PERNYATAAN Presiden Joko Widodo pada KTT G-20 September silam bahwa Indonesia telah berhasil menekan angka kebakaran hutan dan deforestasi terendah selama 20 tahun terakhir perlu kita cermati secara baik. Secara garis besar, pidato yang disampaikan Presiden itu menunjukkan ada upaya pemerintah Indonesia memperbaiki citra prolingkungan hidup di mata dunia. Upaya itu berkembang secara positif. Letak geografis yang sangat strategis di antara pertemuan empat lempeng benua dan dua samudra serta bentuk iklim tropis menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam. Bencana alam yang terjadi tidak hanya disebabkan faktor letak geografis dan keadaan alam semata, tetapi juga akibat ulah manusia. Sebagai contoh banjir, kebakaran lahan, longsor, dan banjir bandang. Kebanyakan bencana-bencana tersebut terjadi karena ulah manusia.

Menurut data yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 2.208 bencana alam di Indonesia sampai Oktober 2021. Tentunya itu bukan jumlah yang sedikit jika kita ingin mengkritisinya. Seluruh elemen perlu memberikan perhatian maksimal untuk menghadapi problem itu, terutama pemerintah. Memasuki musim penghujan ini saja kita sudah menyaksikan bencana banjir di Kalimantan dan banjir bandang di Malang. Ini bisa saja terus terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Selain potensi bencana yang disebabkan letak geografis Indonesia, kita menghadapi fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global yang kian parah dialami bumi. Faktor penyebab utama pemanasan global ini ialah rakusnya manusia dalam mengonsumsi kekayaan bumi untuk kepentingan ekonomi sehingga keseimbangan alam di bumi menjadi terganggu. Hampir semua negara sebelumnya berlomba-lomba membangun kekuatan ekonomi tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan yang terjadi di alam. Penggunaan bahan bakar fosil yang sangat banyak menjadi salah satu sebab utama terjadinya pemanasan global dan rusaknya lingkungan hidup kita. Kampanye yang dilakukan aktivis lingkungan hidup tampaknya belum berdampak banyak terhadap perbaikan lingkungan hidup. Bahkan kampanye yang dilakukan seorang anak muda bernama Greta Thunberg pun dimentahkan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Fenomena Greta Thunberg itu merupakan kekhawatiran generasi muda yang prolingkungan hidup terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi. Akankah generasi kita selanjutnya cukup paham bahwa mereka hidup di lingkungan yang cukup kritis? Apakah mereka sadar bahwa generasi sebelumnya telah meninggalkan lingkungan yang kritis untuk keberlangsungan hidup mereka ke depan?     Kearifan lokal  Pada dasarnya generasi masyarakat tradisional kita sudah sangat luar biasa baik mengembangkan kehidupan mereka yang ramah lingkungan. Mereka hidup bersama alam secara harmonis dan kualitas hidup mereka juga sangat baik. Sangat banyak kita bisa temukan kearifan-kearifan lokal masyarakat tradisonal yang pro terhadap kelestarian lingkungan alam. Sebagai contoh sebagian masyarakat tradisonal kita telah mengklasifikasi area hutan menjadi hutan adat, hutan produksi, dan hutan terlarang.

Hukum adat mereka mengatur betul wilayah mana saja yang bisa dipakai sebagai hutan produksi yang bisa dibuka sebagai ladang dan kebun. Hutan adat yang hanya bisa diolah dan diambil hasil alamnya saja tanpa memotong pohon-pohonnya dan hutan terlarang yang sama sekali tidak bisa mereka olah dan rusak untuk menjadi hutan penjaga mereka. Hukum adat itu berlaku salah satunya di masyarakat tradisional Sakai di Riau. Contoh lain seperti hukum Sasi pada masyarakat Maluku.

Mereka menentukan masa boleh memanen ikan di laut, pelarangan untuk menangkap jenis-jenis ikan tertentu, pelarangan penggunaan bahan-bahan tertentu yang dapat merusak ekosistem laut. Hukum itu berdampak pada lestarinya kekayaan laut yang mereka kendalikan dengan baik lewat aturan adatnya. Kearifan-kearifan lokal itu merupakan kekayaan khazanah ilmu masyarakat tradisional kita Indonesia yang cukup sayang apabila dilupakan. Khazanah ilmu masyarakat tradisional kita yang bisa hidup selaras dan harmoni dengan alam merupakan salah satu kekayaan berharga bangsa yang harus dilestarikan.

Baca Juga: Pemilu 2024 dan Aspirasi Generasi Milenial

Pendidikan prolingkungan hidup Pertanyaannya, apakah kearifan-kearifan lokal masyarakat kita yang prolingkungan ini diajarkan di sekolah? Kebutuhan membangun kesadaran lingkungan para generasi muda kita seharusnya mulai dilakukan semenjak dini dan terintegrasi dalam kurikulum sekolah. Mengenalkan dan mengembangkan penggunaan energi terbarukan seperti pemanfaatan energi tata surya, energi angin, energi air, dan energi panas bumi harus menjadi perhatian para guru, khususnya di mata pelajaran IPA. Tujuannya agar generasi selanjutnya bisa terlepas dari penggunaan energi fosil yang hampir habis dan merusak lingkungan. Dalam materi sekolah ada beberapa tema yang menyinggung pelestarian lingkungan mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA. Namun, tema-tema tersebut kebanyakan disajikan sebagai materi pengetahuan belaka.

Tidak menyentuh pada upaya dan pembiasaan bagi siswa untuk menghargai dan melindungi lingkungan. Di sisi lain, pendidikan muatan lokal yang selama ini hadir dalam kurikulum kita juga tidak mengover urgensi pelestarian lingkungan hidup atau kearifan lokal masyarakat kita berkenaan dengan pola kehidupan yang selaras dengan lingkungan. Muatan lokal lebih banyak diisi untuk mempelajari bahasa-bahasa daerah semata dan tidak menyentuh kearifan lokal kekayaan pengetahuan masyarakat kita terhadap lingkungan. Padahal, masyarakat kita memiliki khazanah kearifan lokal yang sungguh luar biasa berkenaan dengan cara hidup yang selaras dengan alam.

Fokus pengembangan pendidikan karakter juga tidak menjadikan nilai peduli lingkungan sebagai salah satu fokus utama bagi pendidikan penguatan karakter di sekolah. Kepekaan dan kesadaran peduli terhadap lingkungan sangat dibutuhkan, apalagi untuk generasi muda kita, karena mereka yang akan melanjutkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang begitu kaya. Sudahkah kita mempersiapkan generasi ke depan untuk siap dengan kondisi lingkungan saat ini? Mereka di masa depan akan menjadi pemimpin pengambil kebijakan untuk negara ini. Akankah kebijakan tersebut sudah prolingkungan atau malah menjadi kebijakan yang tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup? Tugas kita sekarang untuk membangun kepekaan ini sehingga generasi kita menjadi generasi yang mencintai lingkungan hidup karena itu ialah rumah mereka. Wallahu a’lam bish-shawab. oleh: Nailul Authar  Kepala SMP Sukma Bangsa Pidie