BULAN Ramadan dikenal dengan berbagai julukan. Ada syahrul shiyam (bulan puasa), syahrul qiyam (bulan beribadah malam), syahrul maghfirah (bulan pengampunan), atau syahrul juud (bulan berbuat baik). Tapi, yang tidak boleh dilupakan, Ramadan juga disebut syahrul Qur’an (bulan Al-Qur’an). Ini secara jelas dituliskan dalam Surah Al-Baqarah 185, “Bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an (pertama kali) sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas berbagai petunjuk dan pembeda (antara yang benar dan salah)….” Mengingat karakteristik dan pesan-pesan Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW pada hari ke-17 bulan Ramadan tersebut, sangat kuat alasan untuk mengatakan bahwa Ramadan adalah bulan literasi. Setidaknya ada tiga alasan penting yang menjelaskan hal ini.   Membaca melampaui teks Pertama, ayat pertama yang turun berisi perintah untuk membaca (QS Al-’Alaq, 1-5).

Menurut banyak riwayat, bahkan perintah tersebut diulang beberapa kali oleh Jibril, sang perantara pewahyuan. Muhammad yang memang belum punya kemampuan membaca tentu tidak menyanggupi. “Maa ana bi qaari,” (Saya tidak cakap membaca). Menariknya, meski tahu Muhammad tidak bisa membaca, mengapa Jibril terus memaksa beliau membaca? Bukankah seharusnya Tuhan mengajarkannya membaca lebih dulu seperti ketika Adam pertama kali diajarkan nama-nama segala sesuatu untuk meyakinkan para malaikat yang meragukan penciptaan manusia (QS Al-Baqarah, 30). Pesan pentingnya memang karena Tuhan tidak menghendaki Muhammad untuk membaca kata-kata dalam teks tertulis karena Dia tahu sang Nabi seorang yang tidak cakap membaca (ummiy). Yang Dia perintahkan pada kesempatan pertama ialah membaca teks yang termanifestasikan dalam semesta ciptaan-Nya. Pesan itu sangat jelas dalam ayat 1-2 Surah Al-’Alaq yang mana Dia meminta sang Nabi berefleksi tentang hakikat paling mendasar dari manusia, yaitu penciptaan, asal-usul kejadiannya sendiri. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, menciptakan manusia dari ‘alaq.

Perintah membaca adalah perintah untuk memahami dan menalar, bukan sekadar membunyikan teks. Teks hanyalah medium yang dapat berwujud apa pun. Allah mencontohkan kepada Muhammad diri manusia sebagai teks yang perlu dibaca; dari mana muasalnya dan ke mana akan kembali. Ini juga menjadi pesan penting bagi pendidikan kita. Cara paling tepat untuk mengajarkan membaca kepada anak-anak di usia dini ialah dengan menciptakan kecintaan mereka kepada apa yang terkandung dalam bacaan. Anak-anak usia dini hendaknya tidak dipaksa untuk belajar membaca teks dengan drilling pada usia emas saat otak mereka tumbuh dengan segala imajinasi dan keingintahuan. Jika anak-anak pada usia tersebut dibebaskan daya imajinasinya, dibuat haus akan pengetahuan, dengan sendirinya mereka akan mencintai bacaan, dan pada saatnya, belajar membaca teks akan menjadi proses yang alami. Tentu saja mampu membaca teks tulis sangat penting karena itu adalah gerbang pengetahuan dan merupakan salah satu alasan mengapa kitab suci ini diberi nama Al-Qur’an.   Membaca berulang-ulang Kedua, secara harfiah, Quran sendiri bermakna sesuatu yang dibaca secara berulang-ulang. Jadi, memang kitab ini hadir untuk dibaca.

Umat Islam memang disunahkan untuk membaca kitab ini secara berulang-ulang. Pesannya, pertama-tama tentu membangun kebiasaan membaca. Kedua, itu adalah cara agar kita dapat sedikit demi sedikit memahami kandungannya. Memperoleh pemahaman dari sumber seluas Qur’an butuh proses. Tidak bisa serta-merta. Bahkan Nabi sendiri tidak seketika diberikan pemahaman atas wahyu yang beliau terima. Ini secara jelas disebutkan dalam Surah Al-Qiyamah ayat 16-19. Memahami Qur’an juga perlu ilmu karena tidak setiap orang mampu menafsirkannya. Selain itu, Qur’an adalah firman Tuhan (kalamullah) sehingga ia merupakan kitab yang hidup. Kitab ini senantiasa berdialektika dengan zaman. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, kadangkala penafsiran terhadap suatu ayat atau istilah juga berubah. Ambil contoh, kata ‘alaq dalam ayat kedua Surah Al-’Alaq: Dia menciptakan manusia dari ‘alaq.

Para penafsir awal menerjemahkan ‘alaq sebagai segumpal darah. Tapi seiring perkembangan ilmu embriologi, salah satu versi tafsir mengembalikan ‘alaq pada arti etimologisnya sebagai sesuatu yang menempel. Sains menunjukkan bahwa pada usia 21 hari janin berbentuk lengkungan kecil seperti lintah yang menempel pada dinding rahim dan mengisap darah sang ibu untuk membantunya tumbuh. Penafsiran ini muncul ratusan tahun kemudian setelah bukti-bukti saintifik terungkap. Jadi, Al-Qur’an adalah teks yang perlu dibaca berulang-ulang agar hidup kita selalu terinspirasi dengan petunjuk dan ilmu-Nya yang mahaluas dan senantiasa relevan.

Baca Juga: Tantangan Pendidikan HAM

Pentingnya literasi puasa Ketiga, perintah puasa dalam bulan Ramadan sendiri punya pesan kuat tentang pentingnya memahami teks secara mendalam. Puasa juga perlu literasi. Puasa pada dasarnya adalah aktivitas yang bertentangan dengan zona nyaman biologis manusia. Semestinya aktivitas seperti itu memantik nalar untuk membaca lebih dalam mengapa orang harus berpuasa; bukankah lapar dan haus sangat dekat dengan kematian; apakah memang hanya untuk membuktikan kepatuhan hamba-Nya, Tuhan setega itu ‘menyiksa’ mereka dengan puasa? Pada kenyataannya memang banyak orang meninggal karena kelaparan, tapi tidak ada orang yang mati karena berpuasa. Jadi, puasa yang dilakukan umat Islam sebulan penuh selama Ramadan bukan hanya peristiwa peribadatan semata. Ini juga merupakan peristiwa pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Alih-alih mencelakakan, menahan makan dan minum secara sengaja justru bermanfaat bagi kesehatan menurut sejum­lah riset akademik. Ini menjadi momen regenerasi sel, peng­istirahatan perangkat pencer­naan, dan juga pembakaran unsur-unsur yang merusak dari makanan yang kita konsumsi sepanjang tahun. Di samping itu, sebagai peristiwa spiritual, puasa juga membawa nilai-nilai pen­didikan yang penting. Nabi sendiri secara eksplisit me­ngatakan bahwa puasa adalah perisai (junnah) untuk mengen­dalikan emosi negatif. Jadi, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga pendidikan menahan diri dari amarah dan perilaku negatif lainnya. Ini tentu menjadi latihan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan mental.

Dalam suatu hadis riwayat Muslim, Nabi bersabda, “Saat seseorang berpuasa, ia tidak boleh mengumpat dan melakukan hal yang tercela. Maka, jika ada orang lain yang menghardik atau memprovokasi, katakanlah ‘Saya sedang berpuasa’.” Namun, karena kurangnya literasi puasa, seperti dirawikan oleh Al-Nasai, Nabi sendiri pernah menyindir bahwa banyak orang yang tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.

Banyak orang yang sekadar membaca yang tersurat dari teks sehingga hanya mengikuti ritual puasa sebagai rutinitas menahan konsumsi di siang hari, tapi me­ngompensasikannya secara berlebihan saat malam hari. Kita sering abai untuk memahami nilai-nilainya atau mengambil pelajaran penting darinya. Akibatnya, tidak ada efek apa pun dari puasa terhadap kesehatan fisik dan mental spiritual kita. Yang ada justru setelah puasa, sebagian dari kita makin bertam­bah berat badan. Bahkan bulan puasa juga kerap menjadi ajang perilaku konsumtif, pamer keme­wahan, dan pertunjukan berbagai hal yang tidak sepatutnya. Oleh: Irsyad Zamjani Analis Kebijakan Ahli Madya Kemendikbud-Ristek