AMBON, Siwalimanews – Banyak janji dan program unggulan masih sebatas pemanis bibir pemimpin kita, padahal masyarakat butuh kepastian, bukan hanya janji.

Tepat hari ini, 19 Agus­tus 2021 Provinsi Ma­luku berusia 76 tahun. Di usianya yang tidak lagi muda, Maluku masih berjalan tertatih-tatih.

Jangan harap kita bisa berlari mengejar keterti­ng­galan dari daerah lain yang sudah jauh maju, untuk bisa berdiri sejajar dengan anak kandung­nya yang baru mandiri belakangan saja, sulit­nya minta ampun.

Menurut catatan Si­wa­lima, dari enam belas program unggulan yang dipaparkan dalam visi-misi Murad Ismail dan Barnabas Orno kala mencalonkan diri, belum satupun dijalankan.

16 program unggulan yaitu, satu, Pemindahan Ibu Kota ke Makariki Seram dan Percepatan Perkantoran Provinsi.

Baca Juga: PMII Demo Kritik Krisis Oksigen di RSUD Masohi

Dua, Rekrutmen PNS dan Pejabat berdasarkan kompetensi dan mempertimbangkan keterwakilan saku, agama dan kewilayahan. Tiga, penerapan sistim e-government dan e-budgeting untuk transparansi dan percepatan pelayanan publik.

Selanjutnya Empat, harga sembako stabil dan murah. Lima, mewajibkan perusahaan di Maluku mempekerjakan minimal 60 persen anak Maluku. Enam, biaya pendidikan gratis untuk SMU-SMK di Maluku.

Tujuh, Kartu beasiswa Maluku untuk mahasiswa berprestasi yang kurang mampu. Delapan, pengembangan RSUD menjadi RSUD pusat bertaraf internasional.

Poin Sembilan, meningkatkan status puskesmas biasa menjadi puskesmas rawat inap di daerah terpencil dan terjauh. Sepuluh, Kartu Maluku Sehat untuk berobat gratis di puskesmas dan rumah sakit.

Sebelas, bedah rumah untuk keluarga miskin. Duabelas, menciptakan produk lokal “one Sub Distric/One Village One Poduct.

Tigabelas, pengembangan potensi kepulauan dan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional.

Empatbelas, Pembangunan smart city di pusat kabupaten/kota di Maluku. Limabelas, Maluku terang dengan listrik masuk desa. Enambelas, Revitalisasi Lembaga adat (seperti Latupati).

Mandeknya program unggulan yang tergambar dalam visi-misi pasangan berjargon Baileo ini, mendapat tanggapan miring dari berbagai kalangan.

Akademisi FISIP Unidar, Sulkifar Lestaluhu menyayangkan program yang pro rakyat namun itu belum dilaksanakan.

Menurutnya, pemimpin saat ini harus memperhatikan hal itu sehingga program unggulan ini tidak bersifat retorika semata tetapi bisa diimplementasi bagi kepentingan masyarakat.

“Beta sangat setuju program yang pro rakyat, tetapi sangat disayangkan kalau tidak jalan. ini harus menjadi perhatian serius pemerintah saat ini, apalagi di tengah kondisi pandemi seperti ini program pro rakyat itu harus dilaksanakan,” ujar Lestaluhu saat diwawancarai Siwalima, Rabu (18/8).

Menurutnya, masyarakat, akademisi termasuk pers, memiliki tugas yang sama untuk melakukan sosial kontrol terhadap seluruh kebijakan pemerintah, termasuk program yang pro rakyat, tetapi kemudian tak bisa direalisir.

“Program pro rakyat seperti harga sembako stabil dan murah, terus bedah rumah, kartu sehat,. Ini kami mendukung dan sangat setuju tetapi sayang jika tidak dilaksanakan,” ujarnya.

Karena itu, ia meminta ada perhatian serius dari pemimpin Maluku saat ini, agar di usia 76 tahun program-program yang masih jadi PR ini bisa diselesaikan demi kepentingan rakyat.

Sementara itu, akademisi Fisip Unpatti, Paulus Koritelu juga menyayangkan banyak program Murad-Orno yang belum bisa direalisasi.

Ia menilai, belum terealisasi program-program ini disebabkan karena tarikan kepentingan politik yang turut mempengaruhi, maupun hubungan antara pemimpin sendiri yang berpengahruh juga sampai ke tingkat organisasi perangkat daerah.

Menurut Koritelu, 16 program yang telah diterapkan ini sangat pro rakyat tetapi sangat disayangkan program  itu justru tak kunjung dilaksanakan. Hal ini yang kemudian membuat Provinsi Maluku masih tetap berada pada urutan ke-4 termiskin di Indonesia.

“Ini menjadi keprihatinan kita ya, jika kita urut-urutan karena faktanya Maluku masih miskin. Eksekutif bisa saja punya dalil dan alasan karena fenomena Covid. Padahal itu bisa dilaksanakan,” ujarnya saat di wawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (18/8).

Karena itu ia berharap, program-program ini bisa dilaksanakan di masa akhir kepemimpinan  Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, sekaligus menginventarisir apa yang menjadi masalah sehingga program-program itu belum dilaksanakan.

“76 tahun Maluku, ini perlu dilakukan refleksi terhadap 16 program klasifikasi dan secera jelas, apa yang berhubungan pemerintah secara nasional orientasi program pro rakyat tetapi yang belum jalan, energi konsenterasi dan perhatian serius, energi yang terkuras untuk percaturan politik harus dialihkan kepada energi yang berpusat pada program-program itu,” tegasnya.

Koritelu berpendapat, rekonstruksi kebijakan pemerintah daerah dalam menekan angka kemiskinan sangat lemah.

Dijelaskan, jika hari ini Pemerintah Provinsi Maluku berlandaskan pada fakta covid-19 dan mengatakan kemiskinan disebabkan oleh fakta covid-19, maka itu suatu pandangan yang tidak tepat, sebab faktanya seakan-akan kemiskinan menjadi bagian dari pilot project yang dipelihara dan subur berkembang.

Sebagai akademisi, Koritelu melihat keberpihakan pemerintah untuk memberantas kemiskinan masih dikalahkan oleh perhatian pemerintah terhadap mega proyek yang lebih banyak mendatangkan keuntungan lebih bagi pemerintah.

“Kalau ada orang mengatakan bangun jalan lalu kemiskinan dituntaskan maka tidak juga seperti itu,” ungkap Koritelu.

Menurutnya, trend tata kelola pemerintahan saat ini khususnya pada alokasi anggaran yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat belum maksimal dilakukan.

“Contoh, hari ini harga kopra hancur karena itu masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap. Jika benar-benar pemerintah ingin memberdayakan masyarakat, maka dana APBD bisa dikhususkan untuk program pemberdayaan masyarakat lewat membeli kopra mereka dengan harga yang tinggi dan tugas pemerintah mencari investor untuk membeli kopra itu, agar masyarakat tidak lagi jual kepada tengkulak dan disinilah ekonomi masyarakat meningkat,” ujar Koritelu.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku tidak rugi jika memperbanyak program pemberdayaan sebab APBD mengalami surplus karena program pemberdayaan berjalan dengan baik.

“Dari sisi ini keberpihakan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan tidak ada,” tegasnya.

Selain itu, dari sisi ketahanan pangan lokal juga mengalami persoalan dalam kaitan dengan merekonstruksi kebijakan pangan lokal.

“Contoh jika hari ini ada sawah saya pastikan jalan ke sana hotmix tapi itu bukan politik pangan Maluku, tapi kalau Pemerintah berpihak pada pangan lokal, maka berapa banyak jalan setapak yang dibangun rumah penduduk ke hutan sagu,” bebernya.

Koritelu menambahkan jika pemerintah tidak memberdayakan pangan lokal maka bagaimana mungkin orang lokal dapat berdaya dan kemiskinan dituntaskan sedangkan dari sisi pangan lokal tidak ada keberpihakan dari rekonstruksi kebijakan pemerintah daerah.

Karena itu, pandemi bukan salah satunya alasan yang fundamental untuk menyatakan kemiskinan karena pandemi tetapi ketepatan rekonstruksi kebijakan pemerintah yang sangat lemah.

Tekan Kemiskinan

Anggota DPRD Provinsi Maluku, Alimuddin Kolatlena meminta pemerintah untuk memaksimalkan upaya untuk menekan angka kemiskinan di Maluku.

Dijelaskan berdasarkan LPJ Gubernur tahun 2020 lalu tingkat kedalam kemiskinan di Maluku memang mengalami peningkatan yang cukup tajam.

Hal ini tentunya tidak sejalan dengan visi dan misi kepala daerah dan wakil kepala daerah dimana salah satunya menekankan angka kemiskinan dan pengangguran dengan membuka lapangan kerja.

