AMBON, Siwalimanews – Herman Koedoeboen, Ketua Tim Penasehat Hukum Ferry Tanaya, tersangka kasus korupsi pem­belian lahan pembangunan Pem­bangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea mengaku kasus yang menimpa kliennya tak jelas.

Koedoeboen menjelaskan, per­buatan-perbuatan hukum yang disangkakan penyidik ke kliennya tidak jelas lantaran sampai seka­rang pihaknya belum mengetahui apakah perbuatan tersebut masuk ketegori kerugian negara, mark up atau pemahalan pelepasan hak atau berkaitan dengan perbuatan pelepasan tanah tanpa hak.

“Ini kan perbuatan-perbuatan hu­kum yang disangkakan kepada klien saya. Bagi kami ini belum je­las. Apakah ini kerugian keuangan negara, mark up atau pemahalan pelepasan hak, atau berkaitan de­ngan perbuatan pelepasan tanah tanpa hak. Dua problem ini masih di­kaji karena dari hasil pemerik­saan tersangka itu materi peme­riksaan tidak menyentuh sama sekali atau tidak berkaitan dengan aspek pemahalan harga atau mark up,” jelas Koedoeboen kepada Siwalima di Ambon Selasa (1/9).

Menurutnya, sebagai penasehat hukum, pihaknya hanya mengikuti pemeriksaan tersangka.Olehnya belum bisa memperoleh berkas seutuhnya, sehingga belum bisa menyimpulkan sesuatu hal dari proses penyelidikan.

“Jadi dari pemeriksaan tersang­ka itu yang diikuti penasehat hukum, dari seluruh materi yang diperiksa tersangka, itu tidak ada kaitan sama sekali dengan masa­lah mark up atau pemahalan har­ga. Ini berkaitan dengan subyek hak atas tanah itu. Apakah ber­kai­tan dengan aset negara atau hak penguasaan negara, itu yang di­analisis oleh kami dan mengarah ke situ,” bebernya.

Baca Juga: Dua Mucikari Prostitusi Online Diringkus Polisi

Meski demikian, Koedeoboen menambahkan kalau kajian hukum selanjutnya dari proses itu maish ditunggu pihaknya. Sejauh man arah dari pemeriksaan Tanaya Cs dari situlah pihaknya menentukan sikap.

“Nanti apabila ada langkah-langkah hukum dari PH itu karena kita sudah  pelajari dan mengkaji,” ujar Koedeoboen.

Menyoal tentang apakah akan diupayakan penangguhan pena­hanan terhadap kliennya Ferry Tanaya, mantan Wakajati Maluku itu menambahkan kalau semua sudah diupayakan, namun kembali kepada kewenangan penyidik

“Itu kita sudah lakukan,tapi itu kewennagan penyidik. Penahanan itu hal biasa. Dan kita sudah upa­yakan dan kemukakan alasan-ala­san karena itu kewenangan penyi­dik untuk melakukan penahanan,” tandasnya.

Jaksa Profesional

Kejati Maluku mengatakan profe­sional mengusut kasus Fery Ta­naya. Tidak ada tebang pilih dan dis­kri­minasi dalam menetapkan tersangka. “Saya kira tidak benar tudingan tersebut, dan setahu saya penyidik selalu bekerja secara pro­fesional dan sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang-unda­ngan yang berlaku,” ujar Kasi Pen­kum dan Humas Kejati Maluku Sa­my Sapulette saat ditemui di depan ruang kerjanya, Selasa (1/9).

Ketika ditanyakan mengapa pihak PLN yang membeli lahan belum ditetapkan sebagai tersang­ka, Sapulette enggan berkomentar.

Sapulette hanya menjelaskan alasan kenapa kejaksaan mene­tap­kan dua tersangka dalam per­kara dugaan tindak pidana korupsi pembelian lahan PLTG Namlea di Desa Sawa, Kabupaten Buru se­nilai Rp 6 miliar itu lantaran me­ngantongi bukti-bukti yang kuat.

“Berdasarkan rangkaian hasil pe­nyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permu­laan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai ter­sangka tersebut yaitu F.T dan A.G.L,” ujar Sapulette.

Tanaya Ditahan

Untuk diketahui, Kejaksaan Ti­nggi (Kejati) Maluku Senin (31/8), resmi menahan dua tersangka ka­sus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Nam­lea.

Kedua tersangka itu yakni pe­ng­usaha Ferry Tanaya dan Kasi Peng­ukuran pada Badan Pertahanan Nasional (BPN) Provinsi Maluku Abdul Gafur Laitupa. “Dua ter­sangka sudah ditahan setelah keduanya diperiksa dalam status sebagai tersangka,” kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, di Kantor Kejati Maluku, Senin, (31/8).

Tanaya dan Laitupa ditahan di Rutan Polda Maluku Tantui. Pena­hanan dilakukan selama 20 hari sejak 31 Agustus 2020 sampai 19 September 2020. Penahanan ter­hadap kedua tersangka dilaku­kan setelah penyidik melakukan pe­meriksaan terhadap kedua ter­sangka sejak pukul 09.30 Wit sampai pukul 16.00 Wit dengan didampingi tim  penasehat hukum masing-masing.

Ferry Tanaya didampingi pena­sehat hukumnya, Herman Koedoe­boen, Firel Sahetapy dan Fileo Pis­tos Noija. Sedangkan, Laitupa di­dampingi penasehat hukumnya Syukur Kaliky.

Seperti diberitakan, Ferry Tanaya telah ditetapkan sebagai tersang­ka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020. Sedangkan Abdur Gafur Laitupa, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru dite­tapkan sebagai tersangka, berda­sarkan Surat Penetapan Tersang­ka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020, dalam kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di kawasan Jikubesar, Desa Nam­lea, Kecamatan Namlea, Kabupa­ten Buru milik Ferry Tanaya dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk me­ng­gelembungkan harganya. Alhasil, uang negara sebesar Rp.6.401. 813.600 berhasil digerogoti.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil audit BPKP Maluku yang di­serahkan kepada Kejati Maluku.

“Hasil penghitungan kerugian negara enam miliar lebih dalam per­kara dugaan Tipikor pelak­sanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette.

Sapulette mengatakan, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti yang dikantongi jaksa.

“Berdasarkan rangkaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permu­laan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut yaitu FT dan A.G.L,” ujarnya. (Cr-1)