POLICY disaster diawali oleh disaster paradigm (McEntire, 2002) dan gagal paham terhadap persoalan yang tengah dihadapi. Aksi demo nelayan dan mogok melaut nelayan akibat implementasi PP No 85 Tahun 2021 merupakan bentuk kegagalan dalam memahami kebutuhan kebijakan perikanan yang tepat. Tiga skema tarif dan pendapatan negara, menurut PP tersebut, harus dipahami keuntungan dan kerugiannya secara baik. Di lain pihak, sebagai sektor ekonomi, perikanan dan kelautan dituntut mampu memberikan kontribusi nyata terhadap ekonomi nasional yang diperkirakan mencapai 10% dari pendapatan nasional. Namum, perlu disepakati apakah pendapatan tersebut sebagai besaran penerimaan yang harus diterima negara atau besaran pendapatan yang diterima dan langsung terdistribusi kepada nelayan sebagai penghasilan.

Dua paradigma yang harus dipilih dan diletakkan sebagai prinsip dasar pembangunan perikanan yang sudah diusahakan selama ini. Sejatinya, tujuan utama perikanan tangkap menurut UU ialah meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sebelum implementasi kebijakan PP no 85 ini, ada baiknya dilakukan pendalaman terhadap berbagai potensi risiko yang akan muncul dari kebijakan ini dan upaya mitigasinya agar tidak terjadi kegagalan paham bahkan mismanagement dalam pengelolaan perikanan.   Risiko Beberapa reaksi yang mencuat ialah penolakan dan demonstrasi nelayan akibat besaran kenaikan tarif, harga patokan ikan, dan sinkronisasi dengan daerah untuk proses implementasi. Besaran kenaikan tarif dari PP No 75 Tahun 2015 rata-rata yang dianalisis Sugandi (2021) sebesar 222% untuk GT dari semua alat tangkap yang digunakan juga turut membebani. Dalam situasi pandemi saat ini, kerentanan terhadap nelayan meningkat akibat menurunnya intensitas usaha perikanan. Nelayan banyak yang tidak melaut karena tangkapan yang tidak terjual akibat proses distribusi ikan menurun selama PPKM, begitu juga kemampuan daya beli.

Soal harga patokan ikan (HPI) juga sifatnya dinamik antardaerah. Penetapan nilai HPI berisiko menurunkan pendapatan ketika hasil tangkapan rendah atau tangkapan melimpah dan tidak terserap pasar. Risiko lain yang turut menyertai ialah disrupsi kewenangan daerah provinsi dengan pusat dalam mengelola SDI di wilayah perbatasan 12 mil. Kapal kecil (<30 GT) izin beroperasi dari provinsi, tetapi ketika praktiknya, menangkap di wilayah lebih dari 12 mil (bisa dikenai izin pusat). Sebagai contoh, sebagian besar nelayan Sendang Biru Malang ialah nelayan sekoci yang kapalnya kurang dari 30 GT memiliki daerah penangkapan di luar 12 mil. Akibatnya, nelayan 5-30 GT yang berpangkalan di daerah bisa terkena dua kali pungutan. Pertama, karena kewenangan kapal oleh daerah. Kedua, karena menangkap di luar kewenangam provinsi. Risiko yang kemudian potensial muncul ialah adanya potensi mismanagement antara nelayan pemanfaat perairan di bawah 12 mil dengan di atas 12 mil. Begitu juga terbatasnya pengawasan daerah intersection batas 12 mil oleh kapal pengawas. Risiko konflik horizontal antarkapal perikanan berizin pusat dan daerah dapat muncul sebagai gejala baru. Untuk menurunkan risiko tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya mitigasi dari risiko implementasi PP No 85 Tahun 2021 poin satu dan dua tersebut.