“Dalam LPJ memang angka kedalaman kemiskinan meningkat tajam sedangkan disisi lain visi misi kepala daerah salah satunya menekankan angka kemiskinan dan pengangguran dengan membuka lapangan kerja,” ungkap Kolatlena.

Menurutnya, peningkatan kemiskinan di Maluku timbul dikarenakan progres  peningkatan dari sisi angka kemiskinan belum optimal dilakukan.

Salah satu terletak pada faktor distribusi pembangunan oleh Pemerintah belum menyasar daerah-daerah yang menyumbang angka kemiskinan.

“Artinya intervensi anggaran belum diarahkan secara adil dan merata dan proporsi kedaerahan-daerah yang dianggap sebagai penyumbang kemiskinan yang seharusnya didorong dengan intervensi Anggaran,” bebernya.

Selain itu, masih adanya praktik penyelenggara yang cenderung menyalahgunakan anggaran yang mestinya diperuntukkan terhadap kepentingan pembangunan bagi rakyat.

Karena itu di 76 tahun Maluku, pemerintah harus berkerja lebih giat dan optimal, termasuk bekerja dengan hati yang sungguh supaya mendekatkan pelayanan pembangunan kepada masyarakat secara merata terutama pada daerah penyumbang kemiskinan termasuk mencipta lapangan kerja.

Belum Mampu

Sudah dua tahun lebih pemerintahan Gubernur Murad Ismail memimpin Maluku, sayangnya belum mampu melaksanakan berbagai janji dan program yang ada.

Menurut Ketua GMKI cabang Ambon Josias Tiven, program prioritas Murad-Orno bersifat mercusuar, katena hanya menunjukan program yang sangat besar tetapi secara real tidak dapat direalisasikan untuk saat ini buktinya  masyarakat Maluku masih miskin kategori ke-4 di Indonesia.

Menurut Tiven lMaluku masih kategori termiskin ke-4 di Indonesia karena secara riil Maluku tertimpa berbagai jenis kemiskinan, seperti miskin struktural, kemiskinan absolut dan kemiskinan kultural.

“Aksentuasi kami GMKI Cabang Ambon pada jenis kemiskinan struktural. Penyebab dari kemiskinan struktural adalah terkait dengan faktor kepemimpinan”katanya kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu(18/8).

Provinsi Maluku merupakan salah satu provinsi yang memiiki SDA melimpah. Tetapi itu belum dikelola secara maksimal.  Disisi yang lain, pembangunan infrastruktur di Maluku belum memadai, namun pemerintah Provinsi Maluku sampai saat ini belum tahu arah kemana akan membawa Maluku ini keluar dari kemiskinan.

Untuk itu, GMKI Cabang Ambon menyatakan bahwa pemerintah belum mampu meminimalisir masalah kemiskinan di Maluku. Pasalnya dengan model dan gaya kepemimpinan yang anti kritik serta tidak pernah mau mendengar suara rakyat, akan berdampak pada sistem pemerintahan yang tidak stabil.

Ia berharap, di momentum Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus dan  Hut Provinsi Maluku 76 Tahun  menjadi satu refleksi serius pemerintah terhadap berbagai macam persoalan yang terjadi di Maluku.

Di tempat terpisah, Ketua Umum HMI Cabang Ambon Burhanuddin Rombouw mengatakan sangat disesalkan ketika  melihat kondisi keterpurukan kemiskinan yang terjadi di Provinsi Maluku.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi Maluku hari ini yang dikenal sebagai provinsi dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa.

“Entah kenapa mereka belum juga bisa menurunkan angka kemiskinan, apakah karena kurangnya SDM ataukah ada faktor lain. Kita harus akui bahwa kondisi ekonomi, sosial, kesehatan dan juga pendidikan yang ada di Maluku masih sangat rendah dan jauh dari harapa,” katanya.

Di sisi yang lain ada berbagai program unggulan seperti LIN, pembangunan smart city namun belum terealisasi. “Ditambah lagi Maluku masih tercatat berada pada urutan ke-4 ini berarti tidak ada prestasi baik yang diperlihatlan oleh pemimpinnya,” ujar dia.

Untuk itu, dirinya meminta kedepannya  pemerintah harus lebih fokus dalam hal ini realisasi anggaran untuk pembangunan.

“Pembangunan harus merata dan harus menyentuh kepada masyarakat jangan pembangunan yang kemudian hanya menguntungkan atau orang-orang tertentu,” pintanya. (S-50/S-51/S-19)