AMBON, Siwalimanews – Tingginya penggunaan merkuri di tambang emas Gunung Botak berdampak pada penjualan ikan khusus tuna ke manca negara.

Ekspor tuna Maluku akan ditolak jika penggunaan bahan kimia merkuri di Pulau Buru dan Tambang Sinabar di SBB tidak diselesaikan oleh pemerintah daerah.  Hal itu diungkapkan ahli kimia anorganik Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Universitas Pattimura, Yustinus Male.

Male menyebut, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, jika tidak segera me­ngambil langkah antisipasi guna menyelesaikan penggunan bahan kimia merkuri di Buru dan SBB, akan berdampak kepada lingkungan khusus perairan Buru dan Piru tercemar.

“Sebenarnya penggunaan merkuri ini sudah sangat masif. Pemerintah jangan tutup mata. Ini soal kemas­lahatan manusia,” katanya kepada Siwalima di Ambon, Senin (12/12)

Ia mengaku, tambang Gunung Botak dimulai 2011 penggunaan bahan kimia berbahaya itu diketahui sejak 2012. Karena itu, jika tidak segera diselesaikan oleh pemerintah daerah, dampaknya sangat luas tidak hanya masyarakat Maluku tapi  Indonesia.

Baca Juga: BUMN Diminta Bantu Korban Kebakaran Melalui Dana CSR

“Jadi, persoalan ini sudah terjadi sejak  2011 dimana aktivitas  Gunung Botak itu dimulai. Penggunaan merkuri diketahui 2012. Penelitian tahun 2014 ternyata biota laut di Teluk Kayeli telah terkontaminasi merkuri.

Dikatakan, kondisi di Gunung Botak ditindaklanjuti gubernur kala itu Said Assagaff.

“Saya waktu itu masuk dalam tim penanggulangan Gunung Botak dan jurusan kimia punya alat, tetapi ada satu bagian kompartemen namun untuk analisa merkuri yang tidak ada. Waktu itu pemprov sudah janji tapi tidak terpenuhi sampai sekarang. Nah itu menyebabkan riset merkuri tidak dapat dilakukan oleh kelompok keahlian dibawa kepemimpinan saya,” jelasnya.

Male mengatakan, anggaran untuk riset saat itu hanya meng­andalkan dana reset dari tugas akhir mahasiswa dan pihak lain yang jumlahnya terbatas.

Menurut Male hasil penelitian pada 2014,  semua biota laut  di Teluk Kayeli Pulau Buru sudah tercemar merkuri.

“Jadi penelitian pada 2014 itu seluruh biota laut di  Teluk Kayeli, Pulau Buru sudah tercemar, walau­pun terjadi penurunan waktu penutupan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) sejak tahun 2018. Selama dua tahun penelitian itu konsentrasi di biota laut itu sudah turun. Tetapi sejak tahun 2020 tambang itu dibuka kembali dan walaupun sudah tutup disaat kepe­mimpinan eks Kapolda Maluku, Royke Lumoa, dan kini dibuka lagi dimana penggunaan merkuri itu lebih marak dari sebelumnya,” beber Male.

Male khawatir, jika kondisi tersebut tidak segera dikendalikan, dampaknya Pulau Buru dan Teluk Piru akan mengalami seperti yang terjadi di Minamata Jepang.

“Kenapa saya katakan demikian, karena dari hasil penelitian di tam­bang  Sinabar di SBB itu konsentrasi sedimen sudah tinggi di Seram. Nah, kita tidak punya dana dan alat untuk penelitan lebih lanjut. Jika kondisi ini dibiarkan dan kita tetap ekspor tuna dan kalau ada terdapat  kon­sentrasi merkuri jelas ekspor kita ditolak,” tegas Male (S-07)