Pada poin ketiga, tentang konsesi, risiko bisa lebih besar lagi. Potensi stok surplus yang dikonsesikan sebesar 4,9 juta ton pada zona penangkapan industri menjadi multitafsir. Jika nilai tersebut dilelang kepada investor (kuota) dan di kemudian hari pemenang lelang tidak memperoleh tangkapan sejumlah angka yang dikonsesikan, bukan tidak mungkin terjadi akrobatik, seperti menurunkan meshsize jaring, masuk ke daerah perikanan tradisional (<12 mil) seperti yang pernah terjadi di Arafura sebelumnya. Selain itu, potensi degradasi stok, IUU, kerusakan ekosistem akan turut mewarnai.   Mitigasi Agar tidak terus terjebak dalam polemik antara stakeholder perikanan terhadap perbedaan paradigma, mekanisme peningkatan PNBP setelah atau sebelum produksi dan konsesi, beberapa langkah mitigasi ialah pertama, lakukan penguatan dan perbaikan data stok ikan. Kedua, operasionalisasikan multistakeholder platform berbasis WPP. Ketiga, mekanisme implementasi yang iterative harus dilakukan. Perbaikan data stok ikan yang masih 12,5 juta ton tahun dari data 2016 harus dilakukan agar dugaan nilai potensi stok ikan dan nilainya lebih realistis. Perbaikan dapat dilakukan dengan meggunakan data logbook atau data survei terbaru. Walaupun data terbaru dari loogbook tingkat ketersediaanya masih rendah, cenderung lebih baik kualitasnya. Adanya potensi penurunan IKU Kementerian Kelautan dan Perikanan jika data logbook dan one data digunakan. Tetap kualitasnya lebih baik dari data yang ada sebelumnya. Maka itu, KKP tidak perlu ragu melakukan ‘amnesti data’.

Amnesti data bukan hanya mitigasi jangka pendek, melainkan juga mitigasi jangka panjang dan keberlanjutan perikanan. Mitigasi kedua yang perlu dilakukan ialah mengoperasikan mekanisme multistakeholder platform pada wilayah pengelolaan perikanan. Ketika ada risiko konflik, pendekatan multipihak akan lebih aspiratif. Potensi dan kekuatan semua stakeholder terwakili, evidence-nya kuat dan integrasi vertikal dan horizontal terjalin dengan baik. Pelimpahan kewenangan kapal <30 GT ke daerah memerlukan pengawasan dan peran multistakeholder yang lebih besar. Mitigasi ketiga, melalui mekanisme implementasi yang iteratif kebijakan PNBP dari PP No 85/2021. Implementasi kebijakan ini menjadi tidak tepat karena nelayan baru saja terdampak covid-19, persentase peningkatan nilai pungutan tinggi, serta tidak memperhatikan pola dinamika harga ikan secara local, termasuk musim ikan. Akibatnya, risiko potensi kerugian makin meningkat. Agar risiko nelayan dapat diminimalkan, penerapan kebijakan ini harus dilakukan bertahap dan dinamis dengan evaluasi yang ketat dan terjadwal.

Baca Juga: Apa Anehnya Pertemuan para Tokoh Politik?

Indikator penentuan nilai kenaikan dapat dilihat dari dinamika bulanan produktivitas, harga patokan ikan, serta kondisi kesejahteraan nelayan. Jangan sampai nelayan kecil 5-30 terdampak ganda akibat kebijakan ini dan membuat sektor perikanan tidak maju-maju. Kebijakan perikanan dibangun bukan untuk membuat penjara bagi nelayan, melainkan menjadi jembatan kesejahteraan nelayan. Ketika nelayan belum sejahtera, beban mereka jangan diperparah. Kebijakan bukan juga menjadi kerangkeng baru yang membuat semua pihak (nelayan, pemerintah pusat, pemda, dan stakeholder lainnya) terjerat sendiri tanpa bisa leluasa memanfaatkan potensi yang besar itu karena bukan tidak mungkin pemegang konsesi dalam skema ketiga yang kemudian akan menjadi penikmat terbesar perikanan. Jika ini terjadi, sesungguhnya kita sudah membuat kebijakan yang tidak tepat dan dilaksanakan secara tidak tepat pula kalau tidak, dikatakan gagal paham.( Yonvitner Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB)