Krisis Perbankan Hambat Pemulihan Ekonomi Global
PADA harian ini edisi 24 Maret 2023, penulis menuangkan opini berjudul Mencegah Risiko Sistemik di Sektor Perbankan. Asumsinya ialah bahwa kasus-kasus perbankan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang terkuak pada awal Maret lalu akan menghambat prospek ekonomi global jika efek rambatannya tidak bisa dicegah. Kini kekhawatiran penulis terbukti, ketika Dana Moneter Internasional (IMF) pada 11 April 2023 merilis outlook perekonomian global tahun ini yang melemah, salah satunya karena tekanan di sektor keuangan (utamanya perbankan) yang serius. Dalam rilis IMF berjudul World Economic Outlook (WEO): A Rocky Recovery (edisi April 2023), dikatakan bahwa prospek tidak pasti terjadi lagi di tengah gejolak sektor keuangan, inflasi tinggi, dan efek berkelanjutan dari invasi Rusia ke Ukraina.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahunan akan turun dari 3,4% pada 2022 menjadi 2,8% pada 2023, sebelum membaik di 3,0% pada 2024. Negara-negara maju diperkirakan mengalami perlambatan pertumbuhan yang sangat nyata, dari 2,7% pada 2022 menjadi 1,3% pada 2023. Bahkan, dalam skenario alternatif yang masuk akal dengan tekanan sektor keuangan lebih lanjut, pertumbuhan global menurun menjadi sekitar 2,5% pada 2023 dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju turun di bawah 1%. Sementara itu, inflasi utama global akan turun dari 8,7% pada 2022 menjadi 7,0% pada 2023 didukung oleh harga komoditas yang lebih rendah, meskipun inflasi inti mungkin akan menurun lebih lambat. Alhasil, kembalinya inflasi ke target sasaran tidak mungkin terjadi sebelum 2025 di sejumlah negara. Catatan berikutnya, perlu dicermati suku bunga acuan yang masih akan bertahan di level tinggi, di tengah upaya mengelola rasio utang publik (pemerintah) terhadap produk domestik bruto (PDB) yang melonjak di seluruh dunia selama pandemi covid-19. Maka, negara-negara pengutang diminta menyiapkan solusi taktis dari sisi fiskal untuk menekan rasio utang tadi. IMF juga mengkhawatirkan masih adanya gangguan rantai pasokan dan meningkatnya ketegangan geopolitik karena telah membawa risiko kenaikan harga barang (energi dan pangan) yang inflatoir, bahkan mendorong terjadinya fragmentasi geoekonomi yang distortif.
Lebih lanjut, hal ini akan menciptakan ketidakseimbangan atau ketimpangan arus investasi asing (foreign direct investment/FDI) ke berbagai negara di dunia. Pertumbuhan terlemah Terdapat beberapa poin penting dari rilis IMF terkini tersebut yang harus dicermati para pengambil kebijakan di seluruh dunia. Pertama, lima tahun dari sekarang, pertumbuhan global diperkirakan sekitar 3%, suatu perkiraan jangka menengah terendah dalam WEO selama lebih dari 30 tahun. Kedua, dalam jangka pendek, IMF berharap pertumbuhan global sebesar 2,8% tahun ini dan 3% pada 2024, sedikit di bawah perkiraan IMF pada Januari lalu. Ketiga, perkiraan WEO 2023 dan 2024 tersebut sudah mendasarkan pada asumsi bahwa tekanan sektor keuangan baru-baru ini terkendali. Artinya, jika eskalasi krisis perbankan di AS dan Eropa berlanjut, mungkin saja outlook perekonomian global akan lebih buruk. Disimpulkan bahwa ekonomi dunia saat ini diperkirakan tidak akan kembali dalam jangka menengah ke tingkat pertumbuhan sebelum pandemi, yakni di atas 3%. Prospek pertumbuhan yang lemah lantaran pertumbuhan angkatan kerja global yang lebih lambat dan fragmentasi geopolitik, seperti Brexit dan invasi Rusia ke Ukraina.
Pelemahan outlook ekonomi global tahun ini juga disebabkan oleh sikap kebijakan ketat yang dilakukan bank-bank sentral untuk menurunkan inflasi, dan memburuknya kondisi sektor keuangan/perbankan baru-baru ini di AS dan Eropa. Efek menular diperkirakan akan terjadi sekiranya penanganan bank-bank bermasalah di kedua benua tadi berjalan lambat. Maka, karena beberapa kasus bank regional di AS, IMF melihat ekonomi AS akan tumbuh 1,6% tahun ini dan zona euro 0,8%. Namun, Inggris terlihat berkontraksi 0,3%. Berbanding terbalik dengan AS dan Eropa, PDB Tiongkok diperkirakan tumbuh 5,2% pada 2023, dan India 5,9%. Sementara itu, ekonomi Rusia -yang mengalami kontraksi lebih dari 2% pada 2022- akan tumbuh 0,7% tahun ini. Menariknya, outlook ekonomi Indonesia di-upgrade ke level 5,0% (2023) dan 5,1% (2024), yang mencerminkan pemulihan ekonomi berkelanjutan yang meyakinkan. Beberapa faktor dominan yang memengaruhi dunia pada 2022 — yakni sikap moneter ketat bank-bank sentral untuk meredakan inflasi, penyangga fiskal yang terbatas untuk menyerap guncangan di tengah tingkat utang yang tinggi, lonjakan harga komoditas yang inflatoir dan fragmentasi geoekonomi dengan perang Rusia di Ukraina, serta pembukaan kembali ekonomi Tiongkok— tampaknya berlanjut hingga 2023, tetapi faktor-faktor tersebut sekarang dilapisi oleh dan berinteraksi dengan masalah stabilitas sektor keuangan baru.
Gejolak perbankan Pada awal 2023, para ekonom dan pemimpin perusahaan menyatakan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi global mungkin tidak melambat seperti yang mereka khawatirkan sebelumnya. Perkembangan positif tersebut, salah satunya didorong oleh pembukaan kembali Tiongkok pascadicabutnya kebijakan zero covid-19, serta tanda-tanda ketahanan di Eropa dan penurunan harga energi. Namun, krisis di sektor perbankan yang muncul bulan lalu telah mengubah kalkulasi. IMF segera berhitung ulang dan akhirnya menurunkan perkiraan untuk outlook ekonomi global, dengan mencatat adanya ‘peningkatan volatilitas pasar keuangan baru-baru ini’. Kekhawatiran tentang prospek ekonomi global dan kawasan telah meningkat menyusul kegagalan pada Maret lalu ketika Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank (SB), dua pemberi pinjaman regional AS, dan hilangnya kepercayaan pada Credit Suisse (CS) yang jauh lebih besar, yang ‘dilepas’ ke saingannya UBS dalam kesepakatan penyelamatan yang didukung pemerintah Swiss. Jadi, dasar asumsi IMF memperkirakan outlook ekonomi global 2023 dan 2024 ialah terkendalinya penanganan bank-bank bermasalah di AS dan Eropa.
Baca Juga: Ramadan Bulan LiterasiSeperti diketahui, Silvergate Capital (SC), SVB dan SB, semuanya runtuh, dengan regulator mengambil tindakan segera dalam upaya untuk mencegah penularan lebih lanjut. Sejak itu, First Republic Bank (FRB) juga telah menerima dukungan dari pemberi pinjaman (kreditur) lain. Atas tindakan cepat otoritas keuangan di negara-negara setempat, memang tekanan di sektor perbankan telah hilang dalam beberapa pekan terakhir, tetapi semua itu telah membuat gambaran ekonomi secara keseluruhan lebih buruk di mata IMF. Dalam laporan terpisah, IMF mengatakan bahwa sementara kenaikan suku bunga acuan yang cepat menekan bank dan perusahaan keuangan lainnya, tetapi ada perbedaan mendasar dari krisis keuangan global 2008. Bank-bank sekarang memiliki lebih banyak modal untuk dapat menahan guncangan. Mereka juga telah membatasi pinjaman berisiko karena peraturan yang lebih ketat selaras dengan prinsip kehati-hatian. Sebaliknya, IMF menunjukkan kesamaan antara gejolak perbankan terbaru dan krisis tabungan dan pinjaman AS pada 1980-an, ketika masalah di lembaga-lembaga kecil mampu merusak kepercayaan pada sistem keuangan yang lebih luas. Sejauh ini, investor menetapkan skenario yang cukup optimistis, seiring dengan catatan dalam blog IMF bahwa akses ke kredit sebenarnya lebih besar sekarang ini daripada (laporan IMF) Oktober tahun lalu.
Catatan penutup Untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif mengharuskan para pembuat kebijakan untuk tetap gesit dan siap menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan ekonomi. Misalnya, selama tekanan di sektor keuangan bersifat tidak sistemik seperti sekarang ini, perang melawan inflasi harus tetap menjadi prioritas bagi bank sentral. Lalu, untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, bank sentral harus menggunakan instrumen terpisah dan mengomunikasikan tujuannya dengan jelas untuk menghindari volatilitas atau gejolak yang tidak beralasan. Kebijakan sektor keuangan juga harus tetap fokus pada upaya menjaga stabilitas dan mengawasi setiap penumpukan risiko di bank, industri keuangan nonbank (IKNB), dan sektor realestat.
Di banyak negara, kebijakan fiskal harus diperketat untuk mengurangi tekanan inflasi, mengelola utang dengan hati-hati, dan membangun kembali penyangga (buffer) fiskal. Akhirnya, jika terjadi arus keluar modal yang meningkatkan risiko stabilitas sektor keuangan, pengambil kebijakan di pasar negara berkembang (emerging markets) dan negara berkembang (developing countries) harus piawai menggunakan kerangka kebijakan secara terpadu, menggabungkan intervensi valuta asing secara cerdas dan cermat, juga dalam pengelola lalu lintas modal. Oleh: Ryan Kiryanto Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
Tinggalkan Balasan