-19 Pemerintah gelontorkan anggaran penanganan Covid-19 dari Rp. 405,1 triliun menjadi 677,2 triliun dengan demikian anggarannya membengkak Rp. 272,1 triliun atau naik sebesar 67 persen, Anggaran ini terdiri dari berbagai hal:

Pertama: anggaran sebesar Rp. 87,55 triliun diperuntukan bagi bidang kesehatan, dengan rincian anggaran itu diperuntukan bagi belanja penanganan Covid-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan Kedua; diperuntukan bagi perlindungan sosial masyarakat yang terdampak Covid-19 sebesar Rp. 203,9 triliun, anggaran ini diperuntukan berupa pembiayaan program keluarga harapan (PKH), bantuan sembako, Bantuan sosial untuk masyarakat Jabodetabek dan masyarakat diluar Jabodetabek, Bansos bagi masyarakat diluar Jabodetabek, Kartu Pekerja, diskon tarif listrik, bantuan langsung tunai (BLT) dan Dana Desa. Ketiga ialah diperuntukan bagi pelaku Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang COVID-19 sebesar Rp. 123,46 triliun Anggaran ini digunakan untuk membiayai subsidi bunga, penempatan dana untuk rekturisasi dan mendukung modal kerja bagi UMKM yang pinjamannya sampai Rp. 10 miliar serta belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja darurat. Keempat dikucurkan anggaran sebesar Rp. 120,61 triliun untuk insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya. Kelima; Pemerintah juga menganggarkan Rp. 44,57 triliun bagi pendanaan korporasi yang terdiri dari BUMN dan Korporasi padat karya. Terakhir dukungan untuk sektur maupun kementerian dan lembaga serta PEMDA yang mencapai 97,11 Triliun jadi Total penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp. 677,2 Triliun . vid-19 dari Rp. 405,1 triliun menjadi 677,2 triliun dengan demikian anggarannya membengkak Rp. 272,1 triliun atau naik sebesar 67 persen, Anggaran ini terdiri dari berbagai hal :

Pertama: anggaran sebesar Rp. 87,55 triliun diperuntukan bagi bidang kesehatan, dengan rincian anggaran itu diperuntukan bagi belanja penanganan Covid-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan Kedua; diperuntukan bagi perlindungan sosial masyarakat yang terdampak Covid-19 sebesar Rp. 203,9 triliun, anggaran ini diperuntukan berupa pembiayaan program keluarga harapan (PKH), bantuan sembako, Bantuan sosial untuk masyarakat Jabodetabek dan masyarakat diluar Jabodetabek, Bansos bagi masyarakat diluar Jabodetabek, Kartu Pekerja, diskon tarif listrik, bantuan langsung tunai (BLT) dan Dana Desa.

Ketiga ialah diperuntukan bagi pelaku Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang COVID-19 sebesar Rp. 123,46 triliun Anggaran ini digunakan untuk membiayai subsidi bunga, penempatan dana untuk rekturisasi dan mendukung modal kerja bagi UMKM yang pinjamannya sampai Rp. 10 miliar serta belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja darurat. Keempat dikucurkan anggaran sebesar Rp. 120,61 triliun untuk insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya.Kelima; Pemerintah juga menganggarkan Rp. 44,57 triliun bagi pendanaan korporasi yang terdiri dari BUMN dan Korporasi padat karya. Terakhir dukungan untuk sektor maupun kementerian dan lembaga serta PEMDA yang mencapai 97,11 Triliun jadi Total penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp. 677,2 Triliun .

Baca Juga: UMKM Gulung Tikar, Digitalisasi Solusinya?

Melihat besarnya bantuan sosial yang diberikan selama Pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19), maka perlu juga ditelisik kondisi keuangan Negara. Keuangan Negara merupakan lembaga yang sangat vital dalam suatu Negara, karena lembaga ini berkaitan erat dengan tujuan Negara dan bagaimana kas Negara yang diisi dari uang rakyat itu dikelola untuk memutar roda pemerintahan dan pembangunan. Apabila keuangan Negara tidak dikelola dengan baik, konsekuensi logisnya tujuan Negara tidak akan tercapai. Pengelolaan keuangan yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Negara merupakan suatu organisasi yang unik, yang memiliki otoritas yang bersifat memaksa diatas subjek Hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Walau demikian pengurusan, pengelolaan, penyelenggaraan jalannya Negara tidak luput dari mekanisme pertanggungjawaban oleh para pengurus, pengelola, dan penyelenggara Negara. Suatu perbuatan menyalagunakan dan penyelewengan bantuan sosial tentunya sangat tercela. Idealnya Negara hukum dan menjujung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bantuan sosial selayaknya digunakan sesuai peruntukan yang diatur dalam peraturan di Indonesia. Agar bantuan sosial bisa dilaksanakan dengan akuntabel, transparan, dan berpegang pada prinsip berkeadilan perlu dibentuk tim verifikasi independen yang akan menilai secara selektif baik kreteria penerima, maupun dari segi proposal bantuan sosial itu sendiri. Masalah pengelolaan dan pertanggungjawaban juga harus ditempatkan sebagai upaya membangun komitmen awal yang baik untuk mengurangi tingkat penyelewengan.

Menteri Keuangan RI. Menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, Relokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19, “akan membuka celah Korupsi” bagi oknum-oknum tertentu, maka itu pemerintah mengawasi dengan ketat pelaksanaan pengalihan anggaran, baik di pusat maupun di daerah. Jangan sampai pemerintah mengeluarkan peraturan baru dan terlena hingga mengabaikan pengawasan. Didalam pengawasan distribusi bantuan sosial (Bansos) setidaknya terdapat empat tahap yang wajib dilakukan oleh APIP yaitu peninjauan (reviuw) program, pengawasan pada saat pelaksanaan, melakukan pendampingan saat menyelesaikan proses administrasi dan terakhir adalah post-audit. “(Pertama) membandingkan(WELLEM RIRIHATUELA, SE., MM, Pengawas Pemerintahan (P2UPD) Inspektorat Provinsi Maluku